Mengenal Sejarah dan Pemahaman Ahlus Sunnah Waljama'ah

Sebelum kita berbicara tentang topik dan judul pembahasan ini, sebaiknya kita mengenal beberapa pengertian istilah yang akan dipakai dalam pembahasan ini.

A. Beberapa Pengertian

1. As-Sunnah

As-Sunnah ialah jalan yang ditempuh atau cara pelaksanaan suatu amalan baik itu dalam perkara kebaikan maupun perkara kejelekan. Maka As-Sunnah yang dimaksud dalam istilah Ahlus Sunnah ialah jalan yang ditempuh dan dilaksanakan oleh Rasulullah salallahu 'alaihi wa sallam serta para shahabat beliau, dan pengertian Ahlus Sunnah ialah orang-orang yang berupaya memahami dan mengamalkan As-Sunnah An-Nabawiyyah serta menyebarkan dan membelanya.

2. Al-Jama'ah

Menurut bahasa Arab pengertiannya ialah dari kata Al-Jamu' dengan arti mengumpulkan yang tercerai berai. Adapun dalam pengertian Asyari'ah, Al-Jama'ah ialah orang-orang yang telah sepakat berpegang dengan kebenaran yang pasti sebagaimana tertera dalam Al-Qur'an dan Al-Hadits dan mereka itu ialah para shahabat, tabi'in (yakni orang-orang yang belajar dari shahabat dalam pemahaman dan pengambilan Islam) walaupun jumlah mereka sedikit, sebagaimana pernyataan Ibnu Mas'ud radhiallahu anhu : "Al-Jama'ah itu ialah apa saja yang mencocoki kebenaran, walaupun engkau sendirian (dalam mencocoki kebenaran itu). Maka kamu seorang adalah Al-Jama'ah."

3. Al-Bid'ah

Segala sesuatu yang baru dan belum pernah ada asal muasalnya dan tidak biasa dikenali. Istilah ini sangat dikenal dkialangan shahabat Nabi Rasulullah salallahu 'alaihi wa sallam karena beliau selalu menyebutnya sebagai ancaman terhadap kemurnian agama Allah, dan diulang-ulang penyebutannya pada setiap hendak membuka khutbah. Jadi secara bahasa Arab, bid'ah itu bisa jadi sesuatu yang baik atau bisa juga sesuatu yang jelek. Sedangkan dalam pengertian syari'ah, bid'ah itu semuanya jelek dan sesat serta tidak ada yang baik. Maka pengertian bid'ah dalam syariah ialah cara pengenalan agama yang baru dibuat dengan menyerupai syariah dan dimaksudkan dengan bid'ah tersebut agar bisa beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala lebih baik lagi dari apa yang ditetapkan oleh syari'ah-Nya. Keyakinan demikian ditegakkan tidak di atas dalil yang shahih, tetapi hanya berdasar atas perasaan, anggapan atau dugaan. Bid'ah semacam ini terjadi dalam perkara aqidah, pemahaman maupun amalan.

4. As-Salaf

Arti salaf secara bahasa adalah pendahulu bagi suatu generasi. Sedangkan dalam istilah syariah Islamiyah as-salaf itu ialah orang-orang pertama yang memahami, mengimami, memperjuangkan serta mengajarkan Islam yang diambil langsung dari shahabat Nabi salallahu 'alaihi wa sallam, para tabi'in (kaum mukminin yang mengambil ilmu dan pemahaman/murid dari para shahabat) dan para tabi'it tabi'in (kaum mukminin yang mengambil ilmu dan pemahaman/murid dari tabi'in). istilah yang lebih lengkap bagi mereka ini ialah as-salafus shalih. Selanjutnya pemahaman as-salafus shalih terhadap Al-Qur'an dan Al-Hadits dinamakan as-salafiyah. Sedangkan orang Islam yang ikut pemahaman ini dinamakan salafi. Demikian pula dakwah kepada pemahaman ini dinamakan dakwah salafiyyah.

5. Al-Khalaf

Suatu golongan dari ummat Islam yang mengambil fislafat sebagai patokan amalan agama dan mereka ini meninggalkan jalannya as-salaf dalam memahami Al-Qur'an dan Al-Hadits. Awal mula timbulnya istilah Ahlus Sunnah wal Jama'ah tidak diketahui secara pasti kapan dan dimana munculnya karena sesungguhnya istilah Ahlus Sunnah wal Jama'ah mulai depopulerkan oleh para ulama salaf ketika semakin mewabahnya berbagai bid'ah dikalangan ummat Islam.

Yang jelas wabah bid'ah itu mulai berjangkit pada jamannya tabi'in dan jaman tabi'in ini yang bersuasana demikian dimulai di jaman khalifah Ali bin Abi Thalib radhiallahu anhu. Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Kitab Shahihnya juz 1 hal.84, Syarah Imam Nawawi bab Bayan Amal Isnad Minad Din dengan sanadnya yang shahih bahwa Muhammad bin Sirrin menyatakan, "Dulu para shahabat tidak pernah menanyakan tentang isnad (urut-urutan sumber riwayat) ketika membawakan hadits Nabi salallahu 'alaihi wa sallam. Maka ketika terjadi fitnah yakni bid'ah mereka menanyakan, 'sebutkan para periwayat yang menyampaikan kepadamu hadits tersebut.' Dengan cara demikian mereka dapat memeriksa masing-masing para periwayat tersebut, apakah mereka itu dari ahlus sunnah atau ahlul bid'ah. Bila dari ahlus sunnah diambil dan bila ahlul bid'ah ditolak."


Riwayat yang sama juga dibawakan oleh Khalid Al-Baghdadi dengan sanadnya dalam kitab beliau. Riwayat ini memberitahukan kepada kita bahwa pada jaman Muhammad bin Sirrin sudah ada istilah ahlus sunnah dan ahlul bid'ah. Muhammad bin Sirrin lahir pada tahun 33 H dan meniggal pada tahun 110 H. kemudian istilah ini juga muncul pada jaman Imam Ahmad bin Hambal (lahir 164 dan meninggal 241 H) khususnya ketika terjadi fitnah pemahaman sesat yang menyatakan bahwa Al-Qur'an itu makhluk, bertentangan dengan ahlus sunnah yang menyatakan bahwa Al-Qur'an itu Kalamullah.

Fitnah terjadi di jaman pemerintahan Khalifah Al-Ma'mun Al-Abbasi. Imam Ahmad pada masa fitnah ini adalah termasuk tokoh yang paling berat mendapat sasaran permusuhan dan kekejaman para tokoh ahlul bid'ah melalui Khalifah tersebut. Mulai saat itulah istilah ahlus sunnah wal jama'ah menjadi sangat populer hingga kini. Jadi, istilah ahlu sunnah timbul dan menjadi populer ketika mulai serunya pergulatan antara as-salaf dan al-khalaf, akibat adanya infiltrasi berbagai filsafat asing ke dalam masyarakat Islam. Ahlus Sunnah wal Jama'ah kemudian menjadi simbol sikap istiqamahnya (tegarnya) para ulama ahlul hadits dalam berpegang dengan as-salafiyah ketika para tokoh ahlul bid'ah meninggalkannya dan ketika berbagai pemahaman dan amalan bid'ah mendominasi masyarakat Islam.

B. Dalil-Dalil Ahlus Sunnah wal Jama'ah

Mengapa ahlu sunnah demikian bersikeras merujuk pada pemahaman para shahabat Nabi salallahu 'alaihi wa sallam dalam memahami Al-Qur'an dan Al-Hadits? Ini adalah pertanyaan yang tentunya membutuhkan dalil-dalil Al-Qur'an dan Al-Hadits untuk menjawabnya. Ahlus Sunnah merujuk kepada para shahabat dalam memahami Al-Qur'an dan Al-Hadits dikarenakan Allah dan Rasul-Nya banyak sekali memberitahukan kemuliaan mereka, bahkan memujinya. Faktor ini membuat para shahabat menjadi acuan terpercaya dalam memahami Al-Qur'an dan Al-Hadits sebagai landasan utama bagi Syari'ah Islamiyah.

Dalil dari Al-Qur'an dan Al-Hadits shahih yang menjadi pegangan ahlus sunnah dalam merujuk kepada pemahaman shahabat sangat banyak sehingga tidak mungkin semuanya dimuat dalam tulisan yang singkat ini. Sebagian diantaranya perlu saya tulis disini sebagai gambaran singkat bagi pembaca tentang betapa kokohnya landasan pemahaman ahlus sunnah terhadap syariah ini.

1. Para shahabat Nabi salallahu alaihi wa sallam adalah kecintaan Allah dan mereka pun sangat cinta kepada Allah :

"Sesungguhnya Allah telah ridha kepada orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu (Hai Muhammad) di bawah pohon (yakni Baitur Ridwan) maka Allah mengetahui apa yang ada di dalam hati mereka lalu menurunkan keterangan atas mereka dan memberi balasan atas mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya).(Al-Fath:18)

Ayat ini menerangkan bahwa Allah telah ridha kepada para shahabat yang turut membaiat Rasulullah salallahu alaihi wa sallam di Hudhaibiyyah sebagai tanda bahwa mereka telah siap taat kepada beliau dalam memerangi kufar (kaum kafir) Quraisy dan tidak lari dari medan perang.

Diriwayatkan bahwa yang ikut ba'iah tersebut seribu empat ratus orang. Dalam ayat lain, Allah Sunahanahu wa Ta'ala berfirman: "Hai orang-orang yang beriman, siapa di antara kalian yang murtad dari agama-Nya (yakni keluar dari Islam) niscaya Allah akan datangkan suatu kaum yang Ia mencintai mereka dan mereka mencintai Allah, bersikap lemah lembut terhadap kaum mukminin dan bersikap keras terhadap orang-orang kafir, mereka berjihad di jalan Alah dan tidak takut cercaan si pencerca. Yang demikian itu adalah keutamaan dari Allah yang diberikan kepada siapa saja yang Ia kehendaki dan Allah itu Maha Mendengar dan Maha Mengetahui."(Al-Maidah:54)

Ath-Thabari membawakan beberapa riwayat tentang tafsir ayat ini antara lain yang beliau nukilkan dari beberapa riwayat dengan jalannya masin-masing, bahwa Al-Hasan Al-Basri, Adh-Dhahadh, Qatadah, Ibnu Juraij, menyatakan bahwa yang dimaksud dengan ayat ini adalah Abu Bakar Ash-Shidiq dan segenap shahabat Nabi setelah wafatnya Rasulullah salallahu alaihi wa sallam dalam memerangi orang yang murtad.

2. Para shahabat Nabi salallahu alaihi wa sallam adalah umat yang adil yang dibimbing oleh Rasulullah salallahu alaihi wa sallam.

"Dan demikianlah Kami jadikan kalian adalah umat yang adil agar kalian menjadi saksi atas sekalian manusia dan Rasul menjadi saksi atas kalian."(Al-Baqarah:143)

Yang diajak bicara oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala di ayat ini ialah para shahabat Nabi salallahu alaihi wa sallam. Mereka adalah kaum mukminin generasi pertama yang terbaik yang ikut menyaksikan turunnya ayat ini dan generasi pertama yang disebutkan dalam ayat Al-Qur'an. Ibnu Jarir Ath-Thabari menerangkan: "Dan aku berpandangan bahwasanya Allah Ta'ala menyebut mereka sebagai "orang yang ditengah" karena mereka bersikap tengah-tengah dalam perkara agama, sehingga mereka itu tidaklah sebagai orang-orang yang ghulu (ekstrim, melampaui batas) dalam beragama sebagaimana ghulunya orang-orang Nashara dalam masalah peribadatan dan pernyataan mereka tentang Isa bin Maryam alaihi salam. Dan tidak pula umat ini mengurangi kemuliaan Nabiyullah Isa alaihi salam, sebagaimana tindakan orang-orang Yahudi yang merubah ayat-ayat Allah dalam kitab-Nya dan membunuh para nabi-nabi mereka dan berdusta atas nama Allah dan mengkufurinya. Akan tetapi ummat ini adalah orang-orang yang adil dan bersikap adil sehingga Allah mensikapi mereka dengan keadilan, dimana perkara yang paling dicintai oleh Allah adalah yang paling adil.

3. Para shahabat adalah teladan utama setelah Nabi dalam beriman

Ditegaskan dalam firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :

"Kalau mereka itu beriman seperti imannya kalian (yaitu kaum mukminin) terhadapnya, maka sungguh mereka itu mendapatkan perunjuk dan kalau mereka berpaling mereka itu dalam perpecahan. Maka cukuplah Allah bagimu (hai Muhammad) terhadap mereka dan Dia Maha Mendengar dan Maha Mengetahui."(Al-Baqarah:137)

Ayat ini menegaskan bahwa imannya kaum mukminin itu adalah patokan bagi suatu kaum untuk mendapat petunjuk Allah. Kaum mukminin yang dimaksud yang paling mencocoki kebenaran sebagaimana yang dibawa oleh Nabi salallahu alaihi wa sallam tidak lain ialah para shahabat Nabi yang paling utama dan generasi sesudahnya yang mengikuti mereka.

Juga ditegaskan pula hal ini oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam Surat Al-Fath 29 :

"Muhammad itu adalah Rasulullah, dan orang-orang yang besertanya keras terhadap orang-orang kafir, berkasih sayang sesama mereka. Engkau lihat mereka ruku dan sujud mengharapkan keutamaan dari Allah dan keridhaan-Nya. Terlihat pada wajah-wajah mereka bekas sujud. Demikianlah permisalan mereka di Taurat, dan demikian pula permisalan mereka di Injil. Sebagaimana tanaman yang bersemi kemudian menguat dan kemudian menjadi sangat kuat sehingga tegaklah ia diatas pokoknya, yang mengagumkan orang yang menanamnya, agar Allah membikin orang-orang kafir marah pada mereka. Allah berjanji kepada orang-orang yang beriman dari kalangan mereka itu ampunan dan pahala yang besar."

Dan masih banyak lagi ayat-ayat Al-Qur'an yang menjadi dalil bagi Ahlus Sunnah wal Jama'ah dalam merujuk kepada para shahabat Nabi salallahu alaihi wa sallam dalam memahami Al-Qur'an dan Al-Hadits. Tentunya dalil-dalil dari Al-Qur'an tersebut berdampingan pula dengan puluhan bahkan ratusan hadists shahih yang menerangkan keutamaan shahabat secara keseluruhan ataupun secara individu.

Dari hadits-hadits berikut dapat disimpulkan bahwa :

1. Kebaikan para shahabat tidak mungkin disamai :

"Jangan kalian mencerca para shahabatku, seandainya salah seorang dari kalian berinfaq sebesar gunung Uhud, tidaklah ia mencapai ganjarannya satu mud(ukuran gandum sebanyak dua telapak tangan diraparkan satu dengan lainnya) makanan yang dishodaqahkan oleh salah seorang dari mereka dan bahkan tidak pula mencapai setengah mudnya."(HR. Bukhari dan Muslim)

2. Para shahabat adalah sebaik-baik generasi dan melahirkan sebaik-baik generasi penerus pula :

"Dari Imran bin Hushain radhiallahu anhu bahwa Rasulullah salallahu alaihi wa sallam bersabda: 'Sebaik-baik ummatku adalah yang semasa denganku kemudian generasi sesudahnya (yakni tabi'in), kemudian generasi yang sesudahnya lagi (yakni tabi'it tabi'in). Imran mengatakan: 'Aku tidak tahu apakah Rasulullah menyebutkan sesudah masa beliau itu dua generasi atau tiga.' Kemudian Rasulullah salallahu alaihi wa sallam bersabda: 'Kemudian sesungguhnya setelah kalian akan datang suatu kaum yang memberi persaksian padahal ia tidak diminta persaksiannya, dan ia suka berkhianat dan tidak bisa dipercaya, dan mereka suka bernadzar dan tidak memenuhi nadzarnya, dan mereka berbadan gemuk yakni gambaran orang-orang yang serakah kepadanya'."(HR Bukhari)

3. Para shahabat Nabi salallahu alaihi wa sallam adalah orang-orang pilihan yang diciptakan Allah untuk mendampingi Nabi-Nya :

"Rasulullah salallahu alaihi wa sallam bersabda: 'Sesungguhnya Allah telah memilih aku dan juga telah memilih bagiku para shahabatku, maka Ia menjadikan bagiku dari mereka itu para pembantu tugasku, dan para pembelaku, dan para menantu dan mertuaku. Maka barang siapa mencerca mereka, maka atasnyalah kutukan Allah dan para malaikat-Nya an segenap manusia. Allah tidak akan menerima di hari Kiamat para pembela mereka yang bisa memalingkan mereka dari adzab Allah."(HR Al-Laalikai dan Hakim, SHAHIH)

Dan masih banyak lagi hadits-hadits shahih yang menunjukkan betapa tingginya kedudukan para shahabat Nabi salallahu alaihi wa sallam di dalam pandangan Nabi.

Maka kalau Allah dan Rasul-Nya di dalam Al-Qur'an dan Al-Hadits telah memuliakan para shahabat dan menyuruh kita memuliakannya, sudah semestinya kalau Ahlus Sunnah wal Jama'ah menjadikan pemahaman, perkataan, dan pengamalan para shahabat terhadap Al-Qur'an dan Al-Hadits sebagai patokan utama dalam menilai kebenaran pemahamannya. Ahlus sunnah juga sangat senang dan mantap dalam merujuk kepada para shahabat Nabi dalam memahami Al-Qur'an dan Al-Hadits.

Penulis: Author Salafy Edisi Perdana/Syaban/1416 H/1995 H, Rubrik Aqidah (Link URL Salafy Online)
Read More..

Prinsip Ahlus Sunnah wal Jamaah

Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah setiap orang dari manapun asalnya yang mengikuti ajaran Rasulullah shallalllahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabatnya baik dalam hal keyakinan, amalan maupun ucapan.

Ada enam prinsip utama yang membedakan antara Ahlus Sunnah al Jamaah dan golongan lain.

Pinsip Ahlusunnah yang pertama:
Ikhlas dalam Beribadah

Ikhlas menurut arti bahasa: membersihkan atau memurnikan sesuatu dari kotoran. Sedangkan menurut istilah syar’i, ikhlas adalah membersihkan dan memurnikan ibadah dari segala jenis kotoran syirik.

Setelah diketahui pengertian ikhlas menurut pengertian syar’i, dapat diambil kesimpulan bahwa orang dikatakan ikhlas dalam beribadah apabila ia bertauhid dan meninggalkan segala jenis syirik.

Perlu diketahui, bahwa seseorang itu dikatakan bertauhid apabila meyakini dengan mantap tiga jenis tauhid dan meninggalkan dua jenis syirik. Lalu apa saja tiga jenis tauhid yang harus diyakini?

Tauhid yang pertama: Tauhid Rububiyyah, maksudnya kita harus yakin bahwa yang mencipta, yang memberi rezeki dan yang mengatur alam semesta hanya Allah Ta’ala tidak ada sekutu bagi-Nya.

Tauhid yang kedua: Tauhid Uluhiyyah, maksudnya yakin bahwa yang berhak disembah dan diberikan segala bentuk peribadatan hanyalah Allah Ta’ala tidak ada sekutu bagi-Nya.

Tauhid yang ketiga: Tauhid Asma’ wa Sifat, maksudnya kita harus yakin bahwa Allah Ta’ala memiliki Nama dan Sifat yang Mulia dan tidak sama dengan makhluk-Nya. Kita harus meyakini seluruh Nama dan Sifat Allah yang ada di dalam Alquran dan Assunnah apa adanya.

Setelah meyakini ketiga jenis tauhid ini, maka wajib meninggalkan dua jenis syirik yang menjadi musuh bagi orang-orang yang bertauhid.

Syirik yang pertama disebut Syirik Akbar, yaitu syirik yang menyebabkan pelakunya keluar dari Islam. Syirik jenis ini amat banyak jumlah dan macamnya, di antaranya adalah: meyakini ada yang mencipta dan yang mengatur alam ini selain Allah Ta’ala, meminta rejeki atau jodoh kepada orang yang telah mati atau kepada jin, menolak sebagian atau seluruh Nama dan Sifat Allah Ta’ala dan masih banyak bentuk lainnya.

Syirik yang kedua disebut Syirik Asyghar, yaitu syirik kecil yang tidak menyebabkan pelakunya dikeluarkan dari Islam. Namun dosanya lebih besar daripada dosa zina, dosa mencuri atau kemaksiatan lainnya. Di antara amalan yang termasuk jenis syirik ini adalah riya’ (ingin dilihat oleh orang ketika beribadah), sum’ah (ingin didengar ibadahnya oleh orang lain), bersumpah dengan nama selain Allah, memakai jimat dengan keyakinan bahwa kekuatannya bersumber dari Allah. Untuk yang satu ini bila diyakini bahwa sumber kekuatan itu dari jimatnya, maka sudah termasuk Syirik Akbar. Dan masih banyak lagi macamnya.

Siapa saja yang telah meyakini tiga jenis tauhid dan meninggalkan dua jenis syirik ini, maka dia telah ikhlas dalam beribadah kepada Allah Ta’ala. Inilah prinsip utama Ahlus Sunnah wal Jamaah yang terus diperjuangkan. Anda bisa melihat, mereka terus berdakwah menegakkan tauhid dan memberantas segala penyakit syirik walaupun banyak kalangan yang menentangnya, mereka memiliki dasar Alquran Surat Al-Bayyinah ayat 5 yang artinya: “Dan tidaklah mereka diperintah kecuali untuk beribadah kepada Allah dengan cara ikhlas dalam melaksanakan agama-Nya dan Hanif (meninggalkan segala jenis syirik) ...”

Pinsip Ahlusunnah yang kedua:
Bersatu di atas Alquran dan Assunnah dengan pemahaman salaful ummah

Banyak aktivis Islam yang saat ini menyerukan persatuan umat. Ada yang menggunakan partai sebagai alat pemersatu, ada juga yang menggunakan suku bangsa bahkan ada juga yang menyatukan umat dengan slogan “yang penting muslim”, walaupun keyakinan dan prinsip hidupnya berbeda-beda. Akibatnya terjadi banyak perpecahan di kalangan mereka karena masing-masing memiliki kepentingan yang berbeda. Kalaupun secara dhohir mereka bersatu, banyak prinsip Alquran dan Assunnah yang dikorbankan dalam rangka menjaga persatuan antara mereka.

Ahlus Sunnah wal Jamaah memiliki prinsip persatuan yang mantap dan akan terus diperjuangkan. Apa itu? Yaitu bersatu di atas Al Quran dan Assunnah dengan pemahaman salaful ummah.

Mengapa harus bersatu diatas Alquran dan Assunnah? Karena ini memang perintah dari Allah dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wasallam. Allah Ta’ala berfirman dalam surat Ali Imran ayat 103: “Dan berpegang teguhlah dengan tali Allah seluruhnya dan jangan kalian berpecah belah ...”

Ibnu Mas’ud radliyallahu ’anhu berkata: “Tali Allah artinya Kitabullah”. (Tafsir Ibnu Jarir dan lainnya)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Aku tinggalkan sesuatu untuk kalian. Bila kalian berpegang teguh dengannya maka kalian tidak akan tersesat selamanya, yaitu Kitabullah dan Sunnahku.” (HR. Imam Malik, Al-Hakim dan dihasankan oleh Al-Albani dalam Al-Misykah no: 186)

Bila ada yang berkomentar, “Banyak kelompok yang mengklaim dirinya di atas Alquran dan Assunnah, namun kenapa terjadi perbedaan prinsip dan cara pandang yang menyebabkan mereka terpecah belah?” Untuk menjawab pertanyaan ini cukup mudah, “Karena mereka memahami Alquran dan Assunnah dengan kemampuan akal yang disesuaikan dengan keinginan dan kepentingan kelompoknya”.

Lalu bagaimana seharusnya? Dalam memahami Alquran dan Assunnah wajib merujuk kepada pemahaman dan penjelasan dari Salaful Ummah. Siapa sebenarnya Salaful Ummah itu? Mereka adalah para shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam yang betul-betul paham maksud Al Quran dan Assunnah karena merekalah yang langsung mendengar dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.

Mengapa harus sesuai dengan pemahaman mereka, bukankah mereka juga manusia seperti kita? Karena mereka dan orang-orang yang mengikuti pemahaman mereka telah diridlai oleh Allah Ta’ala. Di dalam surat At-Taubah ayat 100 disebutkan yang artinya: “Generasi pertama dari kalangan shahabat Muhajirin dan Ashor serta orang-orang yang mengikuti jejak langkah mereka dengan baik, Allah ridla kepada mereka dan merekapun ridla kepada-Nya”.

Di samping itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam juga memerintahkan kita untuk mengikuti pemahaman para shahabat. “Sesungguhnya barang siapa yang masih hidup sepeninggalku nanti,ia akan melihat perbedaan prinsip yang banyak sekali, untuk itu wajib bagi kalian mengikuti sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk, peganglah erat-erat dan gigitlah dengan gigi geraham dan jauhilah perkara baru dalam agama, karena setiap perkara baru dalam agama itu bid’ah dan setiap bidah itu sesat.” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi, dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shohih Sunan Abu Dawud no: 4607). Inilah prinsip persatuan umat yang harus dijadikan sebagai pegangan.

Barang siapa yang menggunakan cara lain untuk menyatukan umat maka ia akan menuai kegagalan atau mungkin berhasil tetapi bersatu diatas kebatilan. Wallahu A’lam.

Prinsip Ahlusunah yang ketiga:
Larangan Memberontak dan Kewajiban Mentaati Penguasa Muslim yang Sah dalam hal yang ma’ruf (benar)

Menggulingkan kekuasaan pemerintah pada saat ini seolah-olah menjadi tujuan kebanyakan orang. Mereka ingin tokoh idolanya menjadi pemegang tampuk kekuasaan, lebih-lebih bila sang penguasa memiliki banyak kelemahan walaupun masih sah dan beragama Islam, mereka berusaha mati-matian untuk menggulingkan dengan mengatasnamakan rakyat dan keadilan. Ada juga yang memanfaatkan keadaan untuk merebut pangkat dan jabatan dengan cara membela sang penguasa habis-habisan bahkan membenarkan seluruh ucapan dan keputusan walaupun menyimpang jauh dari syari’at Islam. Lalu bagaimana prinsip Al Quran dan Assunnah menurut pemahaman salaful ummah dalam menyikapi sang penguasa ?

Allah berfirman dalam surat An-Nisa’ ayat 59 yang artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rosul dan Ulil Amri (pemimpin/penguasa muslim)...”

Syaikh As-Sa’di rahimahullah dalam tafsirnya menjelaskan maksud ayat ini sebagai berikut:

“Allah memerintahkan untuk taat kepada Ulil Amri, mereka adalah pemimpin negara, hakim atau mufti (ahli fatwa). Karena urusan agama dan dunia tidak akan berjalan dengan baik melainkan dengan cara taat dan tunduk kepada Ulil Amri sebagai wujud taat kepada perintah Allah dan dalam rangka mengharap pahala dari-Nya. Akan tetapi dengan syarat penguasa tidak memerintah kita untuk berbuat maksiat. Bila diperintah untuk maksiat maka tidak ada ketaatan sedikitpun kepada makhluk untuk bermaksiat kepada Al-Khaliq. Barangkali inilah rahasia tidak disebutkannya fi’il amr (kata perintah) ketika Allah memerintahkan untuk taat kepada Ulil Amri dan sebaliknya disebutkan fi’il amr ketika memerintah untuk taat kepada Rasul-Nya. Karena beliau hanya memerintah untuk mentaati Allah, sehingga barang siapa yang mentaati beliau sama saja dengan mentaati Allah Ta’ala. Adapun Ulil Amri baru ditaati bila tidak memerintah untuk bermaksiat.”

Dalam hadits shahih disebutkan, dari Ubadah bin Shomit, Radiyallahu ‘anhu, ia berkata:

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mengambil janji setia kepada kami, agar kami mendengar dan taat (kepada penguasa) baik dalam keadaan bersemangat atau lesu, dalam keadaan sulit atau mapan meskipun kami dizalimi, dan agar kami tidak menggulingkan kekuasaan lalu beliau bersabda: “Kecuali kalian melihat ada kekufuran yang nyata (pada penguasa) dan kalian memiliki dalil dari Allah dalam masalah tersebut.” (HR. Muslim/1709, Nasa’i dan lainnya)

Dari keterangan Al Quran dan Assunnah inilah, Ahlus Sunnah wal Jamaah berprinsip bahwa: Wajib bagi kita mentaati penguasa muslim yang sah dalam hal yang ma’ruf (bukan maksiat) dan haram menggulingkan kekuasaannya dengan alasan apapun kecuali memenuhi dua syarat yang telah dijelaskan oleh Syaikh Bin Baz rahimahullah setelah membawakan hadits di atas. Apa dua syarat tersebut?

Syarat pertama: Adanya kekufuran yang nyata pada diri sang penguasa dan kita menemukan dalil syar’i dalam masalah kekufuran tersebut.

Syarat kedua: Adanya kemampuan untuk menyingkirkan penguasa tersebut dengan cara yang tidak menimbulkan madlarat yang lebih besar.

Tanpa kedua syarat ini, maka tidak boleh! (Al-Ma’lum min Wajibil ‘Alaqoh Bainal Hakim wal Mahkum hal. 19)

Wahai kaum muslimin, kembalilah kepada petunjuk Allah dan Rasul-Nya. Wallahul musta’an.

Prinsip Ahlusunah yang keempat:
Menggapai Kemuliaan dengan Ilmu Syar’i

Kita semua sepakat bahwa tujuan hidup manusia di dunia ini adalah untuk beribadah kepada Allah Ta’ala sebagaimana yang telah ditegaskan di dalam Al Quran surat Adz-Dzariyat ayat 56. Oleh sebab itu, merupakan keharusan bagi kita untuk mengerti, apa yang dimaksud ibadah itu? Apakah ibadah hanya sebatas shalat, puasa, haji atau yang lainnya? Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya Al-’Ubudiyyah halaman 38 menjelaskan bahwa ibadah itu mencakup segala perkara yang dicintai dan diridlai Allah Ta’ala baik berupa ucapan merupakan perbuatan, baik yang nampak maupun yang tersembunyi.

Setelah kita mengerti makna ibadah, kita wajib mengerti macam-macam ibadah secara terperinci agar kita bisa menunaikan tugas dengan baik dan benar. Dari sini timbul pertanyaan, dari mana kita bisa mengetahui secara rinci macam-macam ibadah yang dicintai dan diridlai Allah Ta’ala? Mampukah akal kita menyimpulkan sendiri perincian tugas ibadah itu?

Untuk mengetahui secara rinci ibadah yang dicintai dan diridlai Allah Ta’ala tidak bisa disimpulkan dengan akal kita, tetapi harus ada petunjuk langsung dari Allah Ta’ala yang menugaskan kita untuk beribadah kepada-Nya. Petunjuk itu bernama Al Quran dan Assunnah yang telah dijelaskan secara rinci oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam kepada para shahabatnya radliyallahu ‘anhu. Singkat kata, wajib bagi kita mempelajari Al Quran dan Assunnah agar kita bisa menunaikan tugas ibadah dengan baik dan benar. Perlu diketahui, bahwa Al Quran dan Assunnah itulah yang disebut Ilmu Syar’i sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibnu Abbas radliyallahu ‘anhuma dan lainnya. Lihat “Al-Ilmu Asy-Syar’i” halaman 8-10 karya Abdurrahman Abul Hasan Al-’Aizuri.

Oleh sebab itu, siapa saja yang mempelajari ilmu syar’i dan mengamalkannya berarti ia telah menjalankan tugas ibadah dengan baik dan benar, barang siapa yang telah menunaikan tugas ibadah dengan baik, ia layak mendapat kemuliaan dan kehormatan dari Allah Ta’ala. Di dalam surat Al-Mujadalah ayat 11 disebutkan:

“Allah akan meninggikan derajat orang-orang yang beriman dan berilmu diantara kalian.”

As-Sa’di rahimahullah dalam tafsirnya halaman 846 berkata: “Di dalam ayat ini terdapat keutamaan ilmu syar’i, dan buah dari ilmu itu adalah beradab dan beramal atas dasar ilmu tersebut.”

Dalam hadits shahih juga ditegaskan:

“Barang siapa yang dikehendaki oleh Allah mendapat kebaikan, maka Allah jadikan paham agama ini.”

Al-Hafidh Ibnu Hajar Al-Asqolani rahimahullah dalam Fathul Bari juz 1 halaman 222 menjelaskan : “Dari hadits ini dapat dipahami, bahwa orang-orang yang tidak paham agama dan dasar-dasarnya, ia tidak akan mendapat kebaikan sedikitpun”.
Ahlus Sunnah wal Jama’ah memahami hal ini, untuk itu mereka gigih dan bersemangat untuk mempelajari ilmu syar’i dan mengamalkannya dengan baik dan benar, mereka punya prinsip yang mantap dan mengagumkan, yakni Berilmu Sebelum Berkata dan Beramal, untuk menggapai kemuliaan. Wallahul musta’an.

Prinsip Ahlusunnah yang kelima:
Meyakini bahwa Wali Allah Adalah Orang yang Beriman dan Bertakwa

Bila kita amati sejenak keadaan umat, kita akan dapati satu masalah yang sangat memasyarakat di tengah mereka. Adegan-adegan luar biasa yang membuat sebagian orang merasa kagum, ada yang tidak mempan ditusuk senjata tajam, ada yang bisa makan beling seperti makan kerupuk, ada yang tidak penyet digilas mobil, ada yang kepalanya dipenggal lalu bisa langsung sambung dan yang sejenisnya.

Anehnya para penonton yang kebanyakan umat Islam banyak yang memberi gelar kehormatan “WALI ALLAH” kepada para pendekar kebanggaan mereka. Benarkah orang-orang sakti seperti itu disebut Wali Allah? Apa sebenarnya pengertian dan ciri-ciri Wali Allah menurut Al Quran dan As-Sunnah?

Allah Ta’ala telah berfirman yang artinya :

“Ingatlah, sesungguhnya Wali Allah itu tidak akan takut dan bersedih hati, mereka adalah orang-orang yang beriman dan bertaqwa.” (QS. Yunus: 62)

Ibnu Katsir rahimahullah dalam tafsirnya (2/422) menjelaskan: “Allah Ta’ala menyatakan bahwa wali-Nya adalah orang beriman dan bertaqwa, maka siapa saja yang benar-benar bertaqwa maka ia layak disebut wali Allah Ta’ala”.

Di dalam Al Quran banyak disebutkan ciri-ciri Wali Allah, diantaranya adalah :

Ciri pertama: Beriman dan bertaqwa (QS. Yunus : 62)

Ciri kedua: Mengikuti Sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam (QS. Ali Imran : 31)

Ciri ketiga: Mencintai dan dicintai Allah Ta’ala karena mereka sayang kepada kaum muslimin dan tegas dihadapan orang kafir, mereka berjihad fii sabilillah dan tidak takut celaan apapun. (QS. Al-Maidah : 54)

Di dalam As-Sunnah As-Shohihah yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam kitab Ar-Riqoq Bab At-Tawadlu’ (7/190) dari Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menjelaskan ciri wali Allah, yaitu mereka rajin mengamalkan amalan-amalan sunnah setelah menunaikan amalan wajib.

Lalu, apakah hal-hal yang luar biasa yang terjadi pada diri seseorang itu termasuk ciri utama Wali Allah?

Perlu diketahui bahwa hal-hal yang luar biasa yang terjadi pada diri seseorang itu ada beberapa jenis:

1. Mu’jizat, terjadi pada nabi dan rasul.
2. Irhash, terjadi pada calon nabi dan rasul.
3. Karamah, terjadi pada wali Allah selain nabi dan rasul.
4. Istidroj atau sihir, terjadi pada wali syaithon.

Dari sini dapat diketahui bahwa Wali Allah itu kadang-kadang diberi hal-hal yang luar biasa dan ini disebut karamah, namun perlu diingat bahwa karamah ini bukan ciri utama Wali Allah dan tidak bisa dipelajari. Adapun adegan-adegan luar biasa yang saat ini semarak di masyarakat lebih condong kepada istidroj atau sihir dengan beberapa alasan :

Alasan pertama, pelakunya tidak memiliki ciri-ciri Wali Allah Ta’ala.
Alasan kedua, hal-hal yang luar biasa yang mereka tampilkan bisa dipelajari, terbukti mereka punya perguruan-perguruan yang mengajarkan seperti itu.

Singkat kata, Ahlus Sunnah wal Jama’ah berkeyakinan bahwa Wali Allah itu adalah orang yang berimana dan bertaqwa baik mendapat karamah maupun tidak, Wallahu A’lam.

Prinsip Ahlusunnah keenam :
Mensukseskan Gerakan Tashfiyah (pemurnian) & Tarbiyah (pendidikan)

Asy-Syaikh Abdurrahman bin Yahya Al-Mu’allimi dalam kitabnya Fadhlullah As-Shomad (1/17) menyatakan, ada tiga penyebab perpecahan dan kelemahan kaum muslimin saat ini. Pertama: tidak bisa membedakan antara ajaran Islam yang murni dengan ajaran yang disusupkan ke dalam Islam. Kedua: kurang yakin dengan kebenaran Islam. Ketiga: tidak mengamalkan Islam secara utuh.

Benarlah apa yang pernah disabdakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada para shahabatnya. Dari Abu Najih Al-’Irbadl bin Sariyah radliyallahu ‘anhu ia bercerita: “Suatu ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi nasehat kepada kita, nasehat itu membuat hati bergetar: “Wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sepertinya nasehat ini adalah nasehat perpisahan, untuk itu berilah kami wasiat!” Maka beliaupun bersabda: “Aku wasiatkan kepada kalian agar tetap bertaqwa kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan tetap mendengar dan taat (dalam hal yang baik - pent) walaupun kalian diperintah oleh penguasa dari budak Habsyi. Sesungguhnya, siapa saja di antara kalian yang masih hidup sepeninggalku nanti, pasti melihat banyak perselisihan, maka wajib atas kalian untuk tetap berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah Khulafaurrosyidin yang mendapat petunjuk, peganglah sunnah itu dan gigitlah dengan gigi geraham (jangan sampai lepas) dan jauhilah perkara-perkara baru yang disusupkan ke dalam agama karena sesungguhnya setiap perkara baru yang disusupkan ke dalam agama itu bid’ah dan setiap bid’ah itu sesat”. (HR. Abu Dawud, Tirmidzi dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Shahihul Jami’ nomor: 2546)

Dalam hadits ini Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dengan jelas menyatakan bahwa penyebab perpecahan umat dan kelemahannya adalah tidak bisa membedakan antara sunnah beliau dan bid’ah yang disusupkan ke dalam ajaran agama. Disamping itu beliau juga memberikan solusinya dengan cara berpegang teguh dan mengamalkan sunnah beliau, yakni ajaran Islam yang murni.

Berangkat dari sinilah, Ahlus Sunnah wal Jamaah berusaha sekuat tenaga untuk mensukseskan gerakan Tashfiyah dan Tarbiyah. Lalu apa yang dimaksud dengan Tashfiyah dan Tarbiyah itu?

Tashfiyah adalah gerakan pemurnian ajaran Islam dengan cara menyingkirkan segala keyakinan, ucapan maupun amalan yang bukan berasal dari Islam. Sedangkan Tarbiyah adalah usaha mendidik generasi muslim dengan ajaran Islam yang murni, yang berdasarkan Al Quran dan Assunnah dengan pemahaman para Shahabat Radliyallahu ‘anhum ajma’in.

Dalam rangka mensukseskan gerakan ini, Ahlus Sunnah wal Jamaah terus menerus memperingatkan umat dari segala bentuk penyimpangan baik berupa kekufuran, kesyirikan, kebid’ahan maupun kemaksiatan, di samping itu juga meluruskan penyimpangan-penyimpangan yang terjadi baik yang ada di kitab-kitab yang tersebar di kalangan umat maupun pernyataan-pernyataan sesat dari para penyesat. Dan yang termasuk program ini adalah memisahkan antara hadits shahih dengan hadits dha’if, ini semua dinilai sebagai amar ma’ruf nahi munkar yang menjadi kewajiban kita semua.

Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: Menyuruh umat untuk mengikuti sunnah dan melarang mereka dari kebid’ahan termasuk amar ma’ruf nahi munkar dan termasuk amal shaleh yang paling utama”. (Minhajus Sunnah: 5/253)

Semoga dengan gerakan Tashfiyah dan Tarbiyah ini, kaum muslimin sadar dan mau kembali ke agama Islam yang murni sehingga pertolongan Allah turun kepada kita. Wallahul musta’an.


Rujukan:

1. Syarh Al-Ushul As-Sittah, Asy-Syaikh Utsaimin.
2. Tanbih Dzamil Uqul As-Salimah, Asy-Syaikh ‘Ubaid Al-Jabiri
3. Sittu Durar min Ushuli Ahlil Atsar, Asy-Syaikh Abdul Malik Ramdloni.
4. At-Tashfiyyah Wat-Tarbiyyah, Asy-Syaikh Ali Hasan
5. Tafsir Al-Karimir Rahman, Asy-Syaikh As-Sa’di.
6. Qowaid wa Fawaid, Asy-Syaikh Nadlim Muhammad Sulthon.
7. Karamatu Auliya’illah, Al-Imam Al-Lalikai.
8. Al-Furqon Baina Auliya ‘ir rahman wa Auliya’ is syaithan, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.

(Link URL Salafy Online)
Read More..

Menggapai Kemenangan dengan Tauhid

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wassalam berkata kepada sahabat Mu'adz ibnu Jabal, "Maukah kuberitahukan padamu pokok amal, tiang, serta puncaknya?" Mu'adz menjawab, "Mau, ya Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wassalam." Beliau bersabda, "Pokok amal adalah Islam dan tiang-tiangnya adalah sholat, dan puncaknya adalah jihad." (HR Tirmidzi)

Tidak diragukan lagi bahwa jihad adalah amalan yang tertinggi, puncak ketinggian Islam. Jihad adalah salah satu prinsip dari prinsip-prinsip aqidah al islamiyyah. Dengan berjihad berarti menjadikan agama seluruhnya untuk Allah, mencegah kezholiman dan menegakkan yang haq, memelihara kemuliaan kaum muslimin dan menolong kaum mustadh'afin. Allah berfirman, "Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah." (QS Al Anfaal: 39).

Sebaliknya dengan berjihad juga berarti menghinakan musuh-musuh Allah, mencegah kejahatannya, menjaga kehormatan kaum muslimin, dan menghancurkan kaum kafirin. Allah berfirman, "Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak pula kepada hari kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar." (QS At Taubah: 29).

Jihad adalah jalannya para salafush sholih dalam rangka menghadang permusuhan kaum kuffar, munafiqin, dan mulhidin, serta seluruh musuh-musuh agama. Di samping itu mereka juga berjihad dengan tujuan memperbaiki keadaan kaum muslimin dalam hal aqidahnya, akhlaqnya, adabnya, dan seluruh urusan-urusan agamanya dan dunianya serta mentarbiyah ilmu dan amalnya.

Sebagai seorang muslim tentunya kita meyakini dalam hati bahwa pertolongan adalah janji bagi ahli iman. Allah berfirman, "Dan kami selalu berkewajiban menolong orang-orang yang beriman." (QS Ar Ruum: 47). Kita juga meyakini bahwa Allah pasti menolong hamba-hamba-Nya yang menjadi penolong agama-Nya. Allah berfirman, "Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu." (QS Muhammad: 7).

Itulah janji Allah dan Allah tidak akan menyelisihi janji-Nya. Allah berfirman, "Dan siapakah yang lebih menepati janjinya selain daripada Allah?" (QS At Taubah: 111). Dengan demikian menjadi kewajiban atas setiap muslim ialah mengetahui apa yang mesti dilakukan dalam rangka mengambil sebab yang dengan itu akan membuahkan pertolongan Allah -dengan keyakinan bahwa kemenangan dan pertolongan Allah hanya akan diraih oleh orang-orang yang ahli untuk menerimanya-.

Para pembaca -rahimakumullah-, pertolongan Allah tidak akan turun dengan kita hanya berkoar-koar di atas mimbar, menghitung-hitung kekuatan musuh. Pertolongan Allah tidak akan datang dengan hanya mengumpulkan jumlah orang banyak dengan bermacam-macam latar belakang aqidah dan pemahaman. Kemenangan dan pertolongan Allah akan sangat jauh bila menuruti caranya orang-orang bodoh dengan berdemonstrasi di jalan-jalan, lebih-lebih berdemonstrasi sebagai upaya menegakkan syariat Islam!!!

Mengharapkan pertolongan Allah bukanlah dengan cara berkhayal dan berangan-angan semata, bukan pula hanya dengan semangat yang hampa. Allah berfirman, "(Pahala dari Allah) itu bukanlah menurut angan-anganmu yang kosong dan tidak pula menurut angan-angan ahli kitab. Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu dan ia tidak mendapat pelindung dan tidak pula penolong baginya selain dari Allah." (QS An Nisaa: 123).

Para pembaca -yang semoga dirahmati Allah-, ketahuilah bahwa persiapan yang paling besar bagi orang-orang yang beriman dalam rangka membangun kekuatan atas musuh-musuhnya ialah hendaknya berhubungan dengan Allah melalui tauhid, kecintaan, pengharapan, takut, dan senantiasa kembali padanya, serta khusyu' dan tawakkal. Selalu berada di sisi-Nya dan mencukupkan dari selain-Nya.

Allah berfirman, "Orang-orang kafir berkata kepada rasul-rasul mereka: Kami sungguh-sungguh akan mengusir kamu dari negeri kami atau kamu kembali kepada agama kami. Maka Tuhan mewahyukan kepada mereka: Kami pasti akan membinasakan orang-orang yang zholim itu dan Kami pasti akan menempatkan kamu di negeri-negeri itu sesudah mereka. Yang demikian itu adalah untuk orang-orang yang takut akan menghadap kehadirat-Ku dan yang takut kepada ancaman-Ku." (QS Ibrohim: 13-14).

Mereka adalah para ahli tauhid yang murni yang Allah telah menjanjikan atas mereka kemenangan, keamanan, dan khilafah. Allah berfirman, "Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang shalih bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa. Dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhoi-Nya untuk mereka dan Dia benar-benar akan menukar keadaan mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa, mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku." (QS An Nuur: 55).

Apakah kita kaum muslimin telah benar-benar memperhatikan syarat yang agung ini: "... menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku"? Inilah yang mesti diketahui dan ditegakkan oleh orang-orang yang mempunyai kedua penglihatan.

Ingatlah! Tatkala sekelompok kaum mu'minin dari para sahabat Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wassalam keluar menuju perang Hunain di mana sebagiannya mereka baru masuk Islam. Ketika sampai di sebuah pohon yang disebut Dzaatu Anwaath, mereka melihat kaum musyrikin menggantungkan senjata-senjatanya pada pohon itu dalam rangka meminta berkah. Mereka berkata, "Wahai Rasulullah, buatkanlah untuk kami Dzaatu Anwaath seperti halnya mereka." Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wassalam menjawab, "Allahu Akbar!", dalam riwayat lain, "Subhanallah! Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, sungguh kalian telah mengatakan seperti perkataan kaum Musa padanya (Musa AS): Buatlah untuk kami sebuah tuhan (berhala), sebagaimana mereka mempunyai beberapa tuhan (berhala)." (QS Al A'raaf: 138), (HR Ahmad).

Perhatikanlah hadits ini dimana keislaman mereka yang masih baru tidak menghalangi Nabi Shalallahu ‘alaihi Wassalam untuk mengingkarinya dari satu kalimat yang akan menjerumuskan kepada kesyirikan. Jumlah mereka yang banyak, rapi siap untuk bertempur memerangi orang-orang kafir tidak menghalangi Nabi Shalallahu ‘alaihi Wassalam untuk mencegah / meluruskan kesalahan mereka yang sifatnya aqidah. Jadi sama sekali tidak boleh mengesampingkan haq Allah untuk diibadahi dengan tauhid karena ini syarat yang paling agung. Jika tidak maka akan lenyaplah jihad itu.
Semoga para pembaca masih ingat, bagaimana kaum muslimin mendapatkan kemenangan yang gemilang atas kaum Tartar setelah mereka memperbaiki aqidahnya dan membuktikan tauhidnya kepada Allah AWJ. Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, "Dan ketika kaum muslimin mulai memperbaiki urusan-urusannya, benar dalam beristighotsah kepada Rabbnya, maka mereka mendapatkan kemenangan atas musuh-musuhnya dengan kemenangan yang mulia.

Sebaliknya, kaum Tartar mengalami kekalahan dengan kekalahan yang tak pernah mereka alami sebelumnya.

Ketika pembuktian tauhid yang benar kepada Allah dan taat kepada Rasul-Nya, sesungguhnya Allah akan menolong Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia dan pada hari didatangkannya saksi-saksi." Ini menunjukkan bahwa pertolongan dan kemenangan di muka bumi tidak akan dapat diraih kecuali setelah menancapkan agama yang benar di dalam jiwa. Dan Allah berfirman, "Sesungguhnya Aku beserta kamu. Sesungguhnya jika kamu mendirikan sholat dan menunaikan zakat serta beriman kepada rasul-rasul-Ku dan kamu bantu mereka dan kamu pinjamkan kepada Allah pinjaman yang baik." (QS Al Maidah: 12).

Dan Allah juga berfirman, "Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaannya yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya dan sekali-kali tidak ada pelindung bagi mereka selain Dia." (QS Ar Ra'd: 11).

Alangkah baiknya jika penulis menukil wasiatnya Umar ibnu Abdil Aziz, sebagaimana diriwayatkan oleh Al Imam Abu Nu'aim dalam Al Hilyah (5/303) dari jalan Ibnul Mubarok dari Maslamah ibnu Abi Bakroh dari seorang laki-laki dari Quraisy, bahwa Umar ibnu Abdil Aziz berwasiat kepada sebagian pekerjanya, "Hendaklah engkau bertaqwa kepada Allah di tempat mana saja Engkau berada. Sesungguhnya taqwa kepada Allah adalah persiapan yang paling baik, makar yang paling sempurna, dan kekuatan yang paling dahsyat.

Dan janganlah karena kebencian musuhmu kepadamu menjadikanmu dan orang-orang yang bersamamu menjadi lebih perhatian padanya daripada maksiat-maksiat kepada Allah. Sesungguhnya yang paling Aku takutkan atas manusia adalah dosa-dosanya daripada makar-makar musuhnya. Karena kita membenci musuh-musuh dan menang atas mereka disebabkan karena kemaksiatan-kemaksiatan mereka, jika bukan karena itu kita tak punya kekuatan karena jumlah mereka tak seperti jumlah kita, kekuatan mereka tak seperti kekuatan kita. Jika kita tidak dimenangkan atas mereka karena kebencian kita, kita takkan dapat mengalahkan mereka dengan kekuatan kita.

Dan janganlah karena permusuhan seseorang dari manusia menjadikan kalian lebih perhatian padanya daripada dosa-dosa kalian. Ketahuilah bahwa bersama kalian para malaikat Allah yang menjaga kalian, mengetahui apa yang kalian lakukan di rumah-rumah dan di perjalanan kalian, maka malulah dari mereka, perbaikilah kebersamaan kalian dengan mereka, janganlah kalian sakiti mereka dengan maksiat-maksiat kepada Allah sedang kalian mengira bahwa kalian fi sabilillah.

Janganlah kalian katakan bahwa musuh-musuh kita lebih jelek keadaannya daripada kita dan mereka takkan pernah menang atas kita sekalipun kita banyak dosa. Berapa banyak kaum yang dihinakan dengan sesuatu yang lebih jelek dari musuh-musuhnya karena dosa-dosanya. Mintalah kalian pertolongan kepada Allah atas diri-diri kalian, sebagaimana kalian minta pertolongan pada-Nya atas musuh-musuh kalian. Kita memohon yang demikian untuk kita dan kalian..."

Demikianlah sebagian dari wasiatnya Umar ibnu Abdil Aziz yang memacu kita kaum muslimin untuk senantiasa bermuhasabah atas diri-diri kita. Dan di akhir tulisan ini penulis ingin mengingatkan kembali bahwa Allah SWT menggantungkan pertolongan-Nya atas taqwa, sabar, dan perbaikan hubungan dengan-Nya melalui tauhid. Allah berfirman, "Jika kamu bersabar dan bertaqwa niscaya tipu daya mereka sedikitpun tidak mendatangkan kemudhorotan kepadamu." (QS Ali Imron: 120).

"Ya (cukup), jika kamu bersabar dan bertaqwa dan mereka datang menyerang kamu dengan seketika itu juga, niscaya Allah menolong kamu dengan lima ribu malaikat yang memakai tanda." (QS Ali Imron: 125).

"Jika kamu bersabar dan bertaqwa, maka sesungguhnya yang demikian itu termasuk urusan yang patut diutamakan." (QS Ali Imron: 186).

Walhamdu lillahi rabbil 'alamin.

(Dikutip dari tulisan Ustadz Abu Hamzah Yusuf, dari Bulletin Al Wala wal Bara Edisi ke-8 Tahun ke-1 / 07 Februari 2003 M / 05 Dzul Hijjah 1423 H. Judul asli Menggapai Kemenangan dengan Tauhid. Link Url FDAWJ dan Salafy Online)

Read More..

Siapakah Ahlu Sunnah ?

Istilah Ahlus Sunnah tentu tidak asing bagi kaum muslimin. Bahkan mereka semua mengaku sebagai Ahlus Sunnah. Tapi siapakah Ahlus Sunnah itu? Dan siapa pula kelompok yang disebut Rasulullah sebagai orang-orang asing?

Telah menjadi ciri perjuangan iblis dan tentara-tentaranya yaitu terus berupaya mengelabui manusia. Yang batil bisa menjadi hak dan sebaliknya, yang hak bisa menjadi batil. Sehingga ahli kebenaran bisa menjadi pelaku maksiat yang harus dimusuhi dan diisolir. Dan sebaliknya, pelaku kemaksiatan bisa menjadi pemilik kebenaran yang harus dibela. Syi’ar pemecah belah ini merupakan ciri khas mereka dan mengganggu perjalanan manusia menuju Allah merupakan tujuan tertinggi mereka. Tidak ada satupun pintu kecuali akan dilalui iblis dan tentaranya. Dan tidak ada satupun amalan kecuali akan dirusakkannya, minimalnya mengurangi nilai amalan tersebut di sisi Allah Subhanahu Wata’ala. Iblis mengatakan di hadapan Allah Subhanahu Wata’ala: “Karena Engkau telah menyesatkanku maka aku akan benar-benar menghalangi mereka dari jalan-Mu yang lurus dan aku akan benar-benar mendatangi mereka dari arah depan dan belakang, dan samping kiri dan samping kanan.”, (QS. Al A’raf : 17 )

Dalam upayanya mengelabui mangsanya, Iblis akan mengatakan bahwa ahli kebenaran itu adalah orang yang harus dijauhi dan dimusuhi, dan kebenaran itu menjadi sesuatu yang harus ditinggalkan, dan dia mengatakan: “Sehingga Engkau ya Allah menemukan kebanyakan mereka tidak bersyukur.” (QS. Al A’raf: 17)

Demikian halnya yang terjadi pada istilah Ahlus Sunnah wal Jamaah. Istilah ini lebih melekat pada gambaran orang-orang yang banyak beribadah dan orang-orang yang berpemahaman sufi. Tak cuma itu, semua kelompok yang ada di tengah kaum muslimin juga mengaku sebagai Ahlus Sunnah wal Jamaah. Walhasil, nama Ahlus Sunnah menjadi rebutan orang. Mengapa demikian? Apakah keistimewaan Ahlus Sunnah sehingga harus diperebutkan? Dan siapakah mereka sesungguhnya?

Menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, kita harus merujuk kepada keterangan Rasulullah Shallallahu ‘Alahi Wasallam dan ulama salaf dalam menentukan siapakah mereka yang sebenarnya dan apa ciri-ciri khas mereka. Jangan sampai kita yang digambarkan dalam sebuah sya’ir:

Semua mengaku telah meraih tangan Laila dan Laila tidak mengakui yang demikian itu Bahwa tidak ada maknanya kalau hanya sebatas pengakuan, sementara dirinya jauh dari kenyataan.

Secara fitrah dan akal dapat kita bayangkan, sesuatu yang diperebutkan tentu memiliki keistimewaan dan nilai tersendiri. Dan sesuatu yang diakuinya, tentu memiliki makna jika mereka berlambang dengannya. Mereka mengakui bahwa Ahlus Sunnah adalah pemilik kebenaran. Buktinya, setelah mereka memakai nama tersebut, mereka tidak akan ridha untuk dikatakan sebagai ahli bid’ah dan memiliki jalan yang salah. Bahkan mengatakan bahwa dirinya merupakan pemilik kebenaran tunggal sehingga yang lain adalah salah. Mereka tidak sadar, kalau pengakuannya tersebut merupakan langkah untuk membongkar kedoknya sendiri dan memperlihatkan kebatilan jalan mereka. Yang akan mengetahui hal yang demikian itu adalah yang melek dari mereka.

As Sunnah
Berbicara tentang As Sunnah secara bahasa dan istilah sangat penting sekali. Di samping untuk mengetahui hakikatnya, juga untuk mengeluarkan mereka-mereka yang mengakui sebagai Ahlus Sunnah. Mendefinisikan As Sunnah ditinjau dari beberapa sisi yaitu sisi bahasa, syari’at dan generasi yang pertama, ahlul hadits, ulama ushul, dan ahli fiqih.

As Sunnah menurut bahasa
As Sunnah menurut bahasa adalah As Sirah (perjalanan), baik yang buruk ataupun yang baik. Khalid bin Zuhair Al Hudzali berkata:
Jangan kamu sekali-kali gelisah karena jalan yang kamu tempuh
Keridhaan itu ada pada jalan yang dia tempuh sendiri.

As Sunnah menurut Syari’at Dan Generasi Yang Pertama
Apabila terdapat kata sunnah dalam hadits Rasulullah atau dalam ucapan para sahabat dan tabi’in, maka yang dimaksud adalah makna yang mencakup dan umum. Mencakup hukum-hukum baik yang berkaitan langsung dengan keyakinan atau dengan amal, apakah hukumnya wajib, sunnah atau boleh.

Al Hafidz Ibnu Hajar dalam kitab Fathul Bari 10/341 berkata: “Telah tetap bahwa kata sunnah apabila terdapat dalam hadits Rasulullah, maka yang dimaksud bukan sunnah sebagai lawan wajib (Apabila dikerjakan mendapat pahala dan apabila di tinggalkan tidak akan berdosa, pent.).”

Ibnu ‘Ajlan dalam kitab Dalilul Falihin 1/415 ketika beliau mensyarah hadits ‘Fa’alaikum Bisunnati’, berkata: “Artinya jalanku dan langkahku yang aku berjalan di atasnya dari apa-apa yang aku telah rincikan kepada kalian dari hukum-hukum i’tiqad (keyakinan), dan amalan-amalan baik yang wajib, sunnah, dan sebagainya.”

Imam Shan’ani berkata dalam kitab Subulus Salam 1/187, ketika beliau mensyarah hadits Abu Sa’id Al-Khudri, “di dalam hadits tersebut disebutkan kata ‘Ashobta As Sunnah’, yaitu jalan yang sesuai dengan syari’at.”

Demikianlah kalau kita ingin meneliti nash-nash yang menyebutkan kata “As Sunnah”, maka akan jelas apa yang dimaukan dengan kata tersebut yaitu: “Jalan yang terpuji dan langkah yang diridhai yang telah dibawa oleh Rasulullah. Dari sini jelaslah kekeliruan orang-orang yang menisbahkan diri kepada ilmu yang menafsirkan kata sunnah dengan istilah ulama fiqih sehingga mereka terjebak dalam kesalahan yang fatal.

As Sunnah Menurut Ahli Hadits
As sunnah menurut jumhur ahli hadits adalah sama dengan hadits yaitu: “Apa-apa yang diriwayatkan dari Rasulullah baik berbentuk ucapan, perbuatan, ketetapan, dan sifat baik khalqiyah (bentuk) atau khuluqiyah (akhlak).

As Sunnah Menurut Ahli Ushul Fiqih
Menurut Ahli Ushul Fiqih, As Sunnah adalah dasar dari dasar-dasar hukum syaria’at dan juga dalil-dalilnya.

Al Amidy dalam kitab Al Ihkam 1/169 mengatakan: “Apa-apa yang datang dari Rasulullah dari dalil-dalil syari’at yang bukan dibaca dan bukan pula mu’jizat atau masuk dalam katagori mu’jizat”.

As Sunnah Di Sisi Ulama Fiqih
As Sunnah di sisi mereka adalah apa-apa yang apabila dikerjakan mendapatkan pahala dan apabila tidak dikerjakan tidak berdosa.

Di sini bisa dilihat, mereka yang mengaku sebagai ahlus sunnah -dengan menyandarkan kepada ahli fikih-, tidak memiliki dalil yang jelas sedikitpun dan tidak memiliki rujukan, hanya sebatas simbol yang sudah usang. Jika mereka memakai istilah syariat dan generasi pertama, mereka benar-benar telah sangat jauh. Jika mereka memakai istilah ahli fiqih niscaya mereka akan bertentangan dengan banyak permasalahan. Jika mereka memakai istilah ulama ushul merekapun tidak akan menemukan jawabannya. Jika mereka memakai istilah ulama hadits sungguh mereka tidak memilki peluang untuk mempergunakan istilah mereka. Tinggal istilah bahasa yang tidak bisa dijadikan sebagai hujjah dalam melangkah, terlebih menghalalkan sesuatu atau mengharamkannya.

Siapakah Ahlus Sunnah
Ahlu Sunnah memiliki ciri-ciri yang sangat jelas di mana ciri-ciri itulah yang menunjukkan hakikat mereka.
1. Mereka adalah orang-orang yang mengikuti jalan Rasulullah dan jalan para sahabatnya, yang menyandarkan pada Al Qur’an dan As Sunnah dengan pemahaman salafus shalih yaitu pemahaman generasi pertama umat ini dari kalangan shahabat, tabi’in dan generasi setelah mereka. Rasulullah bersabda: “ Sebaik-baik manusia adalah generasiku kemudian orang-orang setelah mereka kemudian orang-orang setelah mereka.” (HR. Bukhari, Muslim, Ahmad).
2. Mereka kembalikan segala bentuk perselisihan yang terjadi di kalangan mereka kepada Al Qur’an dan As Sunnah dan siap menerima apa-apa yang telah diputuskan oleh Allah dan Rasulullah. Firman Allah:
“Maka jika kalian berselisih dalam satu perkara, kembalikanlah kepada Allah dan Rasulullah jika kalian beriman kepada Allah dan hari akhir. Dan yang demikian itu adalah baik dan lebih baik akibatnya.” (QS. An Nisa: 59)

“Tidak pantas bagi seorang mukmin dan mukminat apabila Allah dan Rasul-Nya memutuskan suatu perkara untuk mereka, akan ada bagi mereka pilihan yang lain tentang urusan mereka. Barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya sungguh dia telah sesat dengan kesesatan yang nyata. (QS. Al Ahzab: 36)
3. Mereka mendahulukan ucapan Allah dan Rasul daripada ucapan selain keduanya. Firman Allah: “Hai orang-orang yang beriman janganlah kalian mendahulukan (ucapan selain Allah dan Rasul ) terhadap ucapan Allah dan Rasul dan bertaqwalah kalian kepada Allah sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al Hujurat: 1)
4. Menghidupkan sunnah Rasulullah baik dalam ibadah mereka, akhlak mereka, dan dalam semua sendi kehidupan, sehigga mereka menjadi orang asing di tengah kaumnya. Rasulullah bersabda tetang mereka:
“Sesungguhnya Islam datang dalam keadaan asing dan akan kembali pula daam keadaan asing, maka berbahagialah orang-orang dikatakan asing.” (HR. Muslim dari hadits Abu Hurairah dan Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma)
5. Mereka adalah orang-orang yang sangat jauh dari sifat fanatisme golongan. Dan mereka tidak fanatisme kecuali kepada Kalamullah dan Sunnah Rasulullah. Imam Malik mengatakan: “Tidak ada seorangpun setelah Rasulullah yang ucapannya bisa diambil dan ditolak kecuali ucapan beliau.”
6. Mereka adalah orang-orang yang menyeru segenap kaum muslimin agar bepegang dengan sunnah Rasulullah dan sunnah para shahabatnya.
7. Mereka adalah orang-oang yang memikul amanat amar ma’ruf dan nahi munkar sesuai dengan apa yang dimaukan Allah dan Rasul-Nya. Dan mereka mengingkari segala jalan bid’ah (lawannya sunnah) dan kelompok-kelompok yang akan mencabik-cabik barisan kaum muslimin.
8. Mereka adalah orang-orang yang mengingkari undang-undang yang dibuat oleh manusia yang menyelisihi undang-undang Allah dan Rasulullah.
9. Mereka adalah orang-orang yang siap memikul amanat jihad fi sabilillah apabila agama menghendaki yang demikian itu.

Syaikh Rabi’ dalam kitab beliau Makanatu Ahli Al Hadits hal. 3-4 berkata: “Mereka adalah orang-orang yang menempuh manhaj (metodologi)-nya para sahabat dan tabi’in dalam berpegang terhadap kitabullah dan sunnah Rasulullah dan menggigitnya dengan gigi geraham mereka. Mendahulukan keduanya atas setiap ucapan dan petunjuk, kaitannya dengan aqidah, ibadah, mu’amalat, akhlaq, politik, maupun, persatuan. Mereka adalah orang-orang yang kokoh di atas prinsip-prinsip agama dan cabang-cabangnya sesuai dengan apa yang diturunkah Allah kepada hamba dan Rasul-Nya Muhammad shallallahu ‘alahi wasallam. Mereka adalah orang-orang yang tampil untuk berdakwah dengan penuh semangat dan kesungguh-sungguhan. Mereka adalah para pembawa ilmu nabawi yang melumatkan segala bentuk penyelewengan orang-orang yang melampaui batas, kerancuan para penyesat dan takwil jahilin. Mereka adalah orang-orang yang selalu mengintai setiap kelompok yang menyeleweng dari manhaj Islam seperti Jahmiyah, Mu’tazilah, Khawarij, Rafidah (Syi’ah), Murji’ah, Qadariyah, dan setiap orang yang menyeleweng dari manhaj Allah, mengikuti hawa nafsu pada setiap waktu dan tempat, dan mereka tidak pernah mundur karena cercaan orang yang mencerca.”

Ciri Khas Mereka
1) Mereka adalah umat yang baik dan jumlahnya sangat sedikit, yang hidup di tengah umat yang sudah rusak dari segala sisi. Rasulullah bersabda:
“Berbahagialah orang yang asing itu (mereka adalah) orang-orang baik yang berada di tengah orang-orang yang jahat. Dan orang yang memusuhinya lebih banyak daripada orang yang mengikuti mereka.” (Shahih, HR. Ahmad)

Ibnul Qoyyim dalam kitabnya Madarijus Salikin 3/199-200, berkata: “Ia adalah orang asing dalam agamanya dikarenakan rusaknya agama mereka, asing pada berpegangnya dia terhadap sunnah dikarenakan berpegangnya manusia terhadap bid’ah, asing pada keyakinannya dikarenakan telah rusak keyakinan mereka, asing pada shalatnya dikarenakan jelek shalat mereka, asing pada jalannya dikarenakan sesat dan rusaknya jalan mereka, asing pada nisbahnya dikarenakan rusaknya nisbah mereka, asing dalam pergaulannya bersama mereka dikarenakan bergaul dengan apa yang tidak diinginkan oleh hawa nafsu mereka”.

Kesimpulannya, dia asing dalam urusan dunia dan akhiratnya, dan dia tidak menemukan seorang penolong dan pembela. Dia sebagai orang yang berilmu ditengah orang-orang jahil, pemegang sunnah di tengah ahli bid’ah, penyeru kepada Allah dan Rasul-Nya di tengah orang-orang yang menyeru kepada hawa nafsu dan bid’ah, penyeru kepada yang ma’ruf dan mencegah dari kemungkaran di tengah kaum di mana yang ma’ruf menjadi munkar dan yang munkar menjadi ma’ruf.”

Ibnu Rajab dalam kitab Kasyfu Al Kurbah Fi Washfi Hal Ahli Gurbah hal 16-17 mengatakan: “Fitnah syubhat dan hawa nafsu yang menyesatkan inilah yang telah menyebabkan berpecahnya ahli kiblat menjadi berkeping-keping. Sebagian mengkafirkan yang lain sehingga mereka menjadi bermusuh-musuhan, berpecah-belah, dan berpartai-partai yang dulunya mereka berada di atas satu hati. Dan tidak ada yang selamat dari semuanya ini melainkan satu kelompok. Merekalah yang disebutkan dalam sabda Rasulullah: “Dan terus menerus sekelompok kecil dari umatku yang membela kebenaran dan tidak ada seorangpun yang mampu memudharatkannya siapa saja yang menghinakan dan menyelisihi mereka, sampai datangnya keputusan Allah dan mereka tetap di atas yang demikian itu.”

2) Mereka adalah orang yang berada di akhir jaman dalam keadaan asing yang telah disebutkan dalam hadits, yaitu orang-orang yang memperbaiki ketika rusaknya manusia. Merekalah orang-orang yang memperbaiki apa yang telah dirusak oleh manusia dari sunnah Rasulullah. Merekalah orang-orang yang lari dengan membawa agama mereka dari fitnah. Mereka adalah orang yang sangat sedikit di tengah-tengah kabilah dan terkadang tidak didapati pada sebuah kabilah kecuali satu atau dua orang, bahkan terkadang tidak didapati satu orangpun sebagaimana permulaan Islam.

Dengan dasar inilah, para ulama menafsirkan hadits ini. Al Auza’i mengatakan tentang sabda Rasulullah: “Islam datang dalam keadaan asing dan akan kembali dalam keadaan asing.” Adapun Islam itu tidak akan pergi akan tetapi Ahlus Sunnah yang akan pergi sehingga tidak tersisa di sebuah negeri melainkan satu orang.” Dengan makna inilah didapati ucapan salaf yang memuji sunnah dan mensifatinya dengan asing dan mensifati pengikutnya dengan kata sedikit.” (Lihat Kitab Ahlul Hadits Hum At Thoifah Al Manshurah hal 103-104)

Demikianlah sunnatullah para pengikut kebenaran. Sepanjang perjalanan hidup selalu dalam prosentase yang sedikit. Allah berfiman:
“Dan sedikit dari hamba-hamba-Ku yang bersyukur.”
Dari pembahasan yang singkat ini, jelas bagi kita siapakah yang dimaksud dengan Ahlus Sunnah dan siapa-siapa yang bukan Ahlus Sunnah yang hanya penamaan semata. Benarlah ucapan seorang penyair mengatakan : Semua orang mengaku telah menggapai si Laila akan tetapi si Laila tidak mengakuinya

Walhasil Ahlus Sunnah adalah orang-orang yang mengikuti Al Qur’an dan As Sunnah dengan pemahaman, amalan, dan dakwah salafus shalih.

Penulis: Al Ustadz Abu Usamah bin Rawiyah An Nawawi
(Sumber Link URL Salafy Online)
Read More..

Dakwah Tauhid Adalah Dakwah Para Nabi dan Rasul

Telah kita ketahui pada edisi yang lalu bahwa tauhid merupakan sebuah pohon di dalam hati yang cabangnya adalah amalan yang shalih dan buahnya adalah kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.

”Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit, pohon itu memberikan buahnya pada setiap saat dengan seizin Rabb-nya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat. (Ibra-him: 24-25)”

Ilmu Tauhid ini merupakan dasar yang dibangun di atasnya amalan-amalan shalih. Maka tentu saja merupakan prioritas dakwah para nabi dan para rasul, termasuk nabi kita Muhammad Shalallahu ‘alahi wassalam.

Dakwah Beliau Shalallahu ‘alaihi wassalam dan para shahabatnya adalah dakwah tauhid dan tidak pernah beliau Shalallahu ‘alaihi wassalam lepas daripadanya. Dakwah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam diawali dengan tauhid, diiringi dengan tauhid dan diakhiri pula dengan tauhid.

Diawali dengan ucapan beliau Shalallahu ‘alaihi wassalam sebagaimana dikisahkan oleh Abu Sufyan Radiyallahu ‘anhu ketika dia bersama rombongan dagang kaum Quraisy tiba di Romawi dan dipanggil oleh raja Heraklius. Sang raja bertanya tentang orang yang mengaku sebagai Nabi di Mekah. Diantara pertanyaannya adalah: “Apakah yang dia dakwahkan?” Abu Sufyan menjawab: “Dia berkata:

“Ucapkanlah Laa Ilaa Ha Illalloh kalian akan selamat. (HR. Bukhari)”.

Dan dalam perjalanan dakwahnya beliau Shalallahu ‘alaihi wassalam selalu mengingatkan dengan tauhid. Setiap menyampaikan satu hukum atau perintah ibadah kepada umatnya senantiasa Beliau mengingatkan bahwa hal itu adalah ibadah kepada Allah yang harus diberikan kepada-Nya dengan ikhlas dan tidak boleh dicampur dengan tujuan-tujuan lain seperti riya’ atau kesyirikan-kesyirikan lainnya. Seperti ketika memerintahkan tentang ibadah shalat dan berqurban:

”Maka dirikanlah shalat untuk Rabb-mu dan berkurbanlah. (al-Kautsa: 2)”

Demikian pula setiap beliau berangkat bersama para shahabat berjihad, beliau selalu mengingatkan agar mereka jangan memakai jimat, kalung atau gelang-gelang tertentu untuk tolak bala dan kekebalan atau menggantung-gantungkan pedangnya di pohon tertentu untuk mencari kehebatan dan kekuatan.

Kita lihat pada satu riwayat, ketika Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam dalam satu perjalanan jihad, Rasulullah bersabda kepada Ruwaifi’:

Wahai Ruwaifi’, barangkali engkau akan menjalani kehidupan yang panjang. Kabarkanlah kepada manusia bahwa barangsiapa yang memintal jenggotnya, menggantungkan jimat, atau beristinja’ (bersuci) dengan kotoran hewan dan tulang, maka sesungguhnya Muhammad berlepas diri darinya. (HR. Ahmad dari Ruwaifi’)

Ini semua dalam rangka menjaga tauhid mereka dari noda-noda syirik.
Demikian pula di akhir kehidupan beliau Shalallahu ‘alaihi wassalam. Ketika beliau Shalallahu ‘alaihi wassalam akan wafat, beliau berwasiat dengan tauhid.

Ketika Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam terkena sakit yang menyebabkan beliau tidak dapat bangun. Beliau Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda: “Allah telah mengutuk orang-orang Yahudi dan Nasrani karena mereka telah menjadikan kubur Nabi-nabi mereka sebagai masjid”. Aisyah Radiyallahu ‘anha berkata: “Jika tidak karena itu tentu kuburan beliau akan ditempatkan (di Baqie’). Namun Rasulullah - Shalallahu ‘alaihi wassalam - khawatir akan dijadikan sebagai masjid. (HR. Bukhari dan Muslim)

Dan dalam riwayat lain dalam al-Muwattha’:

”Ya Allah janganlah Engkau menjadikan kuburku berhala yang disembah. Sungguh besar kemurkaan Allah terhadap kaum yang menjadikan kuburan nabi-nabinya sebagai masjid. (HR. Malik dalam Muwatha’)”

Demikianlah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam memulai dakwahnya dengan tauhid, mengiringi dengan tauhid dan mengakhirinya pula dengan tauhid. Dan beliau Shalallahu ‘alaihi wassalam senantiasa mewasiatkan umatnya dengan tauhid.

Wasiat merupakan pesan terakhir dalam kehidupan seseorang. Tentunya yang akan disampaikan adalah perkara yang paling utama dan paling penting. Karena ia tidak akan sempat lagi menyampaikan sesuatu apapun setelah itu. Maka disinilah terlihat apa yang dianggap paling penting oleh seseorang dalam hidupnya. Sebagian manusia mewasiatkan tentang hartanya. Sebagian lainnya me-wasiatkan untuk menjaga keluarga-keluarganya. Sebagian lainnya ada yang mewasiatkan dengan perusahaannya, karena itulah yang terpenting dalam kehidupan mereka.

Adapun wasiat para nabi adalah tauhid, yang menunjukkan bahwa yang paling penting bagi mereka adalah tauhid. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya’qub. (Ibrahim berkata): “Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, maka janganlah kalian mati kecuali dalam (keadaan) Islam. (al-Baqarah: 132)
Berkata Ibnu Katsier dalam tafsirnya bahwa makna islam adalah pasrah dan berserah diri dengan beribadah hanya kepada Allah saja.

Demikian pula wasiat Luqman al-Hakim kepada anaknya, diawali dengan Tauhid:

”Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata ke-pada anaknya, di waktu ia memberi pela-jaran kepadanya: “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguh-nya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kedzaliman yang besar”. (Luqman: 13)”

Yang demikian karena para nabi seluruhnya mementingkan dan mengutamakan tauhid.

Bahkan inti dakwah mereka adalah tauhid. Yaitu memerintahkan kepada kaumnya agar beribadah kepada Allah saja.

”Dan sesungguhnya Kami telah mengutus para rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Beribadahlah kepada Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu”… (an-Nahl: 36).”

Allah menjelaskan dakwah para rasul-Nya dengan rinci pada berbagai firman-Nya, di antaranya tentang nabi Nuh alaihis sallam:

”Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, lalu ia berkata: "Hai kaumku, beribadahlah kepada Allah (karena) sekali-kali tidak ada sesembahan bagi-mu selain-Nya. Maka mengapa kamu tidak bertaqwa (kepada-Nya)?" (al-Mu’minun: 23)”

Kemudian nabi Ibrahim, bapak para Nabi alaihis sallam:

”Dan (ingatlah) Ibrahim, ketika ia berkata kepada kaumnya: "Beribadahlah kepada Allah dan bertaqwalah kepada-Nya. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui”. (al-Ankabut: 16)”

Sedangkan tentang nabi Isa alaihis salam Allah berfirman:

”Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: "Sesungguhnya Allah ialah Al Masih putera Maryam", padahal Al-Masih (sendiri) berkata: "Hai Bani Israil, beribadahlah kepada Allah Rabb-ku dan Rabb-mu". Sesungguhnya orang yang memperse-kutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka. Dan tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolongpun. (al-Maidah: 72)”

Dan tentang Nabi Hud alaihis sallam Allah berfirman:

”Dan (Kami telah mengutus) kepada kaum 'Aad saudara mereka, Hud. Ia berkata: "Hai kaumku, beribadahlah kepada Allah, sekali-kali tidak ada sesembahan bagimu selain dari-Nya. Maka mengapa kamu tidak bertaqwa kepada-Nya ?" (al-A’raaf: 65)”

Tentang Nabi Shalih diterangkan dalam ayat-Nya:

”Dan (Kami telah mengutus) kepada kaum Tsamud saudara mereka Shaleh. Ia berkata: "Hai kaumku, beribadahlah kepada Allah, sekali-kali tidak ada sesembahan bagimu selain-Nya. Sesungguhnya telah datang bukti yang nyata kepadamu dari Rabb-mu. Unta betina Allah ini menjadi tanda bagimu, maka biarkanlah dia makan di bumi Allah, dan janganlah kalian mengganggunya biarkanlah dia makan di bumi Allah, dan janganlah kalian mengganggunya dengan gangguan apapun, (yang karenanya) kamu akan ditimpa siksaan yang pedih." (al-A’raaf: 73)”

Dan Nabi Syu’aib Allah kisahkan juga dengan ucapan yang sama, yaitu: “beribadahlah kepa-da Allah dan tidak ada bagi kalian sesem-bahan kecuali Dia”.

”Dan (Kami telah mengutus) kepada pendu-duk Madyan saudara mereka, Syu'aib. Ia berkata: "Hai kaumku, beribadahlah kepada Allah, sekali-kali tidak ada sesembahan bagimu selain-Nya. Sesungguhnya telah datang kepadamu bukti yang nyata dari Rabb-mu. Maka sempurnakanlah takaran dan timbangan dan janganlah kalian kurangkan bagi manusia barang-barang takaran dan timbangannya, dan janganlah kalian membuat kerusakan di muka bumi sesudah Rabbmu memperbaikinya. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika betul-betul kamu orang-orang yang beriman". (al-A’raaf: 85)”

Demikianlah kenyataan dakwah para nabi di dalam sejarah mereka yang disebutkan dalam al-Qur’an maupun dalam hadits yang shahih. Inti dakwah mereka adalah tauhid. Hal ini tidak seperti apa yang ditafsirkan oleh para politikus yang mengesankan bahwa dakwah para nabi adalah dakwah politik. Seperti pertikaian nabi Ibrahim dengan Raja Namrud, nabi Musa dengan raja Fir’aun dan lain-lainnya. Mereka mengesankan bahwa perjuangan para nabi tersebut adalah perjuangan pemberontakan dan perebutan ke-
kuasaan. Seperti dalam buku yang ditulis oleh Muhammad Surur bin Naif Zaenal Abidin “Minhaj al-Anbiyaa’ fi ad-Da’wati ilallah”. Namun alhamdulillah buku tersebut sudah dibantah oleh Syaikh Dr. Rabi’ bin Hadi al-Madkhali dalam buku beliau “Manhaj al-Anbiyaa’ fi da’wati ilallah fiihi al-Hikmah wal ‘Aql” (Manhaj Para Nabi Dalam Berdakwah Kepada Allah, di dalamnya ada hikmah dan akal)” dan juga karya Syaikh Ahmad Salam dalam tulisannya yang berjudul “Nadharaat fii Kitab “Minhajul Anbiya’ fi ad-Dakwati Ilallah”” (Koreksi Ulang terhadap kitab “Manhaj Para Nabi Dalam Berdakwah Kepada Allah”.

Oleh karena itu sudah sepantasnya dakwah para rasul tersebut dijadikan sebagai teladan bagi seluruh dakwah-dakwah kaum muslimin yakni memulainya dari tauhid dan terus mengingatkan dengan tauhid. Karena semua dakwah yang tidak dimulai dengan tauhid dan tidak mementingkan tauhid selalu berakhir dengan penyimpangan dan kesesatan.

Akan tetapi mengapa kaum muslimin harus tersinggung ketika diajarkan kepada mereka makna Laa Ilaa Ha Illalloh. Mengapa mereka ha-rus marah ketika disampaikan bahaya kesyi-rikan-kesyirikan seperti tawasul kepada orang-orang yang sudah mati, jimat-jimat, perdukunan-perdukunan, atau mencari berkah di kuburan walisongo atau kuburan-kuburan lainnya, mencari jodoh di tempat-tempat yang dianggap keramat, seperti sumur Tujuh, gunung Kemukus dan lain-lainnya? Mereka selalu melecehkan dakwah tauhid dengan menjulukinya Wahabi, tekstual, kaku, membuat perpecahan dan lain-lain. Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.

Semoga Allah memberikan petunjuk kepada kita dan seluruh kaum muslimin kepada tauhid dan sunnah. Dan semoga hati-hati kita ditetapkan di atasnya sampai hari Kiamat, Amien.

(Dikutip dari Bulletin Dakwah Manhaj Salaf, penulis Ustadz Muhammad Umar As Sewed, judul asli "Dakwah Tauhid, Dakwah Para Rasul". Link URL Salafy Online)
Read More..

Perintah Taat kepada Allah, Rasul dan Pemerintah

"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taati Rasul-Nya dan Ulil Amri diantara kamu, kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur`an) dan Rasul (sunnahnya) jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir, yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya." (An-Nisa: 59)

I. Makna Lafadz

Berkata Atha': "taat kepada Rasul dengan mengikuti sunnahnya."
- Berkata Ibnu Zaid: "(taat kepada Rasul) bila masih hidup."
- Berkata Ibnu Jarir: "yang benar dari perkataan di atas adalah: ini merupakan perintah dari Allah untuk taat kepada apa yang diperintahkan dan dilarang oleh Rasul-Nya semasa beliau masih hidup. Adapun setelah beliau wafat, dengan mengikuti sunnahnya."
- Berkata Abu Hurairah: "mereka adalah Umara'."
- Berkata Maimun bin Mahran: "para panglima perang di zaman Rasulullah."
- Berkata Atha': "para fuqaha (ahli fikih) dan ulama."
- Berkata Ikrimah: "Abu Bakar dan Umar." (At-Thabari 4/150-153)
- Berkata Ad-Dhahhak: "mereka adalah para shahabat Rasulullah dan mereka adalah perawi hadits dan para da'i." (Ad-Durrul Mantsur 2/575)
- Berkata Abu Bakar Ibnul 'Arabi: "menurut saya, yang benar adalah mereka itu para Umara dan ulama." (Ahkamul Qur'an 1/452)
- Berkata Mujahid: "Kitabullah dan sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam."
- Berkata Maimun bin Mahran: "kembali kepada Allah adalah kembali kepada kitab-Nya dan kembali kepada rasul-Nya semasa beliau hidup, dan ketika Allah mewafatkannya maka kembali kepada sunnahnya." (At-Thabari 4/154)
- Berkata Qatadah: "lebih baik pahala dan akibatnya."
- Berkata Mujahid: "lebih baik balasannya." (At-Thabari 4/155)

II. Asbabun Nuzul (sebab turunnya ayat)

Dari As-Suddi, dia berkata: "Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengirim sepasukan sariyyah (pasukan yang tidak dipimpin oleh Rasulullah) di bawah komando Khalid bin Al-Walid. Diantara mereka ada Ammar bin Yasir. Mereka kemudian berangkat menuju suatu kaum yang diinginkan dan ketika sudah dekat, mereka pun berhenti (untuk beristirahat). Setelah itu datang kepada kaum tersebut Dzul Uyainatain (pengintai musuh) dan memberitahukan tentang kedatangan pasukan Khalid. Mereka pun lari semua kecuali seorang laki-laki. Ia menyuruh keluarganya untuk mengumpulkan barang-barangnya. Kemudian dia berjalan di kegelapan malam hingga sampai di pasukan Khalid. Di sana ia bertanya tentang Ammar bin Yasir. Setelah itu didatanginya (Ammar bin Yasir) dan bertanya kepadanya: "Wahai Abu Yaqdzan, sesungguhnya aku telah Islam dan telah bersyahadat bahwa tidak ada sesembahan yang hak kecuali Allah dan Muhammad adalah hamba-Nya dan Rasul-Nya. Sesungguhnya kaumku telah lari ketika mendengar kabar kedatangan kalian dan hanya aku yang tinggal. Apakah Islamku bermanfaat bagiku besok? Kalau tidak aku pun lari." Ammar berkata: "Ya, keislamanmu akan bermanfaat bagimu, maka tetaplah kamu di tempat." Maka laki-laki itu pun menetap. Ketika pagi datang, Khalid bin Walid menyerbu mereka dan tidak menjumpai siapa-siapa selain laki-laki tadi. Maka dia ditangkap dan diambil hartanya, khabar (penangkapan) tersebut akhirnya sampai kepada Ammar. Ia segera datang kepada Khalid seraya berkata: "Lepaskan laki-laki ini karena sesungguhnya dia telah Islam dan dia dalam jaminan keamanan dariku." Berkata Khalid: "Kenapa kamu lindungi dia?" Maka keduanya saling menyalahkan dan mengadukannya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Rasulullah membolehkan jaminan keamanan dari Ammar tetapi melarang Ammar untuk melanggar hak-hak Amir lagi untuk kedua kalinya. Maka Allah menurunkan ayat yang artinya: "Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul dan Ulil Amri diantara kalian." (At-Thabari 4/151)

III. Tafsir

Al-Qurthubi berkata: "Di dalam ayat ini Allah memerintahkan untuk taat kepada-Nya, kemudian kepada Rasul-Nya, kemudian kepada para Umara, menurut perkataan jumhur, Abu Hurairah, ibnu Abbas, dll."

Ibnu Khuwaidzi Mandad berkata: "Adapun taat kepada sultan maka wajib dalam rangka taat kepada Allah dan tidak wajib dalam perkara maksiat kepada Allah..." (Al-Jami' lil Ahkamil Qur`an 5/167, 168)

Syaikh Abdur Rahman As-Sa'di berkata: "(Dalam ayat ini) Allah memerintahkan (kaum mukminin) untuk taat kepada-Nya dan taat kepada Rasul-Nya yaitu dengan mengerjakan perintah keduanya baik yang wajib maupun yang sunnah dengan menjauhi larangan keduanya. Dan Allah juga memerintahkan (kepada kaum mukminin) untuk taat kepada Ulil Amri, yaitu orang yang mengurusi kepentingan umat, baik itu Umara, pemerintah maupun mufti-mufti karena sesungguhnya tidak akan konsisten urusan Dien dan dunia kecuali dengan taat kepada mereka dan tunduk kepada perintah-perintah mereka dalam rangka taat kepada Allah dan mengharap pahala yang ada di sisi-Nya. Akan tetapi dengan syarat mereka tidak memerintahkan kepada kemaksiatan. Apabila mereka memerintahkan kepada kemaksiatan, maka tidak ada taat kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Allah. Barangkali inilah rahasia dibuangnya fi'il athi'u (taatilah) dalam perintah taat kepada Ulil Amri. Di samping itu disebutkannya perintah taat kepada mereka itu menyertai taat kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, karena Rasul tidak pernah memerintahkan selain kepada Allah sehingga barangsiapa yang taat kepadanya (Rasulullah) maka dia telah taat kepada Allah. Adapun syarat taat kepada Ulil Amri adalah jika tidak ada unsur-unsur maksiat kepada Allah.

Di samping itu Allah memerintahkan untuk mengembalikan segala permasalahan yang diperselisihkan oleh umat manusia kepada Allah dan Rasul-Nya, yakni taat kepada Kitab (Al-Qur`an) dan As-Sunnah. Ini karena Al-Qur`an dan As-Sunnah adalah hakim yang menyelesaikan segala permasalahan khilafiyyah (permasalahan yang diperselisihkan) baik itu dari nash yang sharih (jelas), nash umum, syarat, peringatan, maupun pemahaman ayat. Agama ini dibangun di atas pondasi Al-Qur`an dan As-Sunnah sehingga tidak akan istiqamah (komitmen) iman seseorang kecuali dengan berpegangan kepada Al-Qur`an dan As-Sunnah. Oleh karena itulah kembali kepada Al-Qur`an dan As-Sunnah merupakan syarat keimanan. Allah berfirman (yang artinya): "Jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir..." (An-Nisa: 59)

Maka ayat ini menunjukkan bahwasanya orang-orang yang tidak mengembalikan masalah khilafiyyah kepada Al-Qur`an dan As-Sunnah, dia bukanlah seorang mukmin yang hakiki, bahkan dia adalah seorang yang beriman kepada thaghut (sebagaimana yang akan disebutkan dalam ayat sesudahnya 4:60).

Kembali kepada Allah dan Rasul-Nya itu lebih baik balasannya dan lebih baik akibatnya, karena hukum Allah dan Rasul-Nya adalah sebaik-baik hukum dan merupakan hukum yang membawa maslahah (kebaikan) bagi umat manusia baik itu dalam urusan Dien (agama) maupun urusan dunia. (Taisirul Karimir Rahman fi Tafsiri Kalamil Mannan 2/89-90)

Menyoroti ayat ini, Ibnul Qayyim berkata dalam I'lamul Muwaqqi'in 1/38:
"(Dalam ayat ini) Allah memerintahkan (kaum muslimin) untuk taat kepada-Nya dan kepada Rasul-Nya, dan Allah mengulangi fi'il (أَطِيْعُوْا) (=taatilah) sebagai i'lam (pemberitahuan) bahwa taat kepada rasul itu harus disendirikan dengan tanpa dicocokkan terlebih dahulu kepada apa yang Allah perintahkan dalam Al-Qur`an. Jadi, kalau Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan sesuatu maka wajib ditaati secara mutlak, baik perintah itu ada dalam Al-Qur`an maupun tidak, karena Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam diberi Al-Qur`an dan juga semisalnya (As-Sunnah).

Dalam ayat ini juga, Allah tidak memerintahkan untuk menyendirikan taat kepada Ulil Amri. Bahkan Allah membuang fi'il (أَطِيْعُوْا) dan menjadikannya di dalam kandungan taat kepada Rasul, sebagai pemberitahuan bahwa mereka (Ulil Amri) itu ditaati dalam rangka taat kepada Rasul." (lihat Hujiyyatu Ahaditsil Ahad fil Ahkami Al-Aqaid hal. 11-12)

IV. Perintah untuk Taat Rasul dan Peringatan dari Menyelisihinya

Allah Subhanahu wa Ta'ala mewajibkan kepada hamba-hamba-Nya untuk taat kepada Rasul-Nya dan menjadikan ittiba' (mengikuti) Rasul-Nya sebagai dalil (bukti) kecintaan hamba kepada Rabb-Nya. Allah berfirman:

"Katakanlah: jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintai dan mengampuni dosa-dosamu, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (Ali Imran: 31)

"...Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah..." (Al-Hasyr: 7)

"Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam beliau bersabda: 'setiap umatku akan masuk surga kecuali orang yang enggan.' Para shahabat bertanya: 'wahai Rasulullah, siapakah orang yang enggan itu?' Rasulullah menjawab: 'barangsiapa yang taat kepadaku maka dia masuk surga dan barangsiapa yang durhaka kepadaku maka sungguh dia telah enggan'." (HR. Bukhari 13/214 dan Ahmad 2/361)

Dalam Asy-Syifa' 2/6, Al-Qadhi Iyadh berkata: "Allah Azza wa Jalla menjadikan ketaatan kepada Rasul-Nya seperti ketaatan kepada-Nya dan menggandengkan ketaatan kepada Ulil Amri dengan ketaatan kepada Rasul-Nya. Allah menjanjikan pahala yang besar bagi orang yang taat kepada Rasul-Nya dan mengancam orang-orang yang menyelisihi perintah Rasul-Nya dengan adzab yang pedih. Allah juga mewajibkan (kepada kaum mukminin) untuk mengerjakan perintah Rasul-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya." (Lihat Hujjiyyatu Ahaditsil Ahad fi Ahkam wal Aqaid karya Muhammad hal. 10)

Allah melarang dan memperingatkan kaum mukminin untuk menyelisihi perintah Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam dan mengancam oang-orang yang berbuat demikian (menyelisihi perintah Rasul-Nya) dengan firman-Nya:

"...Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa fitnah atau ditimpa adzab yang pedih." (An-Nur: 63)

Berkata Ibnu Katsir dalam Tafsirnya 3/410: "yakni hendaklah takut orang-orang yang menyalahi syariat Rasul secara dhahir dan bathin takut akan ditimpa fitnah dalam hatinya yang berupa kekufuran, nifaq dan bid'ah atau ditimpa adzab yang pedih di dunia yang berupa pembunuhan, hukum hadd, dipenjara atau yang lainnya."

"Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas baginya kebenaran dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali." (An-Nisa: 115)

Dari Al-Irbadh bin Sariyyah radhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: 'berpegang teguhlah kalian dengan sunnahku dan sunnah Khulafa`ur Rasyidin yang mendapat petunjuk setelahku. Pegang erat-erat sunnah itu, gigitlah sunnah itu dengan gigi-gigi geraham dan hati-hatilah kalian dengan perkara yang diada-adakan karena setiap perkara yang diada-adakan itu adalah bid'ah dan setiap bid'ah itu adalah sesat." (HR. Tirmidzi 5/44 (2676): hadits HASAN SHAHIH, dan dishahihkan pula oleh Ibnu Hibban dan Al-Hakim, disepakati oleh Imam Dzahabi)

V. Manhaj Ahlus Sunnah wal Jama'ah dalam Bermu'amalah dengan Wulatul Umur (Pemerintah muslimin, baik itu Umara maupun sulthan).

Manhaj Ahlus Sunnah wal Jama'ah dalam bermuamalah dengan Wulatul Umur adalah manhaj yang adil dan pertengahan, yang tegak di atas asas ittiba' kepada atsar (sunnah-sunnah). Mereka ittiba' dan tidak berbuat bid'ah dan tidak mempertentangkan sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dengan akal fikiran dan hawa nafsu mereka.

Dalam hal ini, Ibnu Mas'ud berkata: "ittiba'lah kalian dan jangan kalian ibtida' (berbuat bid'ah), karena kalian telah dicukupi (dengan syariah ini) dan setiap kebid'ahan adalah sesat." Beliau juga mengatakan: "hati-hatilah kalian dengan perbuatan bid'ah dan menfasih-fasihkan dalam berbicara masalah agama. Berpegang teguhlah kalian dengan atsar (sunnah) orang dahulu (Salafus Shalih)." (Al-Ibanah 1/321, 324)

Di dalam kitab yang sama, Abul Aliyah Ar-Rayahi juga berkata: "Pelajarilah oleh kalian akan Islam. Bila kalian telah mempelajarinya maka kalian jangan membencinya. Dan berjalanlah kalian di atas jalan yang lurus, karena jalan yang lurus itu adalah Islam. Janganlah kalian menyeleweng dari jalan yang lurus ke arah kanan dan kiri. Berpegang teguhlah kalian dengan sunnah Nabi, dan hati-hatilah kalian dengan hawa nafsu yang melemparkan rasa permusuhan dan kebencian di kalangan orang-orang yang berpegang teguh dengan sunnah." (Al-Ibanah 1/338)

Oleh sebab itu, barangsiapa yang ingin berbahagia di dunia dan akhirat, hendaklah ia menempuh jalan mereka (Salafus Shalih) dan mengikuti manhaj mereka.

Adapun manhaj Ahlus Sunnah wal Jama'ah dalam bermuamalah dengan Wulatul Umur adalah: wajib mendengar dan taat kepada mereka, baik mereka itu orang yang baik (adil) maupun yang dhalim. Ketaatan kepada mereka dibatasi dalam hal kebaikan. Apabila mereka memerintahkan kepada kemaksiatan, maka tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Allah. Ahlus Sunnah justru menasehati dan tidak membiarkan mereka (Wulatul Umur), bahkan mendoakan kebaikan buat mereka. Ahlus Sunnah tidak memandang adanya kebolehan untuk keluar dari mereka, memerangi mereka dan tidak pula mencabut ketaatan dari mereka, sekalipun mereka itu dhalim dan bertindak sewenang-wenang. Bahkan Salafus Shalih menggolongkan perbuatan yang demikian (keluar dari mereka, memberontak dan memerangi mereka) ke dalam perbuatan bid'ah yang diada-adakan.

Imam Ahlus Sunnah (Imam Ahmad) berkata: "Ushul-ushul sunnah menurut kami adalah berpegang teguh dengan apa yang dipahami dan diamalkan oleh para shahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, ittiba' kepada mereka dan tidak berbuat bid'ah karena setiap bid'ah adalah sesat. Tidak berdialog dan duduk-duduk bersama Ahli Bid'ah dan tidak berdebat tentang masalah agama. Sedangkan Sunnah menurut kami adalah atsar-atsar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Sunnah digunakan sebagai tafsir bagi Al-Qur`an. Tidak ada qiyas dalam sunnah dan sunnah tidak bisa dipahami dengan akal dan hawa nafsu, tapi dipahami dengan ittiba' dan meninggalkan hawa nafsu. Dan termasuk sunnah-sunnah lazimah yang bila ditinggalkan salah satu daripadanya, seseorang itu tidak dikatakan Ahlus Sunnah."

Kemudian Imam Ahmad menyebutkan beberapa hal yang antara lain: "mendengar dan taat kepada para imam dan amirul mukminin (pemimpin kaum mukminin), baik yang shalih (adil) maupun yang fajir (dhalim), dan taat kepada khalifah yang disepakati dan diridhai oleh kaum mukminin. Jihad bersama mereka (yang adil maupun yang dhalim) secara terus menerus hingga hari kiamat, mengadakan pembagian harta faik (harta rampasan yang diperoleh tanpa ada perlawanan), juga terus menerus menjalankan hukum-hukum had. Tidak boleh bagi siapapun mencela dan menyelisihi mereka, mengerjakan shalat Jum'at di belakang mereka dua rakaat. Barangsiapa yang mengulangi shalatnya, maka dia adalah mubtadi' (ahli bid'ah) yang meninggalkan atsar, menyelisihi sunnah dan tidak mendapat keutamaan Jum'at sedikitpun. Barangsiapa yang memberontak pada Imam kaum muslimin yang telah disepakati dan diakui kekhilafahannya, maka sungguh dia telah memecahkan tonggak kaum muslimin dan telah menyalahi atsar-atsar yang datang dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Apabila dia mati ketika melakukan hal itu, dia mati secara jahiliyyah. Dan tidak halal (diharamkan) bagi siapapun untuk memerangi sulthan dan memberontaknya. Barangsiapa yang berbuat demikian, dia adalah mubtadi' yang tidak berjalan di atas sunnah dan tidak pula berjalan di atas jalan yang lurus." (Syarah Ushul I'tiqad 1/160-161)

Abu Muhammad Abdur Rahman bin Abi Hatim Ar-Razy berkata: "Saya bertanya kepada bapakku dan Abu Zur'ah tentang madzhab Ahlus Sunnah dalam Ushuluddin dan apa yang beliau berdua yakini dalam hal ini. Maka beliau berdua berkata: "Kami jumpai para ulama di seluruh penjuru negeri, di Hijaz, Irak, Syam, dan Yaman beri'tiqad. Kemudian beliau berdua menyebutkan beberapa hal antara lain: dan kita menegakkan jihad dan haji bersama imam-imam kaum muslimin di sepanjang zaman. Kita tidak memberontak dan tidak pula memerangi mereka karena dikhawatirkan fitnah. Kita mendengar dan taat kepada Wulatul Umur. Demikian pula kita tidak mencabut ketaatan dari mereka. Kita ittiba' kepada sunnah dan jamaah dan menjauhi persengketaan dan perpecahan. Jihad bersama mereka tetap berjalan sejak diutusnya Nabi kita shallallahu 'alaihi wa sallam sampai hari kiamat kelak, tidak ada sesuatupun yang membatalkannya dan begitu juga haji." (Syarah Ushul I'tiqad 1/176-180)

Sahl bin Abdullah At-Tustani berkata ketika ditanya: "kapankah seseorang itu mengetahui bahwa dirinya di atas sunnah dan jama'ah? Seseorang itu di atas sunnah dan jamaah bila mengetahui adanya sembilan (9) hal pada dirinya:

1. Dia tidak meninggalkan jamaah.
2. Dia tidak mencela para shahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.
3. Dia tidak memberontak umat ini dengan pedang.
4. Dia tidak mendustakan takdir.
5. Dia tidak ragu-ragu dalam beriman.
6. Dia tidak memperdebatkan masalah agama.
7. Dia menshalati Ahlul Kiblat yang mati dalam keadaan berdosa.
8. Dia mengusap kedua sepatu pada waktu bepergian atau mukim (yaitu mengimani adanya sunnah tersebut. red.).
9. Dia tidak meninggalkan shalat di belakang Wulatul Umur baik itu yang adil maupun yang dhalim.

Berkata Abu Ja'far At-Thahawi: "kita tidak memandang adanya kebolehan untuk memberontak imam-imam dan Wulatul Umur sekalipun mereka itu dhalim dan kita tidak mendoakan kejelekan buat mereka. Kita tidak mencabut tangan ketaatan kepada mereka dan kita pun memandang ketaatan kepada mereka merupakan bagian dari ketaatan kepada Allah, selama mereka tidak memerintahkan kepada kemaksiatan. Kita juga mendoakan kebaikan buat mereka." (Syarah Aqidah Thahawiyyah 368)
Imam Al-Barbahari berkata: "ketahuilah, bahwa kedhaliman sulthan tidak mengurangi sedikitpun kewajiban yang diwajibkan oleh Allah melalui lisan Rasul-Nya (yakni untuk taat kepada sulthan), kedhaliman dia (sulthan) atas dirinya dan ketaatan serta kebaikanmu bersamanya, sempurna insya Allah, yakni ketaatan kau berjamaah, shalat Jum'at dan jihad bersamanya, dan bergabunglah bersamanya dalam setiap amalan ketaatan. Bila kamu melihat seseorang mendoakan kejelekan buat sulthan maka ketahuilah bahwa dia pelaku bid'ah. Dan bila kamu mendengarkan seseorang mendoakan kebaikan buatnya, maka ketahuilah bahwa dia itu Ahlus Sunnah, insya Allah." (Syarhus Sunnah 51)

Fudhail bin Iyadh berkata: "Kalaulah aku punya doa yang mustajab (terkabulkan), niscaya aku gunakan buat (kebaikan) sulthan, karena kita diperintah untuk mendoakan kebaikan buat mereka. Kita tidak diperintah untuk mendoakan kejelekan buat mereka sekalipun mereka dhalim dan bertindak sewenang-wenang, karena kedhaliman mereka berakibat fatal bagi diri mereka sendiri dan juga bagi kaum mukminin. Demikian pula sebaliknya, kebaikan mereka bermanfaat bagi diri mereka sendiri dan juga bagi kaum mukminin." (Thabaqat fi Bayanil Mahajjah 1/236)

Imam Ismail Ash-Shabuni berkata: "Ashabul Hadits menasehatkan untuk shalat Jum'at, Hari Raya, dan shalat-shalat lainnya di belakang imam kaum muslimin, yang baik maupun yang fajir. Demikian juga jihad bersama mereka sekalipun mereka dhalim dan bertindak semena-mena. Dan mereka mendoakan kebaikan buat imam kaum muslimin: berdoa supaya mereka diberi taufik oleh Allah dan supaya mereka berbuat adil terhadap rakyat. Mereka tidak memberontak kepada Umara sekalipun mereka melihat penyimpangan-penyimpangan yang dilakukannya dan sekalipun mereka (Umara) berbuat dhalim dan bengis. Dan mereka (Ashabul Hadits) memerangi kelompok-kelompok yang memberontak kepada Umara, sampai mau kembali taat kepadanya." (Aqidah Salaf Ashabul Hadits 92, 93)

Pendapat para ulama Ahlus Sunnah tentang masalah ini banyak sekali dan bisa dilihat dalam kitab-kitab para ulama Ahlus Sunnah seperti: Kitab As-Sunnah karya Ibnu Bathah, Syarah Ushul I'tiqad karya Al-Lalika'i, Aqidah Salaf Ashabul Hadits karya Ismail As-Shabuni, Al-Hujjah fi Bayanil Mahajjah karya Abul Qasim Al-Asbahani, Syarah Aqidah Thahawiyyah karya Ibnu Abil Izz, dll. Semua kitab itu bisa menjelaskan manhaj Ahlus Sunnah dalam bermuamalah dengan Umara, sulthan, dan Wulatul Umur.

Pendapat-pendapat itu tidak hanya tertulis di kitab-kitab saja, tetapi juga telah dipraktekkan secara langsung oleh para ulama Ahlus Sunnah, diantaranya:

1. Imam Ahmad bin Hambal

Pernah datang kepada beliau sekelompok Ahli Fikih (fuqaha) Baghdad untuk bermusyawarah dengan beliau agar meninggalkan dan tidak ridha dengan pemerintahan Al-Watsiq. Al-Watsiq telah mempopulerkan pendapat "Al-Qur`an itu makhluk." Dia mendakwahkannya dan memerintahkan anak-anak mereka untuk mempelajarinya. Bahkan ia mengasingkan, menjauhkan dan memenjarakan orang-orang yang menyelisihinya. Mendengar hal itu, Imam Ahmad mengingkari usulan-usulan mereka dan melarang mereka dengan keras. Semua itu menunjukkan ketegasan beliau dalam bersikap. Beliau berkata: Janganlah kalian mencabut ketaatan dan janganlah kalian memecahkan tonggak kaum muslimin. Jangan pula kalian tumpahkan darah-darah kalian dan darah-darah kaum muslimin bersama kalian. Lihatlah oleh kalian akibat perkara kalian ini dan janganlah kalian tergesa-gesa (dalam berbuat)..." (Dzikru Mihnah Imam Ahmad bin Hambal hal. 70)

Dalam kitab itu pula, Hambal bin Ishaq bin Hambal berkata: "...ketika Al-Watsiq memunculkan perkataan ini (bahwa Al-Qur`an itu makhluk), memukul dan memenjarakan orang yang menyelisihinya, datanglah sekelompok fuqaha dari Baghdad kepada Imam Ahmad. Diantaranya terdapat Bakr bin Abdillah, Ibrahim bin Ali Mathbahi, Fadl bin Ashim dan yang lainnya. Mereka mendatangi Abu Abdillah (Imam Ahmad) dan minta izin untuk menemuinya. Setelah diizinkan mereka pun masuk dan berkata: "Wahai Abu Abdillah, sesungguhnya urusan ini sudah tersebar luas dan nampak sampai pada puncaknya, sedang kita khawatir laki-laki ini akan berbuat lebih dari yang dia lakukan." Mereka pun kemudian menyebutkan bahwa Ibnu Abi Daud[1] menyuruh para guru untuk mengajari anak-anak bahwa Al-Qur`an adalah begini dan begitu (yakni bahwa Al-Qur`an itu makhluk). Mendengar hal itu, Imam Ahmad berkata: "Lalu apa yang kalian maukan?" Mereka menjawab: "Kami datang kepadamu untuk bermusyawarah tentang apa yang kami inginkan." Imam Ahmad bertanya lagi: "Apa yang kalian inginkan?" Mereka berkata: "(yang kami inginkan adalah) kami tidak ridha dengan kesultanan dan kepemimpinan dia (Al-Watsiq)." Maka Imam Ahmad mendebat mereka beberapa saat sampai beliau berkata kepada mereka -sedangkan saya (Hambal bin Ishaq bin Hambal) hadir di situ-: "Bagaimana pendapat kalian kalau perkara ini tidak tuntas? Bukankah ini akan menyeret kalian pada hal-hal yang tidak kalian inginkan? Pikirkanlah masak-masak, janganlah kalian cabut tangan ketaatan dan janganlah kalian memecah tonggak. Lihatlah akibat urusan kalian ini dan janganlah tergesa-gesa. Bersabarlah kalian sampai tenang (dipimpin) Imam yang adil." Maka terjadilah pembicaraan panjang diantara mereka yang tidak aku (Hambal bin Ishaq) hafal, dan Abu Abdillah telah membantah dengan perkataannya tadi. Berkatalah sebagian dari mereka: "sesungguhnya kita khawatir akan anak cucu kami bila hal ini (perkataan bahwa Al-Qur`an itu makhluk) nampak dan yang lain-lainnya tidak diketahui oleh mereka. Dan kami khawatir Islam akan hancur dan punah." Maka Abu Abdillah berkata: "sekali-kali tidak demikian. Sesungguhnya Allah-lah yang menolong agama-Nya. Agama ini punya Rabb yang akan menolongnya, dan sesungguhnya Islam ini adalah agama yang mulia dan mencegah adanya pertumpahan darah (suka perdamaian)." Akhirnya mereka pun meninggalkan Abu Abdillah, sedang Abu Abdillah tidak memenuhi sedikitpun yang mereka inginkan. Bahkan beliau melarang mereka dan mendebat mereka supaya mereka mau mendengar dan taat kepada pemerintah sampai Allah bukakan jalan keluar dari permasalahan ini. Tetapi mereka tidak mau menerima nasihat Abu Abdillah.

Maka tatkala mereka keluar, berkatalah sebagian mereka kepadaku (Hambal bin Ishaq): "Ikutlah dengan kami ke rumah orang (yang mereka sebut) untuk kita ajak berunding tentang perkara yang kita inginkan." Maka saya beritahukan hal ini kepada ayahku (Ishaq bin Hambal). Ayahku berkata: "Kamu jangan ikut pergi dan carilah alasan untuk tidak ikut mereka. Aku tidak merasa aman kalau nanti mereka akan melibatkan kamu dalam masalah ini, sehingga nama Abu Abdillah akan ikut disebut-sebut." Maka aku pun mencari alasan untuk tidak ikut dengan mereka. Tatkala mereka pergi, aku dan ayahku mendatangi Abu Abdillah lalu berkatalah Abu Abdillah kepada ayahku: "Wahai Abu Yusuf, aku kira yang membuat mereka begini ini telah meresap pada hati mereka. Kita minta keselamatan kepada Allah. Aku tidak senang ada orang berbuat seperti mereka ini." Maka aku (Ishaq bin Hambal) bertanya kepadanya: "Wahai Abu Abdillah, apakah yang mereka perbuat ini menurutmu benar?" Imam Ahmad menjawab: "Tidak, tidak benar. Perbuatan seperti ini menyalahi atsar-atsar yang memerintahkan kita untuk bersabar." Kemudian beliau berkata "Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Kalau dia (sulthan) memukulmu, maka sabarlah, dan kalau dia memerangimu, maka sabarlah ... dan berkata Ibnu Mas'ud: begini dan begitu. Abu Abdillah kemudian menyebutkan hal-hal yang tidak aku hafal." Akhirnya Ishaq bin Hambal berkata: "Maka kaum itupun melaksanakan apa yang mereka inginkan. Mereka tidak mendapatkan apa yang mereka inginkan dari perbuatan mereka yang tidak terpuji ini. Mereka malah lari terbirit-birit dari serangan sulthan dan akhirnya, ada diantara mereka yang tertangkap, dipenjara dan mati di dalamnya." (Dzikru Mihnati Al-Imam Ahmad bin Hambal 70-72)

Kisah ini adalah mau'idzah (nasehat) yang jelas sekali tentang bahayanya menyelisihi manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah demi asas yang agung ini dan bahwa menyelisihi manhaj mereka akan mengakibatkan hal-hal seperti tersebut di atas.

2. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
Beliau hidup di zaman kesultanan yang bengis dan dhalim. Beliau disiksa dan dianiaya oleh pihak kesultanan karena menyebarkan aqidah Ahlus Sunnah wal Jamaah dan membantahi firqah-firqah yang sesat seperti sufi, Asy'ari, dan yang lainnya. Bahkan beliau dipenjara berkali-kali disebabkan hal ini sehingga sampai matipun beliau dalam keadaan di penjara.

Walaupun demikian, beliau sangat keras memperingatkan umat untuk tidak memberontak dan taat kepada sulthan. Perbuatan ini (memberontak sulthan) menurut beliau akan mengakibatkan kerusakan yang lebih fatal dibandingkan kedhaliman dan kefasikan sulthan.

Beliau menegaskan: "Oleh karena inilah yang masyhur dari madzhab Ahlus Sunnah wal Jamaah, yaitu tidak memberontak atau tidak memerangi Umara dengan pedang sekalipun mereka itu dhalim dan bertindak semena-mena. Ini sesuai dengan yang ditunjukkan oleh hadits-hadits shahih yang masyhur dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, karena kerusakan yang ada pada peperangan dan pemberontakan lebih fatal daripada kerusakan yang ada pada kedhaliman dan kelaliman sulthan. Dan hampir-hampir tidak diketahui adanya suatu kelompok yang memberontak pemerintah melainkan hanya mengakibatkan kerusakan yang lebih fatal dibandingkan kerusakan yang ingin dihilangkan (kedhaliman dan kelaliman sulthan)." (Minhajus Sunnah 3/391)

VI. Hadits-hadits yang Memerintahkan untuk Taat kepada Ulil Amri

Hadits-hadits yang memerintahkan untuk taat kepada Ulil Amri sangat banyak dan bisa dijumpai dalam kitab-kitab hadits yang ditulis para ulama. Di sini akan disebutkan beberapa hadits shahih tentang masalah ini:

1. Dari Abdullah bin Umar dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Wajib bagi setiap muslim untuk mendengar dan taat (kepada sulthan), baik dalam perkara yang dia senangi maupun dia benci, kecuali kalau dia diperintah dalam perkara maksiat, maka dia tidak boleh mendengar maupun taat." (HR. Bukhari 4/329 Muslim 3/1469)

2. Dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu, dia berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Wajib atasmu untuk mendengar dan taat (kepada sulthan) dalam kesulitanmu dan kemudahanmu, dalam perkara yang menyenangkanmu dan yang kamu benci, dan tidak kamu sukai." (HR. Muslim 3/1467)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: "Makna (أُثْرَةٍ) adalah: sekalipun para sulthan ini memonopoli perkaramu, sehingga mereka tidak berlaku adil terhadapmu dan mereka tidak menunaikan hakmu," seperti yang tersebut dalam Bukhari dan Muslim dari Usaid bin Hudhair bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Sesungguhnya kalian akan menemui perkara yang tidak disenangi setelahku, maka hendaklah kalian bersabar sampai kalian berjumpa denganku di telaga haudh nanti." (HR. Bukhari 3/41 dan Muslim 3/1474)

Dan juga dalam riwayat lain dari Abdullah bin Mas'ud, dia berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"'Sesungguhnya akan ada sepeninggalku perkara yang tidak kamu senangi dan kalian ingkari.' Para shahabat bertanya: 'Wahai Rasulullah, apa yang engkau perintahkan kepada orang dari kalangan kami yang menjumpainya?' Beliau menjawab: "Kalian tunaikan kewajiban kalian dan kalian minta kepada Allah akan hak kalian." (HR. Bukhari 4/312 dan Muslim 3/1472)

3. Dari Wail bin Hujr radhiallahu 'anhu, dia berkata: Salamah bin Yazid Al-Ju'ti pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam: "Wahai Rasulullah, kalau kita diperintah oleh sulthan yang meminta haknya, tapi tidak mau menunaikan hak kami, apa yang engkau perintahkan kepada kami?" Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berpaling darinya. Kemudian Salamah bertanya lagi dan Rasulullah pun berpaling lagi. Kemudian Salamah bertanya lagi untuk yang ketiga kalinya, maka ia ditarik oleh Al-Asy'ats bin Qais. Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Dengar dan taatlah kalian, karena mereka akan memikul dosa-dosa mereka dan kalian juga akan memikul dosa-dosa kalian (sendiri)." (Muslim 3/1474)

Berkata Ibnu Abil Izzi Al-Hanafi: "Adapun hikmah komitmen dalam mentaati mereka (Umara) sekalipun mereka dhalim adalah karena memberontak dan tidak taat kepada mereka akan mengakibatkan kerusakan yang fatal, lebih dari kedhaliman mereka sendiri, bahkan bersabar dalam menghadapi kedhaliman mereka itu bisa menghapuskan dosa-dosa dan bisa melipat gandakan pahala. Ini karena Allah tidak menguasakan mereka atas kita melainkan karena rusaknya amalan kita. Maka wajib bagi kita untuk bersungguh-sungguh dalam beristighfar, taubat, dan memperbaiki amal. Allah berfirman (yang artinya):

"Dan apa saja yang menimpa kamu maka disebabkan oleh perbuatan tangan kalian sendiri dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu)." (Asy-Syura: 30)

Maka apabila rakyat ingin lepas dari belenggu kedhaliman Umara, maka hendaklah mereka itu (rakyat) meninggalkan kedhaliman pula." (Syarh Aqidah Thahawiyyah 370)

4. Dari Abu Dzar Al-Ghifari radhiallahu 'anhu, dia berkata: Kekasihku (Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam) pernah berwasiat kepadaku:

"Dengar dan taatilah (Umara), sekalipun budak Habasyi yang juling matanya." Dan dalam riwayat Bukhari: "sekalipun diperintah oleh budak Habasyi yang panjang dan lebat rambut kepalanya." (HR. Muslim 3/1467 dan Bukhari 1/30)

5. Dari Auf bin Malik radhiallahu 'anhu dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda:

"Sebaik-baik pimpinan kalian adalah kalian mencintai mereka dan mereka mencintai kalian. Kalian doakan kesejahteraan bagi mereka dan mereka doakan kesejahteraan buat kalian. Dan sejelek-jelek pimpinan kalian adalah kalian membenci mereka dan mereka membenci kalian. Kalian melaknati mereka dan mereka melaknati kalian." Kami, para shahabat, bertanya: "Wahai Rasulullah, apakah mereka boleh kita perangi ketika terjadi demikian?" Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab: "Tidak, selama mereka masih shalat bersama kalian. Ketahuilah barangsiapa urusannya diurusi oleh Ulil Amri (sulthan) kemudian dia melihatnya berbuat maksiat kepada Allah, maka hendaklah dia benci terhadap maksiat yang dia perbuat dan sungguh jangan cabut tangan ketaatan padanya." (HR. Muslim 3/1482)

6. Dari Ibnu Abbas radhiallahu anhu, dia berkata bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Barangsiapa yang melihat Amirnya berbuat sesuatu yang dia benci, maka hendaklah dia bersabar karena tidak ada seorangpun di kalangan manusia yang keluar dari sulthan sejengkal, kemudian dia mati atas perbuatannya ini melainkan dia mati secara jahiliyah." (Bukhari 4/313 dan Muslim 3/1478)

7. Dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu anhu bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Tidak ada ketaatan dalam maksiat kepada Allah. Ketaatan itu hanya dalam perkara yang ma'ruf (baik)." (HR. Bukhari 4/355 dan Muslim 3/1469)

VII. Fatwa Para Syaikh dan Ulama tentang Masalah ini

1. Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Bazz

Beliau pernah ditanya: "Apakah termasuk manhaj salaf mengkritik sulthan di atas mimbar? Bagaimana manhaj salaf dalam mengkritik mereka?"
Maka beliau menjawab:

"Bukan termasuk manhaj salaf memasyhurkan dan menyebut-nyebut kejelekan sulthan di atas mimbar, karena akan mengakibatkan kekacauan yang fatal dan akan menjurus kepada perbincangan yang tak ada manfaatnya, bahkan bermadharat. Tetapi jalan yang diikuti oleh para Salafus Shalih ialah menyampaikan nasehat empat mata antara mereka (salaf) dengan sulthan, atau dengan mengirim surat kepadanya. Bisa juga dengan melalui ulama yang biasa berhubungan dengan sulthan, atau dengan mengirim surat kepadanya. Bisa juga dengan melalui ulama yang bisa menasehatinya dengan baik. (Dan perlu diketahui) bahwa mengingkari kemungkaran bisa dilakukan tanpa menyebutkan pelakunya. Demikian juga mengingkari zina, khamr, riba dan yang lainnya bisa dilakukan tanpat menyebut pelakunya.

Ketika terjadi fitnah di jaman kekhilafahan Utsman, berkata sebagian orang kepada Usamah bin Zaid radhiallahu anhu: "Apakah kamu tidak mengingkari perbuatan Utsman?" Maka Zaid menjawab: "Aku tidak mau mengingkarinya di depan masyarakat, tetapi aku ingkari perbuatannya dengan (melakukan pembicaraan red.) empat mata antara aku dengannya, karena aku tidak mau membukakan pintu kerusakan atas manusia." Maka ketika mereka membuka pintu kerusakan pada jaman Utsman radhiallahu 'anhu dan mengingkari perbuatan Utsman secara terang-terangan, memuncaklah fitnah dan terjadilah pembunuhan, peperangan dan kerusakan fatal yang tidak pernah punah bekasnya sampai sekarang. Akhirnya terjadilah fitnah antara Ali dan Muawiyyah, dan terbunuhlah Utsman, Ali dan banyak dari kalangan para shahabat disebabkan pengingkaran yang dilakukan secara terang-terangan. Kita mohon keselamatan kepada Allah." (Huququl Ra'i wa Ra'iyyah 27-28)

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Barangsiapa yang ingin menasehati sulthan, maka janganlah dia jelaskan terang-terangan (di depan mata), tapi hendaklah dia ambil tangan sulthan dan menyendiri dengannya. Kalau sulthan itu menerima nasehatnya, maka dia telah menasehatinya dan kalau sulthan itu tidak mau menerima, maka dia telah menunaikan kewajibannya." (HR. Ahmad 3/403)

2. Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan
Beliau pernah ditanya: "Bagaimana manhaj salaf dalam bermuamalah dengan pemerintah Islam."

Maka beliau menjawab:
"Manhaj kita dalam bermuamalah dengan pemerintah Islam adalah mendengar dan taat kepada mereka. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman (yang artinya): "Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya dan Ulil Amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu (hal) maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur`an) dan Rasul (As-Sunnah) jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Akhir. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya." (An-Nisa: 59)

Demikian pula Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda:
"Aku wasiatkan kepada kalian untuk takwa kepada Allah, mendengar dan taat (kepada sulthan) sekalipun kalian diperintah oleh budak (Habasyi), karena sesungguhnya barangsiapa diantara kalian yang hidup sepeninggalku, niscaya dia akan melihat perselisihan yang banyak. Maka (pada saat itu) wajib atas kalian untuk berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah Khulafa`ur Rasyidin yang mendapat petunjuk setelahku. Gigitlah ia dengan gigi geraham." (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, dan ia berkata: HASAN SHAHIH. Dishahihkan pula oleh Al-Albani dalam Shahihul Jami' 2546)

Hadits ini sesuai betul dengan ayat tersebut di atas. Begitu juga hadits-hadits shahih lain yang menganjurkan untuk mendengar dan taat kepada pemerintahan Islam. Pemerintah Islam harus ditaati dalam perkara taat kepada Allah. Tetapi kalau memerintah kepada maksiat, maka tidak boleh ditaati. Sedangkan dalam masalah selain ini (selain maksiat kepada Allah) mereka harus ditaati." (Wujub Tha'ati Sulthan 25-26)

Wallahu A'lam bi Shawab.
Maraji':
1. Tafsir At-Thabari oleh Ibnu Jarir At-Thabari
2. Tafsir Ibnu Katsir oleh Abu Fida Ibnu Katsir Ad-Dimasyqi
3. Al-Jami' lil Ahkamil Qur`an oleh Imam Al-Qurthubi
4. Durrul Mantsur oleh Imam Suyuthi
5. Ahkamul Qur`an oleh Abu Bakar Ibnul Arabi
6. Taisirul Karimir Rahman oleh Syaikh Abdur Rahman As-Sa'di
7. Hujiyyatu Ahaditsil Ahad oleh Syaikh Ahmad Muhammad Amis
8. Qaidah Mukhtasharah oleh Ibnu Taimiyyah
9. Wujub Tha'ati Sulthan oleh Muhammad bin Nashir Al-Uraini
10. Huququ Ra'iyyah karya Syaikh Al-Utsaimin
-----------------------------------------------------
[1] Salah satu tokoh Mu’tazilah yang mendakwahkan bahwa Al-Qur`an itu makhluk, dan dia adalah orang yang mempengaruhi Khalifah Al-Watsiq sehingga Imam Ahmad dipenjara.

(Dikutip dari artikel berjudul Makna Taat kepada Allah, Rasul dan Ulil Amri, karya al Ustadz Muhammad Afifuddin, sumber Majalah Salafy edisi IV/Dzulqa’dah/1416/1996 rubrik Tafsir, sumber http://salafy.iwebland.com/baca.php?id=41, Link URL Salafy Online)


Read More..