Ringkasan Sifat Shalat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam

Perhatian : Tulisan ini hanya ringkasan, bagi pembaca yang ingin mengetahui dalil-dalilnya dipersilahkan merujuk buku aslinya yaitu : “Sifat Shalat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam”, oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albaani.1. MENGHADAP KA’BAH 1. Apabila anda – wahai Muslim – ingin menunaikan shalat, menghadaplah ke Ka’bah (qiblat) dimanapun anda berada, baik shalat fardlu maupun shalat sunnah, sebab ini termasuk diantara rukun-rukun shalat, dimana shalat tidak sah tanpa rukun ini. 2. Ketentuan menghadap qiblat ini tidak menjadi keharusan lagi bagi ‘seorang yang sedang berperang’ pada pelaksanaan shalat khauf saat perang berkecamuk dahsyat. Dan tidak menjadi keharusan lagi bagi orang yang tidak sanggup seperti orang yang sakit atau orang yang dalam perahu, kendaraan atau pesawat bila ia khawatir luputnya waktu. Juga tidak menjadi keharusan lagi bagi orang yang shalat sunnah atau witir sedang ia menunggangi hewan atau kendaraan lainnya. Tapi dianjurkan kepadanya – jika hal ini memungkinkan – supaya menghadap ke qiblat pada saat takbiratul ikhram, kemudian setelah itu menghadap ke arah manapun kendaraannya menghadap. 3. Wajib bagi yang melihat Ka’bah untuk menghadap langsung ke porosnya, bagi yang tidak melihatnya maka ia menghadap ke arah Ka’bah. HUKUM SHALAT TANPA MENGHADAP KA’BAH KARENA KELIRU 4. Apabila shalat tanpa menghadap qiblat karena mendung atau ada penyebab lainnya sesudah melakukan ijtihad dan pilihan, maka shalatnya sah dan tidak perlu diulangi. 5. Apabila datang orang yang dipercaya saat dia shalat, lalu orang yang datang itu memberitahukan kepadanya arah qiblat maka wajib baginya untuk segera menghadap ke arah yang ditunjukkan, dan shalatnya sah. 2. BERDIRI 6. Wajib bagi yang melakukan shalat untuk berdiri, dan ini adalah rukun, kecuali bagi : Orang yang shalat khauf saat perang berkecamuk dengan hebat, maka dibolehkan baginya shalat di atas kendaraannya. Orang yang sakit yang tidak mampu berdiri, maka boleh baginya shalat sambil duduk dan bila tidak mampu diperkenankan sambil berbaring. Orang yang shalat nafilah (sunnah) dibolehkan shalat di atas kendaraan atau sambil duduk jika dia mau, adapun ruku’ dan sujudnya cukup dengan isyarat kepalanya, demikian pula orang yang sakit, dan ia menjadikan sujudnya lebih rendah dari ruku’nya. 7. Tidak boleh bagi orang yang shalat sambil duduk meletakkan sesuatu yang agak tinggi dihadapannya sebagai tempat sujud. Akan tetapi cukup menjadikan sujudnya lebih rendah dari ruku’nya -seperti yang kami sebutkan tadi- apabila ia tidak mampu meletakkan dahinya secara langsung ke bumi (lantai). SHALAT DI KAPAL LAUT ATAU PESAWAT 8. Dibolehkan shalat fardlu di atas kapal laut demikian pula di pesawat. 9. Dibolehkan juga shalat di kapal laut atau pesawat sambil duduk bila khawatir akan jatuh. 10. Boleh juga saat berdiri bertumpu (memegang) pada tiang atau tongkat karena faktor ketuaan atau karena badan yang lemah. SHALAT SAMBIL BERDIRI DAN DUDUK 11. Dibolehkan shalat lail sambil berdiri atau sambil duduk meski tanpa udzur (penyebab apapun), atau sambil melakukan keduanya. Caranya; ia shalat membaca dalam keadaan duduk dan ketika menjelang ruku’ ia berdiri lalu membaca ayat-ayat yang masih tersisa dalam keadaan berdiri. Setelah itu ia ruku’ lalu sujud. Kemudian ia melakukan hal yang sama pada rakaat yang kedua. 12. Apabila shalat dalam keadaan duduk, maka ia duduk bersila atau duduk dalam bentuk lain yang memungkinkan seseorang untuk beristirahat. SHALAT SAMBIL MEMAKAI SANDAL 13. Boleh shalat tanpa memakai sandal dan boleh pula dengan memakai sandal. 14. Tapi yang lebih utama jika sekali waktu shalat sambil memakai sandal dan sekali waktu tidak memakai sandal, sesuai yang lebih gampang dilakukan saat itu, tidak membebani diri dengan harus memakainya dan tidak pula harus melepasnya. Bahkan jika kebetulan telanjang kaki maka shalat dengan kondisi seperti itu, dan bila kebetulan memakai sandal maka shalat sambil memakai sandal. Kecuali dalam kondisi tertentu (terpaksa). 15. Jika kedua sandal dilepas maka tidak boleh diletakkan di samping kanan akan tetapi diletakkan di samping kiri jika tidak ada di samping kirinya seseorang yang shalat, jika ada maka hendaklah diletakkan di depan kakinya, hal yang demikianlah yang sesuai dengan perintah dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. 1) SHALAT DI ATAS MIMBAR 16. Dibolehkan bagi imam untuk shalat di tempat yang tinggi seperti mimbar dengan tujuan mengajar manusia. Imam berdiri di atas mimbar lalu takbir, kemudian membaca dan ruku’ setelah itu turun sambil mundur sehingga memungkinkan untuk sujud ke tanah di depan mimbar, lalu kembali lagi ke atas mimbar dan melakukan hal yang serupa di rakaat berikutnya. KEWAJIBAN SHALAT MENGHADAP PEMBATAS DAN MENDEKAT KEPADANYA 17. Wajib shalat menghadap tabir pembatas, dan tiada bedanya baik di masjid maupun selain masjid, di masjid yang besar atau yang kecil, berdasarkan kepada keumuman sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. “Artinya : Janganlah shalat melainkan menghadap pembatas, dan jangan biarkan seseorang lewat di hadapanmu, apabila ia enggan maka perangilah karena sesungguhnya ia bersama pendampingnya”. (Maksudnya syaitan). 18. Wajib mendekat ke pembatas karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan hal itu. 19. Jarak antara tempat sujud Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tembok yang dihadapinya seukuran tempat lewat domba. maka barang siapa yang mengamalkan hal itu berarti ia telah mengamalkan batas ukuran yang diwajibkan. 2) KADAR KETINGGIAN PEMBATAS 20. Wajib pembatas dibuat agak tinggi dari tanah sekadar sejengkal atau dua jengkal berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. “Artinya : Jika seorang diantara kamu meletakkan di hadapannya sesuatu setinggi ekor pelana 3) (sebagai pembatas) maka shalatlah (menghadapnya), dan jangan ia pedulikan orang yang lewat di balik pembatas”. 21. Dan ia menghadap ke pembatas secara langsung, karena hal itu yang termuat dalam konteks hadits tentang perintah untuk shalat menghadap ke pembatas. Adapun bergeser dari posisi pembatas ke kanan atau ke kiri sehingga membuat tidak lurus menghadap langsung ke pembatas maka hal ini tidak sah. 22. Boleh shalat menghadap tongkat yang ditancapkan ke tanah atau yang sepertinya, boleh pula menghadap pohon, tiang, atau isteri yang berbaring di pembaringan sambil berselimut, boleh pula menghadap hewan meskipun unta. HARAM SHALAT MENGHADAP KE KUBUR 23. Tidak boleh shalat menghadap ke kubur, larangan ini mutlak, baik kubur para nabi maupun selain nabi. HARAM LEWAT DI DEPAN ORANG YANG SHALAT TERMASUK DI MASJID HARAM 24. Tidak boleh lewat di depan orang yang sedang shalat jika di depannya ada pembatas, dalam hal ini tidak ada perbedaan antara masjid Haram atau masjid-masjid lain, semua sama dalam hal larangan berdasarkan keumuman sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. “Artinya : Andaikan orang yang lewat di depan orang yang shalat mengetahui akibat perbuatannya maka untuk berdiri selama 40, lebih baik baginya dari pada lewat di depan orang yang sedang shalat”. Maksudnya lewat di antara shalat dengan tempat sujudnya. 4) KEWAJIBAN ORANG YANG SHALAT MENCEGAH ORANG LEWAT DI DEPANNYA MESKIPUN DI MASJID HARAM 25. Tidak boleh bagi orang yang shalat menghadap pembatas membiarkan seseorang lewat di depannya berdasarkan hadits yang telah lalu. “Artinya : Dan janganlah membiarkan seseorang lewat di depanmu …”. Dan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. “Artinya : Jika seseorang diantara kamu shalat menghadap sesuatu pembatas yang menghalanginya dari orang lain, lalu ada yang ingin lewat di depannya, maka hendaklah ia mendorong leher orang yang ingin lewat itu semampunya (dalam riwayat lain : cegahlah dua kali) jika ia enggan maka perangilah karena ia adalah syaithan”. BERJALAN KE DEPAN UNTUK MENCEGAH ORANG LEWAT 26. Boleh maju selangkah atau lebih untuk mencegah yang bukan mukallaf yang lewat di depannya seperti hewan atau anak kecil agar tidak lewat di depannya. HAL-HAL YANG MEMUTUSKAN SHALAT 27. Di antara fungsi pembatas dalam shalat adalah menjaga orang yang shalat menghadapnya dari kerusakan shalat disebabkan yang lewat di depannya, berbeda dengan yang tidak memakai pembatas, shalatnya bisa terputus bila lewat di depannya wanita dewasa, keledai, atau anjing hitam. Footnote : 1. Saya (Al-Albaani) berkata: disini terdapat isyarat yang halus untuk tidak meletakkan sandal di depan. Adab inilah yang banyak disepelekan oleh kebanyakan orang yang shalat, sehingga Anda menyaksikan sendiri diantara mereka yang shalat menghadap ke sandal-sandal. 2. Saya (Al-Albaani) berkata: dari sini kita tahu bahwa apa yang dilakukan oleh banyak orang di setiap masjid seperti yang saya saksikan di Suriah dan negeri-negeri lain yaitu shalat di tengah masjid jauh dari dinding atau tiang adalah kelalaian terhadap perintah dan perbuatan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. 3. Yaitu kayu yang dipasang di bagian belakang pelana angkutan di punggung unta. Di dalam hadits ini terdapat isyarat bahwa: mengaris di atas tanah tidak cukup untuk dijadikan sebagai garis pembatas, karena hadits yang meriwayatkan tentang itu lemah. 4. Adapun hadits yang disebutkan dalam kitab “Haasyiatul Mathaaf” bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat tanpa menghadap pembatas dan orang-orang lewat di depannya, adalah hadits yang tidak shahih, lagi pula tidak ada keterangan di hadits tersebut bahwa mereka lewat diantara beliau dengan tempat sujudnya. 3. NIAT 28. Bagi yang akan shalat harus meniatkan shalat yang akan dilaksanakannya serta menentukan niat dengan hatinya, seperti fardhu zhuhur dan ashar, atau sunnat zhuhur dan ashar. Niat ini merupakan syarat atau rukun shalat. Adapun melafazhkan niat dengan lisan maka ini merupakan bid’ah, menyalahi sunnah, dan tidak ada seorangpun yang menfatwakan hal itu di antara para ulama yang ditokohkan oleh orang-orang yang suka taqlid (fanatik buta). 4. TAKBIR 29. Kemudian memulai shalat dengan membaca. “Allahu Akbar” (Artinya : Allah Maha Besar). Takbir ini merupakan rukun, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. “Artinya : Pembuka Shalat adalah bersuci, pengharamannya adalah takbir, sedangkan penghalalannya adalah salam”. 1) 30. Tidak boleh mengeraskan suara saat takbir di semua shalat, kecuali jika menjadi imam. 31. Boleh bagi muadzin menyampaikan (memperdengarkan) takbir imam kepada jama’ah jika keadaan menghendaki, seperti jika imam sakit, suaranya lemah atau karena banyaknya orang yang shalat. 32. Ma’mum tidak boleh takbir kecuali jika imam telah selesai takbir. MENGANGKAT KEDUA TANGAN DAN CARA-CARANYA 33. Mengangkat kedua tangan, boleh bersamaan dengan takbir, atau sebelumnya, bahkan boleh sesudah takbir. Kesemuanya ini ada landasannya yang sah dalam sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. 34. Mengangkat tangan dengan jari-jari terbuka. 35. Mensejajarkan kedua telapak tangan dengan pundak/bahu, sewaktu-waktu mengangkat lebih tinggi lagi sampai sejajar dengan ujung telinga. 2) MELETAKKAN KEDUA TANGAN DAN CARA-CARANYA 36. Kemudian meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri sesudah takbir, ini merupakan sunnah (ajaran) para nabi-nabi Alaihimus Shallatu was sallam dan diperintahkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada para sahabat beliau, sehingga tidak boleh menjulurkannya. 37. Meletakkan tangan kanan di atas punggung tangan kiri dan di atas pergelangan dan lengan. 38. Kadang-kadang menggenggam tangan kiri dengan tangan kanan. 3) TEMPAT MELETAKKAN TANGAN 39. Keduanya diletakkan di atas dada saja. Laki-laki dan perempuan dalam hal tersebut sama. 4) 40. Tidak meletakkan tangan kanan di atas pinggang. KHUSU’ DAN MELIHAT KE TEMPAT SUJUD 41. Hendaklah berlaku khusu’ dalam shalat dan menjauhi segala sesuatu yang dapat melalaikan dari khusu’ seperti perhiasan dan lukisan, janganlah shalat saat berhadapan dengan hidangan yang menarik, demikian juga saat menahan berak dan kencing. 42. Memandang ke tempat sujud saat berdiri. 43. Tidak menoleh ke kanan dan ke kiri, karena menoleh adalah curian yang dilakukan oleh syaitan dari shalat seorang hamba. 44. Tidak boleh mengarahkan pandangan ke langit (ke atas). DO’A ISTIFTAAH (PEMBUKAAN) 45. Kemudian membuka bacaan dengan sebagian do’a-do’a yang sah dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang jumlahnya banyak, yang masyhur diantaranya ialah : “Subhaanaka Allahumma wa bihamdika, wa tabaarakasmuka, wa ta’alaa jadduka, walaa ilaha ghaiyruka”. “Artinya : Maha Suci Engkau ya Allah, segala puji hanya bagi-Mu, kedudukan-Mu sangat agung, dan tidak ada sembahan yang hak selain Engkau”. Perintah ber-istiftah telah sah dari Nabi, maka sepatutnya diperhatikan untuk diamalkan. 5) 5. QIRAAH (BACAAN) 46. Kemudian wajib berlindung kepada Allah Ta’ala, dan bagi yang meninggalkannya mendapat dosa. 47. Termasuk sunnah jika sewaktu-waktu membaca. “A’udzu billahi minasy syaiythaanirrajiim, min hamazihi, wa nafakhihi, wa nafasyihi” “Artinya : Aku berlindung kepada Allah dari syithan yang terkutuk, dari godaannya, dari was-wasnya, serta dari gangguannya”. 48. Dan sewaktu-waktu membaca tambahan. “A’udzu billahis samii-il a’liimi, minasy syaiythaani …….” “Artinya : Aku berlindung kepada Allah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui, dari syaitan…….”. 49. Kemudian membaca basmalah (bismillah) di semua shalat secara sirr (tidak diperdengarkan). MEMBACA AL-FAATIHAH 50. Kemudian membaca surat Al-Fatihah sepenuhnya termasuk bismillah, ini adalah rukun shalat dimana shalat tak sah jika tidak membaca Al-Fatihah, sehingga wajib bagi orang-orang ‘Ajm (non Arab) untuk menghafalnya. 51. Bagi yang tak bisa menghafalnya boleh membaca. “Subhaanallah, wal hamdulillah walaa ilaha illallah, walaa hauwla wala quwwata illaa billah”. “Artinya : Maha suci Allah, segala puji bagi Allah, tidak ada sembahan yang haq selain Allah, serta tidak ada daya dan kekuatan melainkan karena Allah”. 52. Didalam membaca Al-Fatihah, disunnahkan berhenti pada setiap ayat, dengan cara membaca. (Bismillahir-rahmanir-rahiim) lalu berhenti, kemudian membaca. (Alhamdulillahir-rabbil ‘aalamiin) lalu berhenti, kemudian membaca. (Ar-rahmanir-rahiim) lalu berhenti, kemudian membaca. (Maaliki yauwmiddiin) lalu berhenti, dan demikian seterusnya. Demikianlah cara membaca Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam seluruhnya. Beliau berhenti di akhir setiap ayat dan tidak menyambungnya dengan ayat sesudahnya meskipun maknanya berkaitan. 53. Boleh membaca (Maaliki) dengan panjang, dan boleh pula (Maliki) dengan pendek. BACAAN MA’MUM 54. Wajib bagi ma’mum membaca Al-Fatihah di belakang imam yang membaca sirr (tidak terdengar) atau saat imam membaca keras tapi ma’mum tidak mendengar bacaan imam, demikian pula ma’mum membaca Al-Fatihah bila imam berhenti sebentar untuk memberi kesempatan bagi ma’mum yang membacanya. Meskipun kami menganggap bahwa berhentinya imam di tempat ini tidak tsabit dari sunnah. 6) BACAAN SESUDAH AL-FATIHAH 55. Disunnahkan sesudah membaca Al-Fatihah, membaca surat yang lain atau beberapa ayat pada dua raka’at yang pertama. Hal ini berlaku pula pada shalat jenazah. 56. Kadang-kadang bacaan sesudah Al-Fatihah dipanjangkan kadang pula diringkas karena ada faktor-faktor tertentu seperti safar (bepergian), batuk, sakit, atau karena tangisan anak kecil. 57. Panjang pendeknya bacaan berbeda-beda sesuai dengan shalat yang dilaksanakan. Bacaan pada shalat subuh lebih panjang daripada bacaan shalat fardhu yang lain, setelah itu bacaan pada shalat dzuhur, pada shalat ashar, lalu bacaan pada shalat isya, sedangkan bacaan pada shalat maghrib umumnya diperpendek. 58. Adapun bacaan pada shalat lail lebih panjang dari semua itu. 59. Sunnah membaca lebih panjang pada rakaat pertama dari rakaat yang kedua. 60. Memendekkan dua rakaat terakhir kira-kira setengah dari dua rakaat yang pertama. 7) 61. Membaca Al-Fatihah pada semua rakaat. 62. Disunnahkan pula menambahkan bacaan surat Al-Fatihah dengan surat-surat lain pada dua rakaat yang terakhir. 63. Tidak boleh imam memanjangkan bacaan melebihi dari apa yang disebutkan di dalam sunnah karena yang demikian bisa-bisa memberatkan ma’mum yang tidak mampu seperti orang tua, orang sakit, wanita yang mempunyai anak kecil dan orang yang mempunyai keperluan. MENGERASKAN DAN MENGECILKAN BACAAN 64. Bacaan dikeraskan pada shalat shubuh, jum’at, dua shalat ied, shalat istisqa, khusuf dan dua rakaat pertama dari shalat maghrib dan isya. Dan dikecilkan (tidak dikeraskan) pada shalat dzuhur, ashar, rakaat ketiga dari shalat maghrib, serta dua rakaat terakhir dari shalat isya. 65. Boleh bagi imam memperdengarkan bacaan ayat pada shalat-shalat sir (yang tidak dikeraskan). 66. Adapun witir dan shalat lail bacaannya kadang tidak dikeraskan dan kadang dikeraskan. MEMBACA AL-QUR’AN DENGAN TARTIL 67. Sunnah membaca Al-Qur’an secara tartil (sesuai dengan hukum tajwid) tidak terlalu dipanjangkan dan tidak pula terburu-buru, bahkan dibaca secara jelas huruf perhuruf. Sunnah pula menghiasi Al-Qur’an dengan suara serta melagukannya sesuai batas-batas hukum oleh ulama ilmu tajwid. Tidak boleh melagukan Al-Qur’an seperti perbuatan Ahli Bid’ah dan tidak boleh pula seperti nada-nada musik. 68. Disyari’atkan bagi ma’mum untuk membetulkan bacaan imam jika keliru. Footnote : 1. “Pengharaman” maksudnya : haramnya beberapa perbuatan yang diharamkan oleh Allah di dalam shalat. “Penghalal” maksudnya : halalnya beberapa perbuatan yang dihalalkan oleh Allah di luar shalat. 2. Saya (Al-Albaani) berkata : adapun menyentuh kedua anak telinga dengan ibu jari, maka perbuatan ini tidak ada landasannya di dalam sunnah Nabi, bahkan hal ini hanya mendatangkan was-was. 3. Adapun yang dianggap baik oleh sebagian orang-orang terbelakang, yaitu menggabungkan antara meletakkan dan menggenggam dalam waktu yang bersamaan, maka amalan itu tidak ada dasarnya. 4. Saya (Al-Albaani) berkata : amalan meletakkan kedua tangan selain di dada hanya ada dua kemungkinan; dalilnya lemah, atau tidak ada dalilnya sama sekali. 5. Barang siapa yang ingin membaca do’a-do’a istiftah yang lain, silahkan merujuk kitab : “Sifat Shalat Nabi”. 6. Saya telah sebutkan landasan orang yang berpendapat demikian, dan alasan yang dijadikan landasan untuk menolaknya di kitab Silsilah Hadits Dho’if No. 546 dan 547. 7. Perincian tentang ini, lihat Sifat Shalat hal 106-125 cet. ke 6 dan ke 7 6. RUKU’ 69. Bila selesai membaca, maka diam sebentar menarik nafas agar bisa teratur. 70. Kemudian mengangkat kedua tangan seperti yang telah dijelaskan terdahulu pada takbiratul ihram. 71. Dan takbir, hukumnya adalah wajib. 72. Lalu ruku’ sedapatnya agar persendian bisa menempati posisinya dan setiap anggota badan mengambil tempatnya. Adapun ruku’ adalah rukun. CARA RUKU’ 73. Meletakkan kedua tangan di atas lutut dengan sebaik-baiknya, lalu merenggangkan jari-jari seolah-olah menggenggam kedua lutut. Semua itu hukumnya wajib. 74. Mensejajarkan punggung dan meluruskannya, sehingga jika kita menaruh air di punggungnya tidak akan tumpah. Hal ini wajib. 75. Tidak merendahkan kepala dan tidak pula mengangkatnya tapi disejajarkan dengan punggung. 76. Merenggangkan kedua siku dari badan. 77. Mengucapkan saat ruku’. “Subhaana rabbiiyal ‘adhiim”. “Artinya : Segala puji bagi Allah yang Maha Agung”. tiga kali atau lebih. 1) MENYAMAKAN PANJANGNYA RUKUN 78. Termasuk sunnah untuk menyamakan panjangnya rukun, diusahakan antara ruku’ berdiri dan sesudah ruku’, dan duduk diantara dua sujud hampir sama. 79. Tidak boleh membaca Al-Qur’an saat ruku’ dan sujud. I’TIDAL SESUDAH RUKU’ 80. Mengangkat punggung dari ruku’ dan ini adalah rukun. 81. Dan saat i’tidal mengucapkan . “Syami’allahu-liman hamidah”. “Artinya : Semoga Allah mendengar orang yang memuji-Nya”. adapun hukumnya wajib. 82. Mengangkat kedua tangan saat i’tidal seperti dijelaskan terdahulu. 83. Lalu berdiri dengan tegak dan tenang sampai seluruh tulang menempati posisinya. Ini termasuk rukun. 84. Mengucapkan saat berdiri. “Rabbanaa wa lakal hamdu” “Artinya : Ya tuhan kami bagi-Mu-lah segala puji”. 2) Hukumnya adalah wajib bagi setiap orang yang shalat meskipun sebagai imam, karena ini adalah wirid saat berdiri, sedang tasmi (ucapan Sami’allahu liman hamidah) adalah wirid i’tidal (saat bangkit dari ruku’ sampai tegak). 85. Menyamakan panjang antara rukun ini dengan ruku’ seperti dijelaskan terdahulu. 7. SUJUD 86. Lalu mengucapkan “Allahu Akbar” dan ini wajib. 87. Kadang-kadang sambil mengangkat kedua tangan. TURUN DENGAN KEDUA TANGAN 88. Lalu turun untuk sujud dengan kedua tangan diletakkan terlebih dahulu sebelum kedua lutut, demikianlah yang diperintahkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta tsabit dari perbuatan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang untuk menyerupai cara berlututnya unta yang turun dengan kedua lututnya yang terdapat di kaki depan. 89. Apabila sujud -dan ini adalah rukun- bertumpu pada kedua telapak tangan serta melebarkannya. 90. Merapatkan jari jemari. 91. Lalu menghadapkan ke kiblat. 92. Merapatkan kedua tangan sejajar dengan bahu. 93. Kadang-kadang meletakkan keduanya sejajar dengan telinga. 94. Mengangkat kedua lengan dari lantai dan tidak meletakkannya seperti cara anjing. Hukumnya adalah wajib. 95. Menempelkan hidung dan dahi ke lantai, ini termasuk rukun. 96. Menempelkan kedua lutut ke lantai. 97. Demikian pula ujung-ujung jari kaki. 98. Menegakkan kedua kaki, dan semua ini adalah wajib. 99. Menghadapkan ujung-ujung jari ke qiblat. 100. Meletakkan/merapatkan kedua mata kaki. BERLAKU TEGAK KETIKA SUJUD 101. Wajib berlaku tegak ketika sujud, yaitu tertumpu dengan seimbang pada semua anggota sujud yang terdiri dari : Dahi termasuk hidung, dua telapak tangan, dua lutut dan ujung-ujung jari kedua kaki. 102. Barangsiapa sujud seperti itu berarti telah thuma’ninah, sedangkan thuma’ninah ketika sujud termasuk rukun juga. 103. Mengucapkan ketika sujud. “Subhaana rabbiyal ‘alaa” “Artinya : Maha Suci Rabbku yang Maha Tinggi” diucapkan tiga kali atau lebih. 104. Disukai untuk memperbanyak do’a saat sujud, karena saat itu do’a banyak dikabulkan. 105. Menjadikan sujud sama panjang dengan ruku’ seperti diterangkan terdahulu. 106. Boleh sujud langsung di tanah, boleh pula dengan pengalas seperti kain, permadani, tikar dan sebagainya. 107. Tidak boleh membaca Al-Qur’an saat sujud. IFTIRASY DAN IQ’A KETIKA DUDUK ANTARA DUA SUJUD 108. Kemudian mengangkat kepala sambil takbir, dan hukumnya adalah wajib. 109. Kadang-kadang sambil mengangkat kedua tangan. 110. Lalu duduk dengan tenang sehingga semua tulang kembali ke tempatnya masing-masing, dan ini adalah rukun. 111. Melipat kaki kiri dan mendudukinya. Hukumnya wajib. 112. Menegakkan kaki kanan (sifat duduk seperti No. 111 dan 112 ini disebut Iftirasy). 113. Menghadapkan jari-jari kaki ke kiblat. 114. Boleh iq’a sewaktu-waktu, yaitu duduk di atas kedua tumit. 115. Mengucapkan pada waktu duduk. “Allahummagfirlii, warhamnii’ wajburnii’, warfa’nii’, wa ‘aafinii, warjuqnii”. “Artinya : Ya Allah ampunilah aku, syangilah aku, tutuplah kekuranganku, angkatlah derajatku, dan berilah aku afiat dan rezeki”. 116. Dapat pula mengucapkan. “Rabbigfirlii, Rabbigfilii”. “Artinya : Ya Allah ampunilah aku, ampunilah aku”. 117. Memperpanjang duduk sampai mendekati lama sujud. SUJUD KEDUA 118. Kemudian takbir, dan hukumnya wajib. 119. Kadang-kadang mengangkat kedua tangannya dengan takbir ini. 120. Lalu sujud yang kedua, ini termasuk rukun juga. 121. Melakukan pada sujud ini apa-apa yang dilakukan pada sujud pertama. DUDUK ISTIRAHAT 122. Setelah mengangkat kepala dari sujud kedua, dan ingin bangkit ke rakaat yang kedua wajib takbir. 123. Kadang-kadang sambil mengangkat kedua tangannya. 124. Duduk sebentar di atas kaki kiri seperti duduk iftirasy sebelum bangkit berdiri, sekadar selurus tulang menempati tempatnya. RAKAAT KEDUA 125. Kemudian bangkit raka’at kedua -ini termasuk rukun- sambil menekan ke lantai dengan kedua tangan yang terkepal seperti tukang tepung mengepal kedua tangannya. 126. Melakukan pada raka’at yang kedua seperti apa yang dilakukan pada rakaat pertama. 127. Akan tetapi tidak membaca pada raka’at yang kedua ini do’a iftitah. 128. Memendekkan raka’at kedua dari raka’at yang pertama. DUDUK TASYAHUD 129. Setelah selesai dari raka’at kedua duduk untuk tasyahud, hukumnya wajib. 130. Duduk iftirasy seperti diterangkan pada duduk diantara dua sujud. 131. Tapi tidak boleh iq’a di tempat ini. 132. Meletakkan tangan kanan sampai siku di atas paha dan lutut kanan, tidak diletakkan jauh darinya. 133. Membentangkan tangan kiri di atas paha dan lutut kiri. 134. Tidak boleh duduk sambil bertumpu pada tangan, khususnya tangan yang kiri. MENGGERAKKAN TELUNJUK DAN MEMANDANGNYA 135. Menggenggam jari-jari tangan kanan seluruhnya, dan sewaktu-waktu meletakkan ibu jari di atas jari tengah. 136. Kadang-kadang membuat lingkaran ibu jari dengan jari tengah. 137. Mengisyaratkan jari telunjuk ke qiblat. 138. Dan melihat pada telunjuk. 139. Menggerakkan telunjuk sambil berdo’a dari awal tasyahud sampai akhir. 140. Tidak boleh mengisyaratkan dengan jari tangan kiri. 141. Melakukan semua ini di semua tasyahud. Footnote : 1. Masih ada dzikir-dzikir yang lain untuk dibaca pada ruku’ ini, ada dzikir yang panjang, ada yang sedang, dan ada yang pendek, lihat kembali kitab Sifat Shalat Nabi. 2. Masih ada dzikir-dzikir yang lain untuk dibaca pada ruku’ ini, ada dzikir yang panjang, ada yang sedang, dan ada yang pendek, lihat kembali kitab Sifat Shalat Nabi. UCAPAN TASYAHUD DAN DO’A SESUDAHNYA 142. Tasyahud adalah wajib, jika lupa harus sujud sahwi. 143. Membaca tasyahud dengan sir (tidak dikeraskan). 144. Dan lafadznya : “At-tahiyyaatu lillah washalawaatu wat-thayyibat, assalamu ‘alan – nabiyyi warrahmatullahi wabarakaatuh, assalaamu ‘alaiynaa wa’alaa ‘ibaadil-llahis-shaalihiin, asyhadu alaa ilaaha illallah, asyhadu anna muhamaddan ‘abduhu warasuuluh”. “Artinya : Segala penghormatan bagi Allah, shalawat dan kebaikan serta keselamatan atas Nabi 1) dan rahmat Allah serta berkat-Nya. Keselamatan atas kita dan hamba-hamba Allah yang shalih. Aku bersaksi bahwa tidak ada sembahan selain Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad hamba dan rasul-Nya”. 145. Sesudah itu bershalawat kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan mengucapkan : “Allahumma shalli ‘alaa muhammad, wa ‘alaa ali muhammad, kamaa shallaiyta ‘alaa ibrahiima wa ‘alaa ali ibrahiima, innaka hamiidum majiid”. “Allahumma baarik ‘alaa muhammaddiw wa’alaa ali muhammadin kamaa baarikta ‘alaa ibraahiima wa ‘alaa ali ibraahiima, innaka hamiidum majiid”. “Artinya : Ya Allah berilah shalawat atas Muhammad dan keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau bershalawat kepada Ibrahim dan keluarga Ibrahim sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Mulia. Ya Allah berkahilah Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana Engkau memberkahi Ibrahim dan keluarga Ibrahim sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Mulia”. 146. Dapat juga diringkas sebagai berikut : “Allahumma shalli ‘alaa muhammad, wa ‘alaa ali muhammad, wabaarik ‘alaa muhammadiw wa’alaa ali muhammadin kamaa shallaiyta wabaarikta ‘alaa ibraahiim wa’alaa ali ibraahiim, innaka hamiidum majiid”. “Artinya : Ya Allah bershalawatlah kepada Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana engkau bershalawat dan memberkahi Ibrahim dan keluarga Ibrahim sesungguhnya Engkau Terpuji dan Mulia”. 147. Kemudian memilih salah satu do’a yang disebutkan dalam kitab dan sunnah yang paling disenangi lalu berdo’a kepada Allah dengannya. RAKAAT KETIGA DAN KEEMPAT 148. Kemudian takbir, dan hukumnya wajib. Dan sunnah bertakbir dalam keadaan duduk. 149. Kadang-kadang mengangkat kedua tangan. 150. Kemudian bangkit ke raka’at ketiga, ini adalah rukun seperti sebelumnya. 151. Seperti itu pula yang dilakukan bila ingin bangkit ke raka’at yang ke empat. 152. Akan tetapi sebelum bangkit berdiri, duduk sebentar di atas kaki yang kiri (duduk iftirasy) sampai semua tulang menempati tempatnya. 153. Kemudian berdiri sambil bertumpu pada kedua tangan sebagaimana yang dilakukan ketika berdiri ke rakaat kedua. 154. Kemudian membaca pada raka’at ketiga dan keempat surat Al-Fatihah yang merupakan satu kewajiban. 155. Setelah membaca Al-Fatihah, boleh sewaktu-waktu membaca bacaan ayat atau lebih dari satu ayat. QUNUT NAZILAH DAN TEMPATNYA 156. Disunatkan untuk qunut dan berdo’a untuk kaum muslimin karena adanya satu musibah yang menimpa mereka. 157. Tempatnya adalah setelah mengucapkan : “Rabbana lakal hamdu”. 158. Tidak ada do’a qunut yang ditetapkan, tetapi cukup berdo’a dengan do’a yang sesuai dengan musibah yang sedang terjadi. 159. Mengangkat kedua tangan ketika berdo’a. 160. Mengeraskan do’a tersebut apabila sebagai imam. 161. Dan orang yang dibelakangnya mengaminkannya. 162. Apabila telah selesai membaca do’a qunut lalu bertakbir untuk sujud. QUNUT WITIR, TEMPAT DAN LAFADZNYA 163. Adapun qunut di shalat witir disyari’atkan untuk dilakukan sewaktu-waktu. 164. Tempatnya sebelum ruku’, hal ini berbeda dengan qunut nazilah. 165. Mengucapkan do’a berikut : “Allahummah dinii fiiman hadayit, wa ‘aafiinii fiiman ‘aafayit, watawallanii fiiman tawallayit, wa baariklii fiimaa a’thayit, wa qinii syarra maaqadhayit, fainnaka taqdhii walaa yuqdhaa ‘alayika wainnahu laayadzillu maw waalayit walaa ya’izzu man ‘aadayit, tabaarakta rabbanaa wata’alayit laa manjaa minka illaa ilayika”. “Artinya : Ya Allah tunjukilah aku pada orang yang engkau tunjuki dan berilah aku afiat pada orang yang Engkau beri afiat. Serahkanlah aku pada orang yang berwali kepada-Mu, berilah aku berkah pada apa yang Engkau berikan kepadaku, lindungilah aku dari keburukan yang Engkau tetapkan, karena Engkau menetapkan, dan tidak ada yang menetapkan untukku. Dan sesungguhnya tidak akan hina orang yang berwali kepada-Mu, dan tidak akan mulia orang yang memusuhi-Mu, Engkau penuh berkah, Wahai Rabb kami dan kedudukan-Mu sangat tinggi, tidak ada tempat berlindung kecuali kepada-Mu”. 166. Do’a ini termasuk do’a yang diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam diperbolehkan karena tsabit dari para shahabat radiyallahu anhum. 167. Kemudian ruku’ dan bersujud dua kali seperti terdahulu. TASYAHUD AKHIR DAN DUDUK TAWARUK 168. Kemudian duduk untuk tasyahud akhir, keduanya adalah wajib. 169. Melakukan pada tasyahud akhir apa yang dilakukan pada tasyahud awal. 170. Selain duduk di sini dengan cara tawaruk yaitu meletakkan pangkal paha kiri ke tanah dan mengeluarkan kedua kaki dari satu arah dan menjadikan kaki kiri ke bawah betis kanan. 171. Menegakkan kaki kanan. 172. Kadang-kadang boleh juga dijulurkan. 173. Menutup lutut kiri dengan tangan kiri yang bertumpu padanya. KEWAJIBAN SHALAWAT ATAS NABI SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM DAN BERLINDUNG DARI EMPAT PERKARA 174. Wajib pada tasyahud akhir bershalawat kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana lafadz-lafadznya yang telah kami sebutkan pada tasyahud awal. 175. Kemudian berlindung kepada Allah dari empat perkara, dan mengucapkan : “Allahumma inii a’uwdzubika min ‘adzaabi jahannam, wa min ‘adzaabil qabri wa min fitnatil mahyaa wal mamaati wa min tsarri fitnatil masyihid dajjal”. “Artinya : Ya Allah aku berlindung kepada-Mu dari siksa Jahannam dan dari siksa kubur, dan dari fitnah orang yang hidup dan orang yang mati serta dari keburukan fitnah masih ad-dajjal”. 2) BERDO’A SEBELUM SALAM 176. Kemudian berdo’a untuk dirinya dengan do’a yang nampak baginya dari do’a-do’a tsabit dalam kitab dan sunnah, dan do’a ini sangat banyak dan baik. Apabila dia tidak menghafal satupun dari do’a-do’a tersebut maka diperbolehkan berdo’a dengan apa yang mudah baginya dan bermanfaat bagi agama dan dunianya. SALAM DAN MACAM-MACAMNYA 177. Memberi salam ke arah kanan sampai terlihat putih pipinya yang kanan, hal ini adalah rukun. 178. Dan ke arah kiri sampai terlihat putih pipinya yang kiri meskipun pada shalat jenazah. 179. Imam mengeraskan suaranya ketika salam kecuali pada shalat jenazah. 180. Macam-macam cara salam. Pertama mengucapkan “Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuhu” ke arah kanan dan mengucapkan “Assalamu’alaikum warahmatullah” ke arah kiri. Kedua : Seperti di atas tanpa (Wabarakatuh). Ketiga mengucapkan “Assalamu’alaikum warahmatullahi” ke arah kanan dan “Assalamu’alaikum” ke arah kiri. Keempat : Memberi salam dengan satu kali ke depan dengan sedikit miring ke arah kanan. PENUTUP Saudaraku seagama. Inilah yang terjangkau bagiku dalam meringkas sifat shalat nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai satu usaha untuk mendekatkannya kepadamu sehingga engkau mendapatkan satu kejelasan, tergambar dalam benakmu, seakan-akan engkau melihatnya dengan kedua belah matamu. Apabila engkau melaksanakan shalatmu sebagaimana yang aku sifatkan kepadamu tentang shalat nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka aku mengharapkan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar menerima shalatmu, karena engkau telah melaksanakan satu perbuatan yang sesuai dengan perkataan nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. “Artinya : Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku shalat”. Setelah itu satu hal jangan engkau lupakan, agar engkau menghadirkan hatimu dan khusyu’ ketika melakukan shalat, karena itu tujuan utama berdirinya sang hamba di hadapan Allah Subahanahu wa Ta’ala, dan sesuai dengan kemampuan yang ada padamu dari apa yang aku sifatkan tentang kekhusu’an serta mengikuti cara shalat nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga engkau mendapatkan hasil diharapkan sebagaimana yang telah diisyaratkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan firman-Nya. “Artinya : Sesungguhnya shalat mencegah dari perbuatan keji dan munkar”. Akhirnya. Aku memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar menerima shalat kita dan amal kita secara keseluruhan, dan menyimpan pahala shalat kita sampai kita bertemu dengan-Nya. “Di hari tidak bermanfaat lagi harta dan anak-anak kecuali yang datang dengan hati yang suci”. Dan segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam. Disalin dari buku Ringkasan Sifat Shalat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang diterbitkan oleh Lembaga Ilmiah Masjid At-Taqwa Rawalumbu Bekasi Timur. Penerjemah : Amiruddin Abd. Djalil dan M.Dahri. Footnote : 1. Ini adalah yang disyariatkan sesudah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat dan tsabit dalilnya diriwayatkan Ibnu Mas’ud, Aisyah, Ibnu Zubair dan Ibnu Abas Radhiyallahu ‘anhu, barang siapa yang ingin penjelasan lebih lengkap lihat kitab Sifat Shalat. 2. Fitnah orang hidup adalah segala yang menimpa manusia dalam hidupnya seperti fitnah dunia dan syahwat, fitnah orang yang mati adalah fitnah kubur dan pertanyaan dua malaikat, dan fitnah masih ad-dajjal apa yang nampak padanya dari kejadian-kejadian yang luar biasa yang banyak menyesatkan manusia dan menyebabkan mereka mengikuti da’wahnya tentang ketuhanannya. Read More..

Dakwah Salaf Adalah Dakwah Tauhid

Sesungguhnya istilah salaf atau dakwah salaf bukanlah istilah baru. Istilah ini sudah dikenal sejak masa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam sebagaimana yang telah disinggung pada edisi perdana Risalah Dakwah ini. Yaitu ucapan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam kepada Fathimah:

”Aku adalah sebaik-baik salaf (pendahulu) bagimu. (HR. Muslim)”
Para shahabatpun sering menggunakan istilah salaf untuk menyebutkan tentang mereka-mereka yang sudah mendahuluinya. Seperti ucapan Anas bin Malik -seorang shahabat yang paling akhir meninggal. Tatkala beliau melihat kerusakan-kerusakan kaum muslimin ketika itu, beliau berkata: “Kalau saja ada seseorang dari kalangan salaf yang pertama dibangkitkan hari ini, maka dia tidak akan mengenali Islam sekarang sedikitpun kecuali shalat ini”. (al-I’tisham, Imam asy-Syathibi, juz 1 hal 34)

Demikian pula para ulama sepeninggal beliau. Mereka pun sering menyebut istilah salaf untuk menerangkan bahwa jalan yang benar adalah jalan salaf, yakni jalannya para shahabat. Berkata Maimun bin Mahram meri-wayatkan dari ayahnya: “Kalau saja ada sese-orang dari kalangan salaf dibangkitkan di antara kalian niscaya dia tidak mengenali keislaman kecuali kiblat ini (al-I’tisham, Imam asy-Syathibi, Juz 1 hal 34).

Oleh karena itu istilah salaf dikenal oleh para ulama untuk menunjukkan generasi per-tama dan utama dari umat ini seperti yang pernah diucapkan oleh Imam Bukhari, Ibnu Hajar al-Atsqalani dan selainnya. Simaklah apa yang dinasehatkan oleh Abu Amr al-Auza’i: “Sabarkanlah dirimu di atas jalan sunnah. Berhentilah kamu di mana kaum itu berhenti. Ucapkanlah apa yang mereka ucap-kan. Tinggalkanlah apa yang telah mereka tinggalkan dan jalanilah jalan salafmu yang shalih.” Beliau juga berkata: “Wajib bagi kali-an untuk berpegang dengan jejak-jejak sa-laf walaupun manusia menolakmu. Dan hati-hatilah kalian dari pendapat-pendapat ma-nusia walaupun mereka mengindahkan uca-pannya untukmu.” Dan masih banyak ucapan ulama yang lainnya.

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam telah berpesan kepada kita untuk tetap berpegang dengan sunnahnya dan sunnah para shahabatnya:

”Wajib atas kalian berpegang dengan sun-nahku dan sunnahnya para khulafaur Rasyidin yang diberi petunjuk. Gigitlah ia dengan gigi gerahammu. (HR. Tirmidzi dan diha-sankan oleh Al-Albani)”

Dengan demikian dakwah salaf adalah dakwah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam dan para shahabatnya. Sedangkan dakwah beliau adalah dakwah yang menyeru manusia kepada Tauhdi serta tegak di atas sunnah Nabi-Nya. Dengan sendirinya dakwah ini tidak memberikan tempat bagi kemusyrikan dan kebid’ahan.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

”Katakanlah (Muhammad): “Inilah jalanku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata. Maha suci Allah dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang musyrik. (Yusuf: 108)”

Imam Abu Ja’far Ibnu Jarir ath-Thabari ketika menafsirkan ayat ini mengatakan bahwa Allah Ta’ala telah memerintahkan nabi-Nya untuk menyatakan inilah dakwah dan jalan yang aku menyeru dan berpijak di atas-nya, yaitu menyeru manusia untuk berTauhdi, dan beribadah hanya kepada-Nya semata, yang berujung pada ketaatan kepadaNya dan tidak bermaksiat kepadaNya. Aku dan orang-orang yag mengikutiku menyeru hanya kepada Allah dengan hujjah yang dibimbing di atas ilmu dan keyakinan.

Berkata imam Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab At-Tamimy: “Dalam ayat ini terdapat beberapa faedah yang dapat kita ambil di antaranya:
1. Adanya peringatan untuk mengikhlaskan diri dalam beramal, karena kebanyakan da’i walaupun (seakan-akan) dia mendakwahkan pada kebenaran, akan tetapi pada hakekatnya ia mendakwahkan kepada dirinya sendiri.
2. Memiliki بَصِيْرَةٍ “ilmu” adalah kewajiban bagi seorang da’i.
3. Termasuk dari bukti kebenaran Tauhdi adalah adanya pensucian bagi Allah Ta’ala dari sifat-sifat tercela.
4. Termasuk dari bukti kejelekan syirik ialah bahwa syirik itu merupakan celaan bagi Allah Ta’ala.
5. Seorang muslim tidak termasuk dari kaum musyrikin manakala ia tidak bergabung dengan kaum musyrikin walaupun tidak berbuat syirik.

Inilah perbedaan dakwah salaf dengan dakwah-dakwah lainnya yang memiliki kecenderungan mengesampingkan Tauhdi dengan berbagai macam alasan.
Sebagian di antaranya menganggap Tauhdi dan Sunnah merupakan ilmu masa’il yang akan membikin ikhtilaf (perselisihan) dan perpecahan umat. Mereka hanya mau berbi-cara tentang ilmu fadhail (tentang keuta-maan-keutamaan ibadah).

Sebagian lagi mencela dakwah Tauhid ini dengan alasan menyeru umat kepada Tauhid hanya buang-buang waktu saja, tidak memahami fenomena yang sedang terjadi. Bukan-kah musuh-musuh Islam kini telah siap untuk menerkam umat dari segenap penjuru dan dari segala bidang?

Semua alasan yang diusung untuk menolak dakwah Tauhid menjadi cukup bagi kita untuk menilai dakwah model apa yang mereka kehendaki. Semua tidak bergeser dari ke-pentingan politik dan duniawi semata.

Mengapa mereka menjadi heran tatkala didahulukannya permasalahan Tauhid dalam dakwah salaf? Bukankah hak Allah Ta’ala untuk di-Esa-kan dalam segala peribadatan kepada-Nya adalah lebih utama dan lebih berhak untuk didahulukan?!

Perhatikan wasiat Nabi kepada Mu’ad bin Jabbal tatkala beliau mengutusnya ke negeri Yaman:
”Wahai Mu’adz, sesungguhnya engkau akan mendatangi suatu kaum dari kalangan ahlul kitab. Jika engkau telah datang kepada mereka, ajaklah mereka untuk bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah (HR. Bukhari Muslim).”

Dalam riwayat lain disebutkan: “Maka hendaklah yang pertama kali engkau dakwahkan kepada mereka ialah عِبَادَةِ الله “beribadah kepada Allah (semata)”. Dan dalam riwayat lainnya disebutkan: “agar mengesakan Allah”

Mengapa para juru dakwah sekarang justru meremehkan hak Allah ini?! Bukankah hak Allah lebih utama untuk didahulukan? Bukankah dakwah Tauhid merupakan kunci dakwahnya para rasul sebagaimana yang telah Allah abadikan dalam banyak ayat-Nya?.
Kita bisa perhatikan bagaimana nabi Nuh berdakwah kepada kaumnya, nabi Hud kepada kaum ‘Ad, nabi Shalih kepada kaum Tsamud, demikian pula nabi Syuaib berdak-wah kepada kaum Madyan. Mereka –seluruh-nya- mendakwahkan Tauhid dengan menga-takan kepada kaumnya:
”Wahai kaumku, beribadahlah (hanya) ke-pada Allah yang mana tidak ada satu dzat pun yang berhak diibadahi kecuali Dia.”

Demikian halnya pada diri Nabi Ibrahin –kekasih Allah, bapaknya para Nabi dan sekaligus sebagai imam bagi orang-orang yang berTauhid-. Beliau mengkhawatirkan kesyirikan akan menimpa pada dirinya dan keturunannya, sehingga beliau beliau berdoa kepada Allah dengan menyatakan:
”Wahai Rabb-ku, jadikanlah negeri ini (Me-kah) negeri yang aman dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku daripada menyembah berhala-berhala. Wahai Rabb-ku, sesungguh-nya berhala-berhala itu telah menyesatkan kebanyakan daripada manusia (Ibrahim: 35-36).”

Jika nabi Ibrahim mengkhawatirkan dirinya dan keturunannya dari tertimpa kemusyrikan, maka siapakah orangnya yang bisa menjamin dirinya terlepas dari bahaya kesyirikan? Dan siapakah orangnya yang me-rasa lebih baik wasiatnya daripada wasiatnya para nabi yang telah disampaikan kepada kaumnya?

Demikianlah mereka –para nabi- dalam berdakwah! Meskipun mereka menghadapi budaya yang beraneka ragam dan problem yang bermacam-macam, akan tetapi dakwah mereka yang utama adalah dakwah kepada Tauhid.

Walaupun problem yang mereka hadapi adalah masalah perekonomian –sebagaimana yang terjadi pada kaum Madyan- ataupun problemnya adalah masalah politik, sosial, akhlaq dan lain-lain. Mereka tetap memulainya dengan mendakwahkan Tauhid kepada kaumnya.

Yang demikian itu karena perbaikan Tauhid dalam masalah agama ini adalah seperti memperbaiki jantung pada badan manusia. Tidak akan bermanfaat mengobati anggota badan, jika jantungnya telah berhenti berdetak. Demikian pula tidak akan diterima amalan ibadah apapun jika Tauhid telah rusak dengan perbuatan syirik-syirik besar. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

”Jika kamu mempersekutukan (Rabb-mu), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi. (az-Zumar: 65)”

Dalam sebuah hadits riwayat Nu’man bin Basyir Radiyallahu ‘anhu , Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda:

”Ketahuilah bahwasanya dalam tubuh ini ada segumpal daging. Jika baik segumpal daging itu, maka baik pula seluruh tubuhnya. Dan jika rusak segumpal daging segumpal daging tersebut, maka rusak pula seluruh tu-buhnya. Ketahuilah bahwa segumpal daging itu adalah hati. (HR. Bukhari Muslim). Hadits ini merupakan hujjah, bahwa perbaikan hati dalam arti perbaikan aqidah dan keyakinan memiliki prioritas utama.”

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Barangsiapa yang ingin meninggikan bangunan, maka hendaklah ia memantapkan fondasinya, menguatkan dan harus lebih memperhatikannya. Karena sesungguhnya tingginya bangunan itu sesuai dengan kuatnya fondasi dan kemantapannya. (Lihat Sittu Durari, karya Abdul Malik Rhamadhani, hal 13).

Selanjutnya Ibnul Qayyim berkata: “Orang yang bijaksana akan lebih memperhatikan perbaikan fondasinya. Sedangkan orang-orang yang bodoh akan meninggikan bangunan tanpa memperhatikan kondisi pondasinya, sehingga tidak berapa lama lagi bangunan itu akan runtuh”. (Lihat Sittu Durari, karya Abdul Malik Rhamadhani, hal 14)
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

”Maka apakah orang-orang yang mendirikan masjidnya di atas dasar taqwa kepada Allah dan keridhaan-Nya itu yang baik, ataukah orang-orang yang mendirikan bangunannya di tepi jurang yang runtuh, lalu bangunan-nya itu jatuh bersama-sama dengannya ke dalam neraka Jahannam? (At-Taubah: 109)”.


Ayat ini berkenaan dengan perbuatan kaum munafiqin ketika membangun masjid dalam keadaan hati mereka tidak memiliki aqidah dan keimanan yang benar. Apa yang dikerjakannya merupakan pekerjaan sia-sia. Adapun yang membangun di atas fondasi Tauhid dan ketaqwaan, maka bangunannya akan kokoh.

Tauhid bagaikan akar pada sebuah pohon. Jika akar itu menghunjam ke bumi dengan mantap, maka pohon itu akan tegak berdiri menjulang ke langit.

Berkata Ibnul Qayyim: “Tahun adalah ibarat sebuah pohon, bulan adalah cabang-cabangnya, hari adalah ranting-rantingnya, saat demi saat adalah daun-daunnya dan nafas merupakan buahnya. Barangsiapa yang memakai waktunya dalam ketaatan kepada Allah, maka buahnya manis. Dan barangsiapa yang menggunakannya dalam kemaksiatan, maka buahnya pahit dan hasil buahnya kelak akan dipanen pada hari kiamat. Manusia akan mendapatkan manisnya hasil amalannya di dunia atau pahitnya buah yang dia rasakan.

Tauhid adalah pohon yang tumbuh dalam hati dan cabangnya adalah amalan, ada pun buahnya adalah kebahagiaan hidup di dunia dan kenikmatan yang kekal di akhirat. Sedangkan kesyirikan, kekufuran dan riya’ juga merupakan pohon yang tumbuh dalam hati, buahnya di dunia berupa ketakutan, gundah gulana, sempit dada dan kegelapan hati. Sedangkan buahnya di akhirat berupa Zaqum yang tidak mengenyangkan dan tidak pula menghilangkan rasa haus. Buah ini bahkan akan merobek tenggorokan dan menghancurkan seluruh tubuhnya, dan buahnya adalah kekekalan adzab di akhirat.

Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik (kalimat Tauhid) seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya menjulang ke langit. Pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Rabb-nya. Dan perumpamaan kalimat yang buruk (kalimat kufur, syirik) adalah seperti pohon yang buruk,yang telah dicabut dengan akar-akarnya dari permukaan bumi tidak dapat tetap (tegak) sedikitpun. (Ibrahim: 24-25). Wallahu a’lam.

(Dikutip dari Bulletin Dakwah Manhaj Salaf, penulis Ustadz Muhammad Umar As Sewed, judul asli "Dakwah Salaf Dakwah Tauhid". Link URL Salafy Online)


Read More..

Melestarikan Budaya, Ritual Biasa ataukah ?

Indonesia sebagai sebuah negara muslim terbesar ternyata masih menyimpan sejumlah kebudayaan yang menurut kacamata agama sangat bertolak belakang dengan nilai-nilai fundamental di dalam Islam. Lihat saja seperti acara Grebeg Suro yang setiap tahunnya selalu berulang di berbagai tempat di tanah air. Acara yang selalu diisi dengan pelepasan sesaji, kapala kerbau, nasi tumpeng atau yang lainnya ini menurut banyak kalangan “hanya sebuah ritual” atau “upaya melestarikan budaya leluhur”.

Padahal apabila setiap muslim mau mengevaluasi kembali dan mencocokkannya dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam menurut pemahaman yang benar (shahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in), pasti mereka akan mendapati dengan jelas penyimpangan yang nyata dari acara-acara tersebut terhadap syari’at yang suci ini.

Grebeg Suro berikut acara pelepasan sesajiannya dengan maksud apa pun adalah pelanggaran yang besar terhadap ajaran Islam. Umumnya para penyelenggara dan peserta berharap kepada Sang Pencipta bahwa dengan acara ini mereka diberi keselamatan, kesejahteraan dan kemakmuran serta maksud-maksud yang lainnya. Dan tidak sedikit juga -dari mereka- yang mengharapkan hal serupa dari para leluhur??! (KOMPAS 21.1.07).

Ritual lain yang tidak kalah hebat adalah upacara persembahan yang biasanya diadakan selang terjadinya suatu musibah gunung meletus, banjir, atau musibah lainnya, seperti yang terjadi beberapa waktu belakangan ini di Porong Sidoarjo. Alih-alih mencetuskan teknologi mutakhir untuk menghentikan semburan lumpur panas, yang terjadi malah mengadakan upacara pemberian sesaji, sekian ekor kerbau rencananya akan dikurbankan guna menghentikan bencana nasional ini?! Belum lagi acara serupa yang mewarnai upaya pencarian korban penumpang KM Senopati Nusantara, Pesawat Adam Air dan serentetan musibah lainnya.

Di dalam Islam tidak dibenarkan (baca: haram) memberikan ibadah apapun kepada selain Allah Subhanahu Wa Ta'ala dalam kondisi sempit maupun lapang. Ketika seseorang dalam keadaan terjepit seperti tertimpa musibah, penyakit atau yang lainnya atau dalam keadaan senang, sehat wal a’fiat, aman dan tentram. Kalau ada yang mengatakan “acara-acara tersebut diselenggarakan bukan dalam rangka ibadah!” Ketahuilah ibadah adalah segala sesuatu yang dicintai dan diridha’i Allah apakah berupa perkataan atau perbuatan yang terlahir maupun tersembunyi. Inilah pengertian ibadah menurut Islam.

Kapan suatu perbuatan tersebut dicintai oleh Allah Subhanahu Wa Ta'ala seperti ada perintah untuk mengerjakannya, diantara contohnya seperti berkurban, “Maka dirikanlah shalat karena Rabbmu dan berkurbanlah”. (QS. Al Kautsar: 2), atau adanya pujian seperti berdoa, cemas, harap dan khusyu’ (khidmat), “Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam kebaikan dan mereka berdoa kepada Kami dengan harap dan cemas. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu' kepada Kami. (Qs. Al Anbiya’: 90) serta indikasi lainnya yang mengisyaratkan perbuatan tersebut adalah ibadah, maka haram hukumnya diperuntukkan kepada selain Allah Subhanahu Wa Ta'ala.

Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman,

“Maka janganlah kamu beribadah kepada yang lain di samping Allah, yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang di'azab”. (Qs. Asy-Syu’araa: 213)

“Itulah sebagian hikmah yang diwahyukan Rabb kepadamu. Dan janganlah kamu mengadakan sesembahan yang lain di samping Allah, yang menyebabkan kamu dilemparkan ke dalam neraka dalam keadaan tercela lagi dijauhkan (dari rahmat Allah)”. (Qs. Al Israa’: 39)

Kembalinya kesyirikan kepada ummat seperti yang memfenomena di zaman ini persis seperti yang pernah dikabarkan Nabi yang mulia Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam pada salah satu sabdanya,

“Tidak akan pergi siang dan malam sampai diibadahinya kembali Latta dan Uzza”.

Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Rahimahullah di dalam risalahnya Al Qawaidul Arba’ dan yang lainnya menerangkan bahwa kesyirikan yang terjadi di zaman ini lebih dahsyat daripada kesyirikan yang dahulu dilakukan oleh orang-orang musyrikin generasi pertama. Alasannya –menurut beliau- ada dua:

Yang pertama kesyirikan musyrikin terdahulu hanya pada kondisi aman, tentram tapi apabila mereka terjepit karena suatu musibah atau yang lainnya mereka tidak lagi menyeru apa dan siapa pun selain Allah Subhanahu Wa Ta'ala semata dan lenyaplah dari mereka semua yang selalu mereka seru (ibadahi) selain Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Hal ini Allah Subhanahu Wa Ta'ala nyatakan di dalam Al Qur’an pada ayatnya,

“Dan apabila kamu ditimpa bahaya di lautan, niscaya hilanglah siapa yang kamu seru kecuali Dia. Maka tatkala Dia menyelamatkan kamu ke daratan, kamu berpaling. Dan manusia adalah selalu tidak berterima kasih. (Qs. Al Israa’: 67)

“Maka apabila mereka naik kapal mereka berdoa hanya kepada Allah semata; maka tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai ke darat, tiba-tiba mereka (kembali) mempersekutukan (Allah), (Qs. Al Ankabut: 65)

Sedangkan orang-orang sekarang kesyirikan mereka kontinyu di saat lapang dan susah. Di saat lapang mereka biasa menyekutukan Allah Subhanahu Wa Ta'ala dan di saat susah kesyirikan mereka semakin menjadi-jadi. Apabila ada yang sakit mereka pergi ke dukun meyembelih ayam cemani, apabila ada bencana kepala kerbau adalah syarat yang tidak boleh ditinggalkan untuk sebuah persembahan. Hasbunallahu wani’mal wakiil.
Yang kedua, kalau dahulu kesyirikan musyrikin generasi pertama hanya dalam perkara ibadah (uluhiyyah) saja dan untuk urusan rububiyyah (penciptaan, kepemilikan dan pengaturan) mereka memurnikannya untuk Allah Subhanahu Wa Ta'ala.

“Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: "Siapakah yang menciptakan langit dan bumi", niscaya mereka menjawab:"Allah". (Qs. Az-Zumar: 38)

“Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka: "Siapakah yang menjadikan langit dan bumi dan menundukkan matahari dan bulan?" Tentu mereka akan menjawab: "Allah", maka betapakah mereka (dapat) dipalingkan (dari jalan yang benar)”. (Qs. Al Ankabuut: 61)

Sedangkan orang-orang sekarang kesyirikan mereka lengkap, dalam perkara uluhiyyah dan rububiyyah. Dalam perkara ibadah (uluhiyyah) mereka menyekutukan Allah Subhanahu Wa Ta'ala dan dalam perkara rububiyyah mereka juga menyekutukan Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Sehingga kita mengenal ditengah-tengah mereka istilah “penguasa laut selatan”, “penunggu merapi” serta istilah lainnya yang menandakan kesyirikan mereka yang sampai kepada taraf rububiyyah, padahal Abu Jahal dan orang-orang musyrikin terdahulu tidak pernah sampai terjatuh ke dalamnya.

“Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan apa yang ada di dalamnya; dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu”. (QS. Al Maidah: 120)

Banyak orang mulai menyadari bahwa musibah dan bencana yang silih berganti menimpa belakangan ini berkaitan erat dengan semakin maraknya kemaksiatan di berbagai tempat di tanah air, apa pun alasannya. Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman,

“Maka masing-masing (mereka itu) Kami siksa disebabkan dosanya, maka diantara mereka ada yang Kami timpakan kepadanya hujan batu kerikil dan diantara mereka ada yang ditimpa suara keras yang menguntur, dan diantara mereka ada yang Kami benamkan ke dalam bumi, dan diantara mereka ada yang Kami tenggelamkan, dan Allah sekali-kali tidak hendak menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri”. (Qs. Al Ankabut: 40)

Sehingga banyak orang mulai mengingkari perzinaan, prostitusi, pornografi, korupsi, kolusi, judi, serta kemaksiatan lainnya. Tapi tragisnya sedikit saja yang mengingkari kesyirikan yang merebak di tengah-tengah ummat Islam, pemujaan-pemujaan kepada jin, kepercayaan-kepercayaan kepada dukun, tukang tenung, paranormal dan “orang pintar”.

Hal ini terjadi akibat rusaknya standar keimanan kebanyakan ummat Islam sehingga hatinya tidak lagi berfungsi dalam menilai sebuah penyimpangan. Sekedar contoh apabila kita membaca sebuah headline di surat kabar: “Seorang Anak Berzina dengan Ibu Kandungnya”, badan serasa bergetar dan hati menjadi kaget mengingkari kemaksiatan tersebut. Tapi apabila kita membaca pada sebuah kolom di salah satu harian yang beredar, “Mbah Marijan Memimpin Ritual Ke Puncak Merapi”, kebanyakan kita membacanya sebagai sebuah informasi yang menghibur. Padahal kesyirikan adalah dosa yang paling besar, pelaku kesyirikan terancam kekal di neraka jahannam dan dengan kesyirikan amalan ibadah sepanjang umur menjadi gugur serta kerugian-kerugian lainnya. Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman,

“Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya:"Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar". (Qs. Lugman: 13)
“Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolongpun”. (Qs. Al Maidah: 72)

“Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) sebelummu:"Jika kamu mempersekutukan (Allah), niscaya akan hapus amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi”. (Qs. Az-Zumar: 65)

Apalagi ternyata kesyirikan adalah sumber utama terjadinya berbagai macam bencana. Bukankah bencana-bencana yang Allah Subhanahu Wa Ta'ala timpakan kepada ummat terdahulu adalah akibat dari penolakan mereka untuk meninggalkan kesyirikan?!

“Kemudian Kami utus (kepada umat-umat itu) rasul-rasul Kami berturut-turut. Tiap-tiap seorang rasul datang kepada umatnya, umat itu mendustakannya, maka Kami perikutkan sebagian mereka dengan sebagian yang lain (kami binasakan mereka sebagaimana yang lain). Dan Kami jadikan mereka buah tutur (manusia), maka kebinasaanlah bagi orang-orang yang tidak beriman. (Qs. Al Mu’minun: 44)

“Hampir-hampir langit pecah karena ucapan itu, dan bumi belah, dan gunung-gunung runtuh, karena mereka mendakwa Allah Yang Maha Pemurah mempunyai anak. (Qs. Maryam: 90-91)

Apabila kita telah mengetahui ini semua, masih pantaskah seorang muslim menganggap remeh dosa yang seperti ini ancaman dan akibatnya?! Dengan mengatakan “Sebagai upaya menjaga warisan leluhur”, atau “Ini adalah sumber devisa dalam bidang pariwisata”. Ketahuilah ini semua bukan sekedar ritual semata!! Tapi ritual yang akan berujung kepada kesengsaraan dunia dan akhirat kita. Wallahua’lam bis Shawab.

(Dikutip dari email Tim Ahlussunnah Jakarta, judul asli Bukan Sekedar Ritual, tulisan Al Ustadz Ja'far Shalih, Jakarta. Link URL Salafy Online)

Read More..

Hukum Sihir dan Perdukunan

Segala puji hanya kepunyaan Allah, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada junjungan umat, Nabi besar Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, yang tiada lagi Nabi sesudahnya.

Akhir-akhir ini banyak sekali tukang-tukang ramal yang mengaku dirinya sebagai tabib, dan mengobati orang sakit dengan jalan sihir atau perdukunan. Mereka kini banyak menyebar di berbagai negeri; orang-orang awam yang tidak mengerti sudah banyak menjadi korban pemerasan mereka.

Maka atas dasar nasihat (loyalitas) kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dan kepada hamba-hambaNya, saya ingin menjelaskan tentang betapa besar bahayanya terhadap Islam dan umat Islam adanya ketergantungan kepada selain Allah dan bahwa hal tersebut bertolak belakang dengan perintah Allah dan RasulNya.

Dengan memohon pertolongan Allah Ta'ala saya katakan bahwa berobat dibolehkan menurut kesepakatan para ulama. Seorang muslim jika sakit hendaklah berusaha mendatangi dokter yang ahli, baik penyakit dalam, pembedahan, saraf, maupun penyakit luar untuk diperiksa apa penyakit yang dideritanya. Kemudian diobati sesuai dengan obat-obat yang dibolehkan oleh syara', sebagaimana yang dikenal dalam ilmu kedokteran.

Dilihat dari segi sebab dan akibat yang biasa berlaku, hal ini tidak bertentangan dengan ajaran tawakkal kepada Allah dalam Islam. Karena Allah Ta'ala telah menurunkan penyakit dan menurunkan pula obatnya. Ada di antaranya yang sudah diketahui oleh manusia dan ada yang belum diketahui. Akan tetapi Allah Ta'ala tidak menjadikan penyembuhannya dari sesuatu yang telah diharamkan kepada mereka.

Oleh karena itu tidak dibenarkan bagi orang yang sakit, mendatangi dukun-dukun yang mendakwakan dirinya mengetahui hal-hal ghaib, untuk mengetahui penyakit yang dideritanya. Tidak diperbolehkan pula mempercayai atau membenarkan apa yang mereka katakan, karena sesuatu yang mereka katakan mengenai hal-hal yang ghaib itu hanya didasarkan atas perkiraan belaka, atau dengan cara mendatangkan jin-jin untuk meminta pertolongan kepada jin-jin tersebut sesuai dengan apa yang mereka inginkan. Dengan cara demikian dukun-dukun tersebut telah melakukan perbuatan-perbuatan kufur dan sesat.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjelaskan dalam berbagai haditsnya sebagai berikut :

"Imam Muslim meriwayatkan dalam kitab 'Shahih Muslim', bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : 'Barangsiapa mendatangi 'arraaf' (tukang ramal)) kepadanya, tidak akan diterima shalatnya selama empat puluh hari."

"Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda:'Barangsiapa yang mendatangi kahin (dukun)) dan membenarkan apa yang ia katakan, sungguh ia telah kafir terhadap apa yang diturunkan kepada Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam." (HR. Abu Daud).

"Dikeluarkan oleh empat Ahlus Sunan dan dishahihkan oleh Al-Hakim dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan lafazh: 'Barangsiapa mendatangi tukang ramal atau dukun dan membenarkan apa yang ia katakan, sungguh ia telah kafir terhadap apa yang diturunkan kepada Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam."

"Dari Imran bin Hushain radhiallahu anhu, ia berkata: 'Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: 'Bukan termasuk golongan kami yang melakukan atau meminta tathayyur (menentukan nasib sial berdasarkan tanda-tanda benda,burung dan lain-lain),yang meramal atau yang meminta diramalkan, yang menyihir atau meminta disihirkan dan barangsiapa mendatangi peramal dan membenarkan apa yang ia katakan, maka sesungguhnya ia telah kafir terhadap wahyu yang diturunkan kepada Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam."(HR. Al-Bazzaar,dengan sanad jayyid).

Hadits-hadits yang mulia di atas menunjukkan larangan mendatangi peramal, dukun dan sebangsanya, larangan bertanya kepada mereka tentang hal-hal yang ghaib, larangan mempercayai atau membenarkan apa yang mereka katakan, dan ancaman bagi mereka yang melakukannya.

Oleh karena itu, kepada para penguasa dan mereka yang mempunyai pengaruh di negerinya masing-masing, wajib mencegah segala bentuk praktek tukang ramal, dukun dan sebangsanya, dan melarang orang-orang mendatangi mereka.

Kepada yang berwenang supaya melarang mereka melakukan praktek-praktek di pasar-pasar, mall-mall atau di tempat-tempat lainnya, dan secara tegas menolak segala yang mereka lakukan. Dan hendaknya tidak tertipu oleh pengakuan segelintir orang tentang kebenaran apa yang mereka lakukan. Karena orang-orang tersebut tidak mengetahui perkara yang dilakukan oleh dukun-dukun tersebut, bahkan kebanyakan mereka adalah orang-orang awam yang tidak mengerti hukum, dan larangan terhadap perbuatan yang mereka lakukan.

Rasulullah 'Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah melarang umatnya mendatangi para peramal, dukun dan tukang tenung. Melarang bertanya serta membenarkan apa yang mereka katakan. Karena hal itu mengandung kemungkaran dan bahaya besar, juga berakibat negatif yang sangat besar pula. Sebab mereka itu adalah orang-orang yang melakukan dusta dan dosa.

Hadits-hadits Rasulullah tersebut di atas membuktikan tentang kekufuran para dukun dan peramal. Karena mereka mengaku mengetahui hal-hal yang ghaib, dan mereka tidak akan sampai pada maksud yang diinginkan melainkan dengan cara berbakti, tunduk, taat, dan menyembah jin-jin. Padahal ini merupakan perbuatan kufur dan syirik kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Orang yang membenarkan mereka atas pengakuannya mengetahui hal-hal yang ghaib dan mereka meyakininya, maka hukumnya sama seperti mereka. Dan setiap orang yang menerima perkara ini dari orang yang melakukannya, sesungguhnya Rasulullah 'Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berlepas diri dari mereka.

Seorang muslim tidak boleh tunduk dan percaya terhadap dugaan dan sangkaan bahwa cara seperti yang dilakukan itu sebagai suatu cara pengobatan, semisal tulisan-tulisan azimat yang mereka buat, atau menuangkan cairan timah, dan lain-lain cerita bohong yang mereka lakukan.

Semua ini adalah praktek-praktek perdukunan dan penipuan terhadap manusia, maka barangsiapa yang rela menerima praktek-praktek tersebut tanpa menunjukkan sikap penolakannya, sesungguhnya ia telah menolong dalam perbuatan bathil dan kufur.

Oleh karena itu tidak dibenarkan seorang muslim pergi kepada para dukun, tukang tenung, tukang sihir dan semisalnya, lalu menanyakan kepada mereka hal-hal yang berhubungan dengan jodoh, pernikahan anak atau saudaranya, atau yang menyangkut hubungan suami istri dan keluarga, tentang cinta, kesetiaan, perselisihan atau perpecahan yang terjadi dan lain sebagainya. Sebab semua itu berhubungan dengan hal-hal ghaib yang tidak diketahui hakikatnya oleh siapa pun kecuali oleh Allah Subhanahhu wa Ta'ala.

Sihir sebagai salah satu perbuatan kufur yang diharamkan oleh Allah, dijelaskan di dalam surat Al-Baqarah ayat 102 tentang kisah dua Malaikat:

Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh syetan-syetan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir). Mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua orang malaikat di negeri Babil yaitu Harut dan Marut, sedang keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorang pun sebelum mengatakan:"Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir'. Maka mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang dengan sihir itu mereka dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan istrinya. Dan mereka itu (ahli sihir) tidak memberi mudharat dengan sihirnya kepada seorang pun kecuali dengan izin Allah. Dan mereka mempelajari sesuatu yang memberi mudharat kepadanya dan tidak memberi manfaat. Demi, sesungguhnya mereka telah meyakini bahwa barangsiapa yang menukarkan ayat (kitab Allah) dengan sihir itu, tiadalah baginya keuntungan di Akhirat, dan amat jahatlah perbuatan mereka menjual dirinya dengan sihir, kalau mereka mengetahui."(Al-Baqarah:102)

Ayat yang mulia ini juga menunjukkan bahwa orang-orang yang mempelajari ilmu sihir, sesungguhnya mereka mempelajari hal-hal yang hanya mendatangkan mudharat bagi diri mereka sendiri, dan tidak pula mendatangkan sesuatu kebaikan di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala. Ini merupakan ancaman berat yang menunjukkan betapa besar kerugian yang diderita oleh mereka di dunia ini dan di Akhirat nanti. Mereka sesungguhnya telah memperjualbelikan diri mereka dengan harga yang sangat murah, itulah sebabnya Allah berfirman :

"Dan alangkah buruknya perbuatan mereka menjual dirinya dengan sihir itu, seandainya mereka mengetahui."

Kita memohon kepada Allah kesejahteraan dan keselamatan dari kejahatan sihir dan semua jenis praktek perdukunan serta tukang sihir dan tukang ramal. Kita memohon pula kepadaNya agar kaum muslimin terpelihara dari kejahatan mereka. Semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala memberikan pertolongan kepada kaum muslimin agar senantiasa berhati-hati terhadap mereka, dan melaksanakan hukum Allah dengan segala sangsi-sangsinya kepada mereka, sehingga manusia menjadi aman dari kejahatan dan segala praktek keji yang mereka lakukan.

Sungguh Allah Maha Pemurah lagi Maha Mulia!.


TATA CARA MENANGKAL DAN MENANGGULANGI SIHIR

Allah telah mensyari'atkan kepada hamba-hambaNya supaya mereka menjauhkan diri dari kejahatan sihir sebelum terjadi pada diri mereka. Allah juga menjelaskan tentang bagaimana cara pengobatan sihir bila telah terjadi. Ini merupakan rahmat dan kasih sayang Allah, kebaikan dan kesempurnaan nikmatNya kepada mereka.

Berikut ini beberapa penjelasan tentang usaha menjaga diri dari bahaya sihir sebelum terjadi, begitu pula usaha dan cara pengobatannya bila terkena sihir, yakni cara-cara yang dibolehkan menurut hukum syara':

Pertama: Tindakan preventif, yakni usaha menjauhkan diri dari bahaya sihir sebelum terjadi. Cara yang paling penting dan bermanfaat ialah penjagaan dengan melakukan dzikir yang disyari'atkan, membaca do'a dan ta'awwudz sesuai dengan tuntunan Rasulullah 'Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, di antaranya seperti di bawah ini:

A. Membaca ayat Kursi setiap selesai shalat lima waktu, sesudah membaca wirid yang disyari'atkan setelah salam, atau dibaca ketika akan tidur. Karena ayat Kursi termasuk ayat yang paling besar nilainya di dalam Al-Qur'an. Rasulullah 'Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda dalam salah satu hadits shahihnya :

"Barangsiapa membaca ayat Kursi pada malam hari, Allah senantiasa menjaganya dan syetan tidak mendekatinya sampai Shubuh."

Ayat Kursi terdapat dalam surat Al-Baqarah ayat 255 yang bunyinya :
"Allah tidak ada Tuhan selain Dia, Yang hidup kekal lagi terus-menerus mengurus (makhlukNya), tidak mengantuk dan tidak tidur, kepunyaanNya apa yang ada di langit dan apa yang di bumi. Siapakah yang dapat memberi syafa'at di sisi Allah tanpa izinNya? Allah mengetahui apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendakiNya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar."

B. Membaca surat Al-Ikhlas, surat Al-Falaq, dan surat An-Naas pada setiap selesai shalat lima waktu, dan membaca ketiga surat tersebut sebanyak tiga kali pada pagi hari sesudah shalat Shubuh, dan menjelang malam sesudah shalat Maghrib, sesuai dengan hadits riwayat Abu Dawud, At-Tirmidzi dan An-Nasa'i.

C. Membaca dua ayat terakhir dari surat Al-Baqarah yaitu ayat 285-286 pada permulaan malam, sebagaimana sabda Rasulullah :

"Barangsiapa membaca dua ayat terakhir dari surat Al-Baqarah pada malam hari, maka cukuplah baginya."

Adapun bacaan ayat tersebut adalah sebagai berikut:
"Rasul telah beriman kepada Al-Qur'an yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat, kitab-kitab dan rasul-rasulNya. (Mereka mengatakan), 'Kami tidak membeda-bedakan antara seseorang (dengan yang lain) dari rasul-rasulNya'. (Mereka berdo'a): 'Ampunilah kami, ya Tuhan kami, dan kepada Engkaulah tempat kembali."

"Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya, ia mendapat pahala (dari kewajiban) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdo'a), 'Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau bersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang yang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya, beri maaflah kami, ampunilah kami, dan rahmatilah kami. Engkaulah penolong kami, maka tolonglah kami terhadap orang-orang yang kafir."

D. Banyak berlindung dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna.
Hendaklah dibaca pada malam hari dan siang hari ketika berada di suatu tempat, ketika masuk ke dalam suatu bangunan, ketika berada di tengah padang pasir, di udara atau di laut. Sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :

"Barangsiapa singgah di suatu tempat dan dia mengucapkan: 'A'uudzu bi kalimaatillahi attaammaati min syarri maa khalaq' (aku berlindung dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna dari kejahatan makhluk ciptaanNya), maka tidak ada sesuatu pun yang membahayakannya sampai ia pergi dari tempat itu."

E. Membaca do'a di bawah ini masing-masing tiga kali pada pagi hari dan menjelang malam :

"Dengan nama Allah, yang bersama namaNya, tidak ada sesuatu pun yang membahayakan, baik di bumi maupun di langit dan Dia Maha Mendengar dan Maha Mengetahui." (HR. Abu Daud dan At-Tirmidzi)

Bacaan-bacaan dzikir dan ta'awwudz ini merupakan sebab-sebab yang besar untuk memperoleh keselamatan dan untuk menjauhkan diri dari kejahatan sihir atau kejahatan lainnya. Yaitu bagi mereka yang selalu mengamalkannya secara benar disertai keyakinan yang penuh kepada Allah, bertumpu dan pasrah kepadaNya dengan lapang dada dan hati yang khusyu'.

Kedua: Bacaan-bacaan seperti ini juga merupakan senjata ampuh untuk menghilangkan sihir yang sedang menimpa seseorang, dibaca dengan hati yang khusyu', tunduk dan merendahkan diri, seraya memohon kepada Allah agar dihilangkan bahaya dan malapetaka yang dihadapi. Do'a-do'a berdasarkan riwayat yang kuat dari Rasulullah r untuk menyembuhkan penyakit yang disebabkan oleh sihir dan lain sebagainya adalah sebagai berikut:
1. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam me-ruqyah (mengobati dengan membaca ayat-ayat Al-Qur'an atau do'a-do'a) sahabat-sahabatnya dengan bacaan :

Artinya: "Ya Allah, Tuhan segenap manusia….! Hilangkanlah sakit dan sembuhkanlah, Engkau Maha Penyembuh, tidak ada penyembuhan melainkan penyembuhan dariMu, penyembuhan yang tidak meninggalkan penyakit." (HR. Al-Bukhari).

2. Do'a yang dibaca Jibril , ketika meruqyah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

"Dengan nama Allah, aku meruqyahmu dari segala yang menyakitkanmu, dan dari kejahatan setiap diri atau dari pandangan mata yang penuh kedengkian, semoga Allah menyembuhkanmu, dengan nama Allah aku meruqyahmu." Bacaan ini hendaknya diulang tiga kali.

3. Pengobatan sihir cara lainnya, terutama bagi laki-laki yang tidak dapat berjimak dengan istrinya karena terkena sihir. Yaitu, ambillah tujuh lembar daun bidara yang masih hijau, ditumbuk atau digerus dengan batu atau alat tumbuk lainnya, sesudah itu dimasukkan ke dalam bejana secukupnya untuk mandi; bacakan ayat Kursi pada bejana tersebut; bacakan pula surat Al-Kafirun, Al-Ikhlas, Al-Falaq, An-Naas, dan ayat-ayat sihir dalam surat Al-A'raf ayat 117-119, surat Yunus ayat 79-82 dan surat Thaha ayat 65-69.

Surat Al-A'raf ayat 117-119 yang bunyinya:

"Dan Kami wahyukan kepada Musa: 'Lemparkanlah tongkatmu!' Maka sekonyong-konyong tongkat itu menelan apa yang mereka sulapkan. Karena itu, nyatalah yang benar dan batallah yang selalu mereka kerjakan. Maka mereka orang-orang yang hina."

Surat Yunus ayat 79-82:

"Fir'aun berkata (kepada pemuka kaumnya): 'Datangkanlah kepadaku semua ahli sihir yang pandai'. Maka tatkala ahli-ahli sihir itu datang, Musa berkata kepada mereka: 'Lemparkanlah apa yang hendak kamu lemparkan'. Maka setelah mereka lemparkan, Musa berkata: 'Apa yang kamu lakukan itu, itulah sihir, sesungguhnya Allah akan menampakkan ketidakbenaran mereka. Sesungguhnya Allah tidak akan membiarkan terus berlangsung pekerjaan orang-orang yang membuat kerusakan. Dan Allah akan mengokohkan yang benar dengan ketetapanNya, walaupun orang-orang yang berbuat dosa tidak menyukai(nya)."

Surat Thaha ayat 65-69 yang bunyinya :

"Mereka bertanya,'Hai Musa (pilihlah), apakah kamu yang melemparkan (dahulu) atau kamilah yang mula-mula melemparkan?' Musa menjawab,'Silahkan kamu sekalian melemparkan'. Maka tiba-tiba tali-tali dan tongkat-tongkat mereka, terbayang oleh Musa seakan-akan ia merayap cepat lantaran sihir mereka. Maka Musa merasa takut dalam hatinya. Kami berfirman: 'Janganlah kamu takut, sesungguhnya kamulah yang paling unggul (menang). Dan lemparkanlah apa yang ada di tangan kananmu, niscaya ia akan menelan apa yang mereka perbuat, sesungguhnya apa yang mereka perbuat itu adalah tipu daya tukang sihir (belaka). Dan tidak akan menang tukang sihir itu dari mana saja ia datang."

Setelah selesai membaca ayat-ayat tersebut di atas hendaklah diminum sedikit airnya dan sisanya dipakai untuk mandi.)

Dengan cara ini mudah-mudahan Allah Subhanahu wa Ta'ala menghilangkan penyakit yang sedang dideritanya.

4. Cara pengobatan lainnya, sebagai cara yang paling bermanfaat ialah berupaya mengerahkan tenaga dan daya untuk mengetahui di mana tempat sihir terjadi, di atas gunung atau di tempat manapun ia berada, dan bila sudah diketahui tempatnya, diambil dan dimusnahkan sehingga lenyaplah sihir tersebut.

Inilah beberapa penjelasan tentang perkara-perkara yang dapat menjaga diri dari sihir dan usaha pengobatan atau cara penyembuhannya, dan hanya kepada Allah kita memohon pertolongan.

Adapun pengobatan dengan cara-cara yang dilakukan oleh tukang-tukang sihir, yaitu dengan mendekatkan diri kepada jin disertai dengan penyembelihan hewan, atau cara-cara mendekatkan diri lainnya, maka semua ini tidak dibenarkan karena termasuk perbuatan syirik paling besar yang wajib dihindari.

Demikian pula pengobatan dengan cara bertanya kepada dukun,'arraaf (tukang ramal) dan menggunakan petunjuk sesuai dengan apa yang mereka katakan. Semua ini tidak dibenarkan dalam Islam, karena dukun-dukun tersebut tidak beriman kepada Allah; mereka adalah pendusta dan pembohong yang mengaku mengetahui hal-hal ghaib, dan kemudian menipu manusia.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah memperingatkan orang-orang yang mendatangi mereka, menanyakan dan membenarkan apa yang mereka katakan, sebagaimana telah dijelaskan hukum-hukumnya di awal tulisan ini.

Kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala kita memohon, agar seluruh kaum muslimin dilimpahkan kesejahteraan dan keselamatan dari segala kejahatan, dan semoga Allah melindungi mereka, agama mereka, dan menganugerahkan kepada mereka pemahaman dan agamaNya, serta memelihara mereka dari segala sesuatu yang menyalahi syari'atNya.

(Dikutip dari tulisan Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, dikirim : Selasa, 01 Juli 2003 - 00:54:20 oleh al Akh Hari Nasution. Diterbitkan oleh Depar-temen Urusan KeIslaman, Wakaf, Dakwah Dan Bimbingan Islam, Saudi Arabia, Link URL Salafy Online)

Read More..

Menanamkan Pondasi Akidah yang Kokoh Sejak Usia Dini

Setiap mukmin pasti tidak bisa memungkiri pengakuan dalam lubuk hatinya yang paling dalam bahwa Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam adalah figur guru/pengajar yang terbaik. Sehingga metode Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wassalam dalam menanamkan keyakinan aqidah kepada para Sahabatnya, termasuk yang masih sangat muda belia, adalah metode yang paling relevan diterapkan dalam berbagai situasi zaman.

Di saat setiap orang tua muslim mulai khawatir dengan keimanan dan moral anaknya, para pendidik mulai mencemaskan perkembangan kepribadian peserta didiknya, patutlah kita menengok kembali bagaimana Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wassalam memberikan contoh peletakan pondasi keimanan yang kokoh kepada seorang sahabat, sekaligus sepupu beliau yang masih kecil waktu itu, yakni Ibnu Abbas radliyallahu ‘anhu.

Bukti sejarah memaparkan keunggulan metode pengajaran Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wassalam tersebut yang membuahkan pribadi yang beriman dan berilmu seperti Ibnu Abbas. Kita kemudian mengenal beliau sebagai seorang Ulama’ di kalangan sahabat Nabi, seorang ahli tafsir, sekaligus seorang panutan yang menghiasi dirinya dengan akhlaqul karimah, sikap wara’, taqwa, dan perasaan takut hanya kepada Allah semata.

Begitu banyak keutamaan Ibnu Abbas yang tidak bisa kita sebutkan hanya dalam hitungan jari. Beliau adalah seseorang yang didoakan oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wassalam:

“Wahai Allah, pahamkanlah ia dalam permasalahan Dien, dan ajarilah ia ta’wil (ilmu tafsir Al Quran)”. Beliau pula yang dua kali didoakan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wassalam supaya dianugerahi hikmah oleh Allah. Tidak ada yang menyangsikan maqbulnya doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, manusia yang paling bertaqwa di sisi Allah.

Mari kitak simak salah satu metode pengajaran agung itu, untuk selanjutnya kita gunakan pula dalam membimbing anak-anak kita meretas jalan menuju hidayah dan bimbingan Allah. Disebutkan dalam suatu hadits:

Dari Ibnu Abbas radliyallahu ‘anhu: “Pada suatu hari aku pernah berboncengan di belakang Nabi (di atas kendaraan), beliau berkata kepadaku: “Wahai anak, aku akan mengajari engkau beberapa kalimat:
Jagalah Allah, niscaya Allah akan menjagamu…
Jagalah Allah, niscaya engkau akan dapati Allah di hadapanmu…
Jika engkau memohon, mohonlah kepada Allah…
Jika engkau meminta tolong, minta tolonglah kepada Allah…

Ketahuilah…kalaupun seluruh umat (jin dan manusia) berkumpul untuk memberikan satu pemberian yang bermanfaat kepadamu, tidak akan bermanfaat hal itu bagimu, kecuali jika itu telah ditetapkan Allah (akan bermanfaat bagimu)…

Ketahuilah… kalaupun seluruh umat (jin dan manusia)berkumpul untuk mencelakakan kamu, tidak akan mampu mencelakakanmu sedikitpun, kecuali jika itu telah ditetapkan Allah (akan sampai dan mencelakakanmu)…

Pena telah diangkat… dan telah kering lembaran-lembaran…(hadits riwayat Tirmidzi, Hasan, shahih)

Inilah salah satu wasiat Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wassalam yang mewarnai kalbu Ibnu Abbas, menghunjam dan mengakar, serta membuahkan keimanan yang mantap kepada Allah. Kita juga melihat bagaimana metode dakwah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wassalam, hal pertama kali yang ditanamkan adalah tauhid, bagaimana seharusnya manusia memposisikan dirinya di hadapan Allah. Manusia seharusnya mencurahkan segala hidup dan kehidupannya untuk menghamba hanya kepada Allah. Tidaklah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wassalam mendahulukan sesuatu sebelum masalah tauhid diajarkan.

Kalau manusia ingin selalu berada dalam penjagaan Allah, maka dia harus ‘menjaga’ Allah. Makna perkataan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wassalam: “Jagalah Allah, niscaya Allah akan menjagamu…” dijelaskan oleh seorang Ulama’ bernama Ibnu Daqiqiel ‘Ied: “Jadilah engkau orang yang taat kepada Rabbmu, mengerjakan perintah-perintah-Nya, dan berhenti dari (mengerjakan) larangan-larangan-Nya”. (Syarah al-Arba’in hadiitsan an-nawawiyah).

Kita jaga batasan-batasan Allah dan tidak melampauinya. Batasan-batasan itu adalah syariat Allah, penentuan hukum halal dan haram dari Allah, yang memang hanya Allah sajalah yang berhak menetapkan hukum tersebut, sebagaimana dalam ayat: Artinya: “…penetapan hukum hanyalah hak Allah” (Q.S.Yusuf: 40 )

Allah mencela orang-orang yang melampaui batasan-batasan-Nya: Artinya: “…dan barangsiapa yang melampaui batasan-batasan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang dhalim”(Q.S. Albaqarah:229).

Imam al-Qurthubi dalam kitab tafsirnya tentang ayat ini menyebutkan: “Batasan itu terbagi dua, yaitu: batasan perintah (untuk) dikerjakan dan batasan larangan (untuk)ditinggalkan.

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wassalam dalam hadits ini memberikan sinyalemen bahwa barangsiapa yang senantiasa menjaga batasan-batasan Allah itu maka dia akan senantiasa dalam penjagaan Allah. Maka siapakah lagi yang lebih baik penjagaannya selain Allah? sesungguhnya Allah adalah sebaik-baik penjaga. Dalam AlQuran disebutkan:
“Dan jika mereka berpaling, maka ketahuilah bahwasanya Allah Pelindungmu. Dia adalah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong”(Q.S. Al-Anfaal:40).

Syaikh Abdirrahman bin Naashir As-Sa’di dalam tafsirnya menjelaskan:…”Allah lah yang memelihara hamba-hambanya yang mu’min,dan menyampaikan pada mereka (segala) kebaikan/mashlahat, dan memudahkan bagi mereka manfaat-manfaat Dien maupun kehidupan dunianya, dan Allah yang menolong dan melindungi mereka dari makar orang-orang fujjar,dan permusuhan secara terang-terangan dari orang-orang yang jelek akhlaq dan Diennya.(Kitab Taisiril Kariimir Rahman fi Tafsiiri Kalaamil Mannaan).

Makna perkataan Rasul “Jagalah Allah, niscaya engkau akan dapati Allah di hadapanmu…”. Syaikh Abdirrahman bin Muhammad bin Qasim al- Hanbaly an-Najdi dalam kitabnya Hasyiyah Tsalatsatil Ushul, menjelaskan makna hadits tersebut: “Jagalah batasan-batasan Allah dan perintah-perintah-Nya, niscaya Ia akan menjagamu di manapun kamu berada”.

“Jika engkau memohon, memohonlah kepada Allah, jika engkau meminta pertolongan, minta tolonglah kepada Allah”. Ini adalah sebagai perwujudan pengakuan kita yang selalu kita ulang-ulang dalam sholat :Iyyaaka na’budu waiyyaaka nasta’iin
“Hanya kepada-Mu lah kami menyembah dan hanya kepada-Mu lah kami meminta pertolongan”(Q.S. Al-Fatihah: 5).

Kalimat yang sering kita ulang-ulang dalam munajad kita dengan Penguasa seluruh dunia ini, akankah benar-benar membekas dan mewarnai kehidupan kita? Sudahkah kita benar-benar menjiwai makna pernyataan ini sehingga terminal keluhan dan pelarian kita yang terakhir adalah Dia Yang Berkuasa atas segala sesuatu? Demikianlah yang seharusnya. Di saat kita meyakini ada titik tertentu , sebagai batas semua makhluk siapapun dia, tidak akan mampu mengatasinya, pulanglah kita pada tempat kita berasal dan tempat kita kembali. Apakah dengan penguakan kesadaran yang paling dalam ini kita masih rela berbagi permintaan tolong kita yang sebenarnya hanya Allah saja yang mampu, kepada makhluk selain-Nya? Sungguh hal itu merupakan bentuk kedzaliman yang paling besar.

Allah mengabadikan salah satu bentuk nasehat mulya yang akan senantiasa dikenang :

Artinya: “Dan ingatlah ketika Luqman berkata kepada anaknya, dalam keadaan dia menasehatinya: “Wahai anakku janganlah engkau menyekutukan Allah, sesungguhnya kesyirikan adalah kedzaliman yang paling besar” (Q.S.Luqman:13)
Meminta pertolongan dalam permasalahan yang hanya Allah saja yang mampu memenuhinya, seperti rezeki, kebahagiaan, kesuksesan, keselamatan, dan yang semisalnya, kepada selain Allah adalah termasuk bentuk kedzaliman yang terbesar itu (syirik). Berbeda halnya jika kita minta tolong dalam permasalahan yang manusia memang diberi kemampuan secara normal oleh Allah untuk memenuhinya, seperti tolong menolong sesama muslim dalam hal finansial, perdagangan dan semisalnya.

“Ketahuilah…kalaupun seluruh umat (jin dan manusia) berkumpul untuk memberikan satu pemberian yang bermanfaat kepadamu, tidak akan bermanfaat hal itu bagimu, kecuali jika itu telah ditetapkan Allah (akan bermanfaat bagimu)…” Ketahuilah… kalaupun seluruh umat (jin dan manusia)berkumpul untuk mencelakakan kamu, tidak akan mampu mencelakakanmu sedikitpun, kecuali jika itu telah ditetapkan Allah (akan sampai dan mencelakakanmu)…Dua bait ucapan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wassalam ini mempertegas dan memberikan argumen yang pasti bahwa Allah sajalah yang berhak dijadikan tempat bergantung, meminta pertolongan, karena hanya Ia saja yang bisa menentukan kemanfaatan atau kemudharatan akan menimpa suatu makhluk. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wassalam juga mengajarkan kepada kita dzikir seusai sholat yang menguatkan pengakuan itu:

“Allahumma laa maani’a limaa a’thoyta walaa mu’tiya limaa mana’ta “

Artinya: “…Wahai Allah tidak ada yang mencegah apa yang Engkau berikan dan tidak ada yang bisa memberi apa yang Engkau cegah/halangi…” (hadits riwayat Bukhari 2/325 dan Muslim 5/90, lihat kitab Shahih al-Waabilus Shayyib minal Kalamit Thayyib, Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilaly).

Dalam hadits itu pula terkandung pelajaran penting wajibnya iman terhadap taqdir dari Allah baik maupun buruk. Seandainya seluruh makhluk berkumpul dan mengerahkan segala daya dan upayanya untuk memberikan sesuatu pada seseorang, tidak akan bisa diterimanya jika tidak ditakdirkan oleh Allah, demikian pula sebaliknya dalam hal usaha untuk mencelakakan.Kesadaran ini pula yang harus ditanamkan sejak dini.

Orang tua hendaknya memberikan gambaran-gambaran yang mudah dimengerti oleh si anak tentang kekuasaan Allah dan taqdirnya. Anak-anak mulai diajak berpikir secara Islamy, bahwa segala sesuatu yang menjadi kepunyaannya itu adalah pemberian dari Allah dan telah Allah takdirkan sampai padanya. Demikian pula apa yang luput dari usaha anak itu untuk mencapainya, telah Allah takdirkan tidak akan sampai padanya.

Telah diangkat pena-pena dan telah kering lembaran-lembaran….maksudnya, segala sesuatu yang terjadi di dunia ini telah tertulis ketentuannya dan hanya Allah saja yang mengetahuinya. Allah berfirman:

“Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri,”(Q.S. Al-hadiid:22-23).

Sungguh indah rasanya jika teladan pengajaran dari Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wassalam ini benar-benar kita tindak lanjuti sebagai upaya pembekalan bagi anak-anak kita. Mewarnai kalbu mereka yang masih putih seputih kertas tanpa ada goresan sedikitpun sebelumnya. Sehingga di saat mereka beranjak dewasa, kita akan menuai hasilnya. Orangtua mana yang tak kan bangga melihat anak-anaknya tumbuh menjadi manusia yang tangguh, beriman dan berilmu Dien yang mantap serta siap menghambakan dirinya untuk Allah semata dan siap berjuang untuk menegakkan Kalimat-Nya, berjihad fi sabiilillah. Tidak ada yang ditakuti kecuali hanya kepada, dan karena Allah semata.

Daftar rujukan:
1.Syarah al-Arba’in Hadiitsan an-Nawawiyah, Imam Ibn Daqiiqil ‘Ied.
2.Taisiril Kariimir Rahman fi tafsiiri Kalaamil Mannan, Syaikh Abdirrahman bin Naashir As Sa’di
3.Tafsir Al-Qurthuby.
4.Shahih al-Waabilus Shayyib minal Kalamit Thayyib, Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilaly.
5.Hasyiyah Tsalaatsatil Ushul, Syaikh Abdirrahman bin Muhammad bin Qasim al-Hanbaly an-Najdi.

(Dikutip dari tulisan Ustadz Abu Hamzah Yusuf, dari Bulletin Al Wala wal Bara Edisi ke-10 Tahun ke-1 / 21 Februari 2003 M / 19 Dzul Hijjah 1423 H. Link Url FDAWJ dan Salafy Online)

Read More..

Rambu-Rambu Berdakwah Ke Jalan Alloh Ta'ala

Berdakwah ke jalan Allah Ta'ala merupakan jalan hidup dan peran mulia setiap rasul Alaihimussalaam dan segenap pengikutnya, untuk mengeluarkan manusia dari kegelapan kepada cahaya, dari kekufuran kepada keimanan, dari kesyirikan kepada tauhid dan dari neraka kepada surga.

Dan ia memiliki rambu-rambu dan asas-asas yang wajib dipenuhi. Kapan salah satu dari rambu-rambu dan asas-asas tersebut tidak terpenuhi maka dakwah tersebut tidak lagi dikatakan dakwah yang benar dan tidak akan menghasilkan buah yang diharapkan, berapapun banyaknya harta yang disumbangkan dan waktu yang dinafkahkan.

Rambu-rambu dan asas-asas tersebut adalah seperti yang dijelaskan di dalam Al Kitab dan As-Sunnah sebagai berikut:

1. Ilmu. Seorang yang berdakwah ke jalan Allah Ta'ala harus memiliki ilmu terhadap apa yang dia dakwahkan. Maka orang jahil tidak layak berdakwah. Allah Ta'ala berfirman,

“Katakanlah, "Inilah jalanku (agamaku). Aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata”. (Qs. Yusuf: 108)

2. Beramal. Seorang da’i wajib mengamalkan ajaran yang dia serukan, agar ia menjadi teladan yang baik dan ucapannya selaras dengan perbuatannya sehingga orang-orang jahat tidak memiliki alasan untuk meninggalkan kebenaran yang ia bawa. Allah Ta'ala berfirman tentang nabi Syu’aib Alaihissalaam bahwa ia berkata kepada kaumnya,

“Dan aku tidak berkehendak mengerjakan apa yang aku larang kamu daripadanya. Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan. Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakkal dan hanya kepada-Nya-lah aku kembali”. (Qs. Huud: 88)

3. Ikhlas dalam berdakwah. Sehingga dakwah tersebut hanya karena Allah Ta'ala semata bukan karena riya’ atau sum’ah, bukan untuk mencari kedudukan, atau ingin dipandang dan bukan pula karena ingin mencari sedikit dari kesenangan dunia. Karena apabila dakwah disusupi oleh maksud-maksud tersebut, dakwahnya bukan karena Allah Ta'ala melainkan dakwah kepada kepentingan dirinya atau ketamakan yang ia turuti. Dan para nabi dan rasul Alaihimussalaam semuanya berkata kepada kaumnya,

“Dan (dia berkata):"Hai kaumku, aku tiada meminta harta benda kepada kamu (sebagai upah) bagi seruanku. Upahku hanyalah dari Allah..”. (Qs. Huud: 29)

4. Memulai dakwah dari yang paling penting kemudian yang penting. Yaitu mengawali dakwahnya kepada perbaikan akidah, mengajak manusia untuk beribadah hanya kepada Allah Ta'ala semata dan meninggalkan kesyirikan. Kemudian memerintahkan untuk menjaga shalat menunaikan zakat, mengerjakan yang wajib, meninggalkan yang haram, sebagaimana seperti inilah jalan para nabi dan rasul seluruhnya. Allah Ta'ala berfirman,

“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): "Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thagut itu (peribadahan kepada selainnya)”. (Qs. An-Nahl: 36)

5. Bersabar atas setiap yang ia hadapi di jalan dakwah berupa kesulitan dan gangguan manusia. Allah Ta'ala berfirman tentang nabi-Nya Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam,

“Dan sungguh telah diperolok-olokkan beberapa rasul sebelum kamu, maka turunlah kepada orang-orang yang mencemoohkan di antara mereka balasan ('azab) olok-olokkan mereka”. (Qs. Al An’am: 10)

6. Akhlak. Seorang dai wajib memiliki akhlak yang baik dan hikmah dalam berdakwah sehingga dakwahnya bisa lebih diterima. Allah Ta'ala berfirman tentang nabi-Nya Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam,

“Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik”. (Qs. An-Nahl: 125)

7. Seorang dai harus memiliki semangat dan harapan yang tinggi dan tidak putus asa dalam berdakwah dan menyampaikan hidayah kepada kaumnya walau ia harus melewati masa yang panjang. Dan sejarah dakwah Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam bahkan para nabi dan rasul sebelum beliau adalah sebaik-baik contoh bagi kita semua.

Wallahua’lam bis Shawaab

(Sumber : Manhajul Anbiya’ fid Dakwah ilallah, Penulis Asy-Syaikh Shalih Al Fauzan -Hafidzahullah- Link URL Ahlussunnah Jakarta)

Read More..

Sihir Melenyapkan Aqidah

Di dalam kitab-kitab aqidah, para ulama telah banyak membahas tentang bahaya sihir terhadap aqidah. Mereka menyebutkan, sihir bahkan bisa membatalkan keislaman seseorang sehingga menjadikan dia tidak beraqidah Islam lagi. Kalau hal ini sampai terjadi maka tidak ada lagi harapan bahagia bagi dirinya.

Allah menjelaskan di dalam firman-Nya:
“Dan tidak akan beruntung tukang sihir dari manapun dia datang.” (Thaha: 69)
Menurut Asy-Syinqithi dalam kitab Adhwa Al-Bayan (4/442), makna ayat ini adalah meniadakan seluruh jenis keberuntungan bagi tukang sihir, dan Allah menguatkan hal yang demikian itu dengan firman-Nya: “Dari manapun dia datang.”
Al-Imam Al-Qurthubi mengatakan dalam Tafsir-nya (4/444): “Tidak akan beruntung dan selamat darimana pun dia datang di muka bumi ini.”

Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di dalam Tafsir beliau (hal. 458) mengatakan: “Tipu daya mereka tidak mendatangkan hasil sedikitpun bagi mereka dan mereka tidak akan menang.”
Kalau demikian kedudukan tukang sihir, yang ditiadakan pada dirinya segala bentuk kebahagiaan dunia dan akhirat sekaligus diliputi ancaman dan murka Allah, maka jelas sihir ini memiliki kaitan dengan agama. Kerusakan agama seseorang bisa demikian parah akibat perbuatan sihir tersebut. Maka pantas bila Allah ? melarang dengan keras agar manusia tidak mengerjakan perbuatan sihir ini. Allah tidak akan melarang suatu perkara atau memurkainya melainkan hal tersebut akan membahayakan, baik bagi diri sendiri, agama maupun bagi orang lain.

Sihir dan Aqidah
Sedikit dari kaum muslimin yang mengetahui bahwa mengerjakan sihir hukumnya adalah haram, termasuk bagian dari perbuatan syirik. Karena persyaratan yang harus dipenuhi oleh seseorang yang akan mempelajari sihir merupakan perbuatan kufur dan syirik kepada Allah ?. Dan persyaratan-persyaratan itupun sayangnya tidak diketahui oleh kaum muslimin sebagai sesuatu yang haram dan sebagai wujud kesyirikan kepada Allah.
Asy-Syaikh Shalih Fauzan dalam kitab At-Tauhid (hal. 27) mengatakan: “Dinamakan sihir karena terjadi dengan perkara-perkara yang tersembunyi yang tidak bisa dijangkau oleh penglihatan. Sihir itu berbentuk jimat-jimat, jampi-jampi, mantra-mantra, obat-obat atau kepulan asap-asap. Sihir itu hakiki, di antara hakikatnya adalah pengaruhnya terhadap hati dan badan yang menyebabkan sakit, terbunuh, atau memisahkan antara seorang istri dan suaminya. Pengaruh ini terjadi dengan ketentuan Allah ?.

Sihir itu adalah perbuatan setan. Kebanyakan dari sihir tersebut tidak bisa dicapai oleh seseorang kecuali ia harus melakukan kesyirikan dan mendekatkan diri kepada ruh-ruh jahat yang persyaratannya adalah syirik kepada Allah. Oleh karena itu Allah ? menggandengkan sihir dengan kesyirikan sebagaimana sabda Rasulullah ?:

“Jauhilah tujuh penghancur! (Para shahabat) berkata: “Apakah itu wahai Rasulullah?” Rasulullah ? bersabda: “Syirik kepada Allah dan sihir...” (HR. Al-Bukhari, 5/294, Muslim no. 89 dari shahabat Abu Hurairah).

Sihir termasuk dalam kesyirikan dipandang dari dua sisi:
Pertama, sihir mempergunakan setan, menggantungkan diri kepadanya, mendekatkan diri dengan segala apa yang mereka inginkan dalam rangka berkhidmat kepada tukang sihir. Sihir termasuk pengajaran setan sebagaimana firman Allah :
“Akan tetapi setan-setan itu yang kafir yang mengajarkan manusia sihir.” (Al-Baqarah: 102)

Kedua, di dalam sihir terdapat pengakuan mengetahui perkara ghaib sebagai wujud serikat dengan Allah ?, dan ini termasuk dari kekufuran dan kesesatan. Allah ? berfirman:
“Dan sungguh mereka telah mengetahui bahwa bagi orang yang mempelajari (membeli) ilmu sihir tersebut maka dia tidak memiliki bagian di akhirat.” (Al-Baqarah: 102)
Jika demikian kedudukan sihir, sungguh tidak ada keraguan lagi bahwa sihir adalah perbuatan kekafiran dan kesyirikan yang akan membatalkan aqidah, dan wajib membunuh pelakunya sebagaimana para pembesar shahabat telah melakukannya.

Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab dalam kitab beliau Masail Al-Jahiliyyah bagian keduapuluh mengatakan: “(Salah satu dari keyakinan jahiliyyah) adalah meyakini bahwa keluarbiasaan yang terjadi melalui tangan tukang sihir dan sejenis mereka sebagai karamah orang-orang shalih, dan (termasuk keyakinan jahiliyyah juga) mengaitkan ilmu sihir itu dengan pengajaran para nabi sebagaimana mereka katakan tentang Nabi Sulaiman ?.”

Di dalam kitab At-Tauhid, beliau menulis sebuah bab berjudul Perkara-perkara yang Terkait dengan Sihir lalu mengatakan: “Allah ? berfirman:
“Dan sungguh mereka telah mengetahui bahwa bagi orang yang mempelajari (membeli) ilmu sihir tersebut maka dia di akhirat tidak memiliki bagian.” (Al-Baqarah: 102)
Dan Allah ? berfirman:
“Mereka beriman kepada Al-Jibti dan thagut.” (An-Nisa: 51)
‘Umar z berkata: “Al-Jibti adalah sihir dan thagut adalah setan.”
Jabir bin Abdullah berkata: “Thaghut adalah para dukun yang setan turun kepada mereka di suatu daerah.”

Kemudian dalam faidah yang diambil dari bab tersebut, Asy-Syaikh Muhammad bin Abdulwahhab mengatakan: “Faidah keenam: tukang sihir adalah kafir. Ketujuh: dia dibunuh tanpa dimintai taubat. Kedelapan: kalaulah di masa ‘Umar terjadi hal yang demikian maka apalagi setelahnya.”

Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di di dalam kitab Al-Qaul As-Sadid (hal. 93) mengatakan: “Sisi dimasukkannya sihir dalam bab tauhid adalah karena kebanyakan dari pembagian (macam-macam) sihir tidak akan bisa terjadi melainkan dengan kesyirikan, dengan perantara ruh-ruh setan kepada tujuan-tujuan tukang sihir tersebut. Maka tidak sempurna tauhid seseorang hamba sehingga dia meninggalkan sihir secara menyeluruh.”

Macam-macam Sihir
Kalau kita coba menggali bentuk-bentuk sihir atau lebih cocok dikatakan macam dan jenisnya maka jumlahnya terlalu banyak, terlebih kalau kita melihat prakteknya di masyarakat Islam. Ilmu sihir adalah ilmu yang sangat digandrungi dan dicari oleh banyak orang kecuali mereka yang dirahmati Allah.

Asy-Syinqithi dalam kitab Adhwa Al-Bayan (4/452) mengatakan: “Para ahli ilmu telah membagi jenis-jenis sihir, namun pembagian tersebut semuanya bermuara pada delapan macam (yang telah disebutkan oleh Fakhrurrazi dalam tafsirnya).” Di halaman lain (4/457), beliau mengatakan: “Ilmu-ilmu kejahatan itu banyak sekali, dan kita menyebutkan (macam-macam sihir) bertujuan untuk mengingatkan tentang jelek dan jahatnya (sihir) menurut pandangan syariat. Karena di antara jenisnya ada yang jelas-jelas kufur, dan di antaranya ada yang akan mengantar menuju kekufuran dan yang paling ringan hukumnya adalah haram (dengan keharaman) yang keras.”

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin t dalam kitab beliau Al-Qaul Al-Mufid mengatakan: “Macam-macam sihir secara global dibagi menjadi dua, di antaranya ada yang merupakan wujud kekufuran dan ada pula yang merupakan wujud kefasikan.”
1. Al-‘Iyafah
Al-‘Iyafah adalah seseorang mengurungkan niat untuk melakukan sesuatu karena ada perilaku tertentu dari burung. Atau seseorang merasa pesimis atau optimis disebabkan oleh (perilaku) burung. Aqidah orang Arab di masa jahiliyyah yang terkait dengan al-‘iyafah ini bermacam-macam: Pertama, membantu mereka untuk berburu yaitu dengan cara mengajari burung sehingga apabila diperintahkan untuk terbang, dia terbang. Hal ini tidak termasuk sihir. Kedua, menghalau seekor burung sehingga apabila terbang ke arah sebelah kiri maka dia pesimis (lalu tidak jadi melakukan pekerjaan itu –red) dan apabila terbang ke sebelah kanan maka dia optimis (sehingga dia lanjutkan niatnya untuk mengerjakan perbuatan itu –red). Dan bila sang burung terbang ke arah depan, Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin mengatakan: “Saya tidak mengetahui apakah dia berhenti atau mengulangi menghalau burung lagi.” Maka hal yang seperti ini termasuk dari bentuk sihir. Asy-Syaikh Abdurrahman bin Hasan dalam kitabnya Fathul Majid (hal. 346) mengatakan: “Al-’Iyafah adalah rasa pesimis dan optimis (yang muncul dalam diri seseorang –red) karena seekor burung, baik dengan nama burung tersebut, atau suaranya, atau arah terbangnya. Hal ini merupakan kebiasaan orang Arab, bahkan banyak (penyebutan tentang hal ini –red) di dalam syair-syair mereka.”
2. Ath-Tharqu
‘Auf menafsirkan ath-tharqu sebagai suatu garis yang dibuat di tanah. Abu As-Sa’adat mengatakan: “Menggaris dengan kerikil yang dilakukan oleh kaum wanita.” (An-Nihayah, 2/121). Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin mengatakan: “Garis yang dimaksud adalah sesuatu yang sudah masyhur di sisi orang Arab, yang digaris dengan kerikil untuk menyihir dan melakukan praktek perdukunan (atau ramalan -red), dan hal ini banyak dilakukan oleh kaum wanita.” Hal ini termasuk perbuatan sihir.
3. Ash-Sharf dan Al-‘Athaf
Ash-Sharf yaitu sihir yang dipergunakan untuk memisahkan antara dua orang yang saling mencintai supaya salah satu dari keduanya atau kedua-duanya menjadi benci kepada yang lain (lihat Majmu’ Fatawa Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, hal. 156). Di Indonesia sihir jenis ini terkenal dengan istilah ilmu pelet. Hal ini adalah perbuatan haram dan syirik kepada Allah ?.
Al-‘Athaf adalah jenis sihir untuk menjadikan seseorang cinta kepada yang lain, yang sering terjadi antara suami istri. Hukumnya sama dengan ash-sharfu.
Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab memasukkan sihir sebagai salah satu pembatal keislaman. Dan masih banyak lagi jenis-jenis sihir yang sekarang berkembang di tengah-tengah kaum muslim baik di negeri Arab atau selainnya, seperti memakan api, masuk ke dalam api, ilmu kebal, jimat-jimat, memakan beling, menggambarkan sesuatu yang bukan aslinya dan selainnya.

(Lihat pembahasan macam-macam sihir dalam Adhwa Al-Bayan, 4/444-455, Tath-hir Al-I’tiqad karya Al-Imam Ash-Shan’ani, Fathul Majid hal. 345 dan seterusnya, Al-Qaul Al-Mufid karya Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, 2/36-57, Al-Qaul Al-Mufid karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab Al-Wushshabi, hal. 137-148, dan Al-Qaul As-Sadid, hal. 93-95 .Penulis Al Ustadz Abu Usamah bin Rawiy Link URL Ahlussunnah Jakarta)
Read More..