Ibadah Haji Perwujudan Tauhid dan Ukhuwwah

Al-‘Allamah Samahatusy Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz rahimahullah Segala puji khusus bagi Allah yang telah menjadikan Ka’bah sebagai tempat berkumpul bagi umat manusia dan tempat yang aman, serta menjadikannya penuh barakah dan sebagai hidayah bagi alam semesta. Allah memerintahkan hamba dan rasul-Nya sekaligus khalil-Nya Ibrahim imamnya para hunafa’ (ahlut tauhid), ayah para nabi setelahnya, untuk mengarahkan dan mengumumkan kepada manusia dengan ibadah haji, setelah beliau menyiapkan Ka’bah tersebut agar manusia mendatanginya dari segenap penjuru dan lembah, sehingga mereka bisa menyaksikan berbagai manfaat untuk mereka, dan mengingat Allah pada hari-hari yang telah ditentukan. [1]Aku bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi kecuali Allah satu-satu-Nya tidak ada sekutu bagi-Nya. Dia adalah ilahnya orang-orang terdahulu maupun kemudian. Dzat yang telah mengutus para rasul-Nya, menurunkan kitab-kitab-Nya dalam rangka menegakkan hujjah dan menjelaskan bahwa Allah Dialah Dzat Yang Maha Tunggal dan Esa, Yang berhak untuk diibadahi, yang berhak untuk para hamba bersatu dalam ketaatan kepada-Nya, mengikuti syari’at-Nya, dan meninggalkan segala yang bertentangan dengan syari’at-Nya. Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, sekaligus sebagai khalil-Nya yang Allah utus sebagai rahmat bagi alam semesta dan hujjah atas segenap hamba-Nya. Allah mengutusnya dengan membawa hidayah dan agama yang benar, agar Allah menangkan atas segenap agama. Allah perintahkan untuk menyampaikan kepada umat manusia cara-cara manasik, maka beliau pun melaksanakan perintah tersebut baik dalam bentuk ucapan maupun amalan/praktek langsung. Semoga shalat dan salam tercurahkan kepada beliau dari Rabbnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melaksankana haji, yaitu pada haji wada’, yang di situ beliau menyampaikan cara-cara manasik kepada umat manusia, secara ucapan maupun amalan/praktek langsung. Beliau bersabda kepada umat manusia : Ambillah dariku cara manasik haji kalian. bisa jadi aku tidak bertemu kalian lagi setelah tahun ini. HR. An-Nasa`i 3062 Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan kepada umat manusia segala yang diamalkan dan diucapkan dalam ibadah haji, serta seluruh manasik haji, dengan sabda dan perbuatan-perbuatan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sungguh beliau telah menyampaikan risalah, menunaikan amanah, dan berjihad di jalan Allah dengan sebenar-benar jihad sampai ajal menjemput beliau. Kemudian para khalifah ar-rasyidin dan para shahabat beliau radhiyallahu ‘anhum berjalan di atas manhaj (metode dan jalan) beliau yang lurus, dan menjelaskan kepada umat manusia risalah yang agung ini dengan ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan, serta mereka menukilkan segala sabda dan perbuatan-perbuatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada umat manusia dengan penuh amanah dan kejujuran. Radhiyallahu ‘anhum. Di antara tujuan terbesar dari ibadah haji adalah menyatukan barisan kaum muslimin di atas al-haq dan membimbingnya mereka kepada al-haq, agar mereka istiqamah di atas agama Allah, beribadah hanya kepada Allah satu-satu-Nya, dan tunduk patuh terhadap syari’at-Nya. Wahai saudara-saudaraku di jalan Allah Sesungguhnya Allah Jalla wa ‘Ala telah mensyari’atkan ibadah haji kepada hamba-hamba-Nya, dan menjadikannya sebagai rukun Islam yang kelima, karena adanya hikmah yang banyak dan rahasia yang agung, di samping manfaat yang tak terhitung. Allah Jalla wa ‘Ala telah menunjukkan hal itu dalam kitab-Nya yang agung ketika Allah Jalla wa ‘Ala berfirman : قُلْ صَدَقَ اللَّهُ ۗ فَاتَّبِعُوا مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَàÜ إِنَّ أَوَّلَ بَيْتٍ وُضِعَ لِلنَّاسِ لَلَّذِي بِبَكَّةَ مُبَارَكًا وَهُدًى لِّلْعَالَمِينَ فِيهِ آيَاتٌ بَيِّنَاتٌ مَّقَامُ إِبْرَاهِيمَ ۖ وَمَن دَخَلَهُ كَانَ آمِنًا ۗ وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا ۚ وَمَن كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ Katakanlah: “Benarlah (apa yang difirmankan) Allah”. Maka ikutilah agama Ibrahim yang lurus, dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang musyrik. Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadah) manusia, adalah Baitullah yang di Bakkah (Makah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia. Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim; Barangsiapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia; mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup melakukan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam. (Ali ‘Imran : 95-97) Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan bahwa Baitullah (Ka’bah) adalah rumah pertama yang dibangun untuk umat manusia, yakni di muka bumi, untuk ibadah dan bertaqarrub kepada Allah dengan amalan-amalan yang diridhai-Nya. Sebagaimana telah sah dalam Ash-Shahihain dalam hadits yang diriwayatkan dari shahabat Abu Dzarr radhiyallahu ‘anhu dia berkata : “Aku bertanya, wahai Rasulullah, beritakan kepadaku tentang masjid pertama yang dibangun di muka bumi.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab : “Al-Masjidil Haram.” Aku bertanya lagi, “Kemudian masjid mana lagi?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Al-Masjidil Aqsha.” Aku lalu bertanya lagi, “Berapa lama jarak antara keduanya?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “40 tahun,” Aku bertanya, “Kemudian mana lagi?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Kemudian di mana pun waktu shalat tiba, maka shalatlah di situ, karena itu adalah masjid.” (HR. Al-Bukhari 3186, Muslim 520) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa rumah pertama yang dibangun untuk umat manusia adalah Al-Masjidil Haram, yaitu rumah yang dibangun untuk ibadah dan bertaqarrub kepada Allah, sebagaimana dijelaskan oleh para ‘ulama. Sebelumnya sudah ada rumah-rumah untuk dihuni/tempat tinggal, namun yang dimaksud di sini adalah rumah pertama yang dibangun untuk ibadah, ketaatan, dan taqarrub kepada Allah ‘Azza wa Jalla dengan ucapan dan amalan yang diridhai-Nya. Kemudian setelah itu adalah Al-Masjidil Aqsha yang dibangun oleh cucu Nabi Ibrahim, yaitu Nabi Ya’qub bin Ishaq bin Ibrahim ‘alaihimush shalatu was salam. Kemudian diperbarui lagi pada akhir zaman setelah itu dengan jarak/jeda waktu yang sangat lama oleh Nabi Sulaiman ‘alaihish shalatu was salam. Lalu setelah itu seluruh permukaan bumi adalah masjid. Kemudian datanglah Masjid Nabawi, yang itu merupakan masjid ketiga pada akhir zaman yang dibangun oleh Nabi akhir zaman, yaitu Nabi Muhammad ‘alaihish shalatu was salam. Beliau membangunnya setelah berhijrah ke Madinah, beliau membangunnya bersama-sama para shahabatnya radhiyallahu ‘anhum. Beliau memberitakan bahwa Masjid Nabawi tersebut merupakan masjid paling utama (afdhal) setelah Al-Masjidil Haram. Jadi masjid yang paling utama ada tiga. Yang terbesar dan paling utama adalah Al-Masjidil Haram, kemudian Masjid Nabawi, dan Al-Masjidil Aqsha. Shalat di ketiga masjid tersebut dilipatgandakan pahalanya. Terdapat dalam hadits yang shahih : Shalat di Al-Masjidil Haram sama dengan 100.000 (seratus ribu) kali shalat. (HR. Ibnu Majah 1413) Tentang Masjid Nabawi : Shalat di masjidku lebih baik daripada 1000 (seribu) kali shalat di selainnya, kecuali di al-masjidil haram.. HR. Al-Bukhari 1133, Muslim 1394 Dan tentang Al-Masjidil Aqsha : Sebanding dengan 500 kali shalat. Jadi tiga masjid tersebut merupakan masjid yang agung dan utama, itu merupakan masjidnya para nabi ‘alahimush shalatu was salam. Allah Jalla wa ‘Ala mensyari’atkan ibadah haji kepada hamba-hamba-Nya karena padanya terdapat kemashlahatan yang sangat besar. Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitakan bahwa haji itu wajib atas para hamba yang mukallaf dan mampu menempuh perjalanan kepadanya. Sebagaimana telah ditunjukkan oleh Al-Qur`an dalam firman Allah ‘Azza wa Jalla : وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا ۚ Atas manusia terdapat kewajiban haji untuk Allah semata, barangsiapa yang mampu menempuh perjalanan ke Baitullah. (Al-‘Imran : 97) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah di hadapan umat manusia : Wahai umat manusia, sesungguhnya Allah telah menuliskan kewajiban haji atas kalian. maka berhajilah kalian! Ada yang bertanya, “Wahai Rasulullah apakah setiap tahun (kewajiban tersebut)?” Nabi menjawab, “(Kewajiban) haji sekali saja. Barangsiapa yang menambah (berhaji lagi) maka itu sunnah.” (HR. Muslim 1337) Jadi kewajiban haji hanya sekali seumur hidup. Adapun selebihnya maka itu sunnah. Kewajiban ini berlaku kepada kaum pria maupun kaum wanita, yang mukallaf dan mampu melakukan perjalanan ke Baitullah. Adapun setelah itu, maka itu merupakan ibadah sunnah dan taqarrub yang agung. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam : ‘Umrah ke ‘umrah berikut merupakan penebus dosa (yang terjadi) antara keduanya. Dan haji mabrur tidak ada balasan baginya kecuali al-jannah. (HR. Al-Bukhari 1683, Muslim 1349) Keutamaan ini berlaku pada ‘umrah dan haji yang wajib maupun yang sunnah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda : Barangsiapa yang mendatangi Baitullah ini, tidak berbuat rafats dan fasiq, ia akan kembali (ke negerinya) seperti hari ia dilahirkan oleh ibunya. (HR. Muslim 1350) Dalam riwayat lain dengan lafazh : Barangsiapa yang berhaji ke Baitullah ini, tidak tidak berbuat rafats dan fasiq, ia akan kembali (ke negerinya) seperti hari ia dilahirkan oleh ibunya. (HR. Al-Bukhari 1324) Hadits ini menujukkan atas keutamaan yang besar bagi ibadah haji dan ‘umrah, bahwa ‘umrah ke ‘umrah berikutnya merupakan penebus dosa (yang terjadi) antara keduanya. Dan haji mabrur tidak ada balasan baginya kecuali al-jannah. Maka sangat ditekankan bagi orang-orang yang beriman, untuk bersegera melaksanakan haji ke Baitullah, dan segera menunaian kewajiban besar ini di manapun mereka berada apabila telah mampu menempuh perjalanan menuju Baitullah. Adapun pelaksanaan haji setelahnya, maka itu adalah ibadah sunnah, bukan ibadah wajib. Namun tetap padanya terdapat keutamaan yang sangat besar, sebagaimana dalam hadits shahih : Ada shahabat yang bertanya, “Wahai Rasulullah amalan apakah yang paling utama?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab : “Beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.” Kemudian bertanya lagi, “Kemudian amalan apa lagi?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Berjihad di jalan Allah.” Kemudian bertanya lagi, “Lalu apa lagi?” Beliau menjawab, “Haji mabrur.” (HR. Al-Bukhari 26, Muslim 83) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melaksanakan haji wada’, beliau mensyari’atkan untuk umat manusia cara-cara manasik haji dengan sabda dan perbuatan beliau. Dalam haji wada’ tersebut, beliau berkhuthbah pada hari ‘Arafah dengan khuthbah yang agung, di dalamnya beliau mengingatkan umat manusia terhadap hak-hak Allah dan tauhid kepada-Nya, beliau memberitakan kepada umat bahwa perkara-perkara jahiliyyah telah dimusnahkan, riba telah dibasmi, demikian juga darah-darah jahiliyyah sudah dihilangkan. Dalam kesempatan tersebut beliau juga mewasiatkan kepada umat dengan Al-Qur`an dan As-Sunnah serta untuk berpegang teguh dengan keduanya, mereka tidak akan tersesat selama mereka mau berpegang teguh terhadap keduanya. Beliau juga menjelaskan hak-hak suami terhadap istri dan hak-hak istri terhadap suami, serta beliau menjelaskan berbagai masalah yang sangat banyak, ‘alahi afdhalush shalatu was salam. Kemudian beliau bersabda : Kalian bertanya tentang aku, apa yang kalian katakan? Para shahabat bekata : “Kami bersaksi bahwa engkau telah menyampaikan, melaksanakan, dan berbuat terbaik.” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat jarinya ke arah langit kemudian mengarahkannya ke bumi seraya beliau berkata, “Ya Allah saksikanlah, Ya Allah saksikanlah.” (HR. Muslim 1218) Tidak diragukan bahwa beliau telah menyampaikan risalah dan menunaikan amanah dengan sebaik-baiknya dan sesempurna-sempurnanya. Kita mempersaksikan demikian terhadap beliau, sebagaimana para shahabat beliau telah mempersaksikannya. Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan cara-cara manasik haji dengan sabda-sabda dan perbuatan-perbuatan beliau. Beliau keluar (berangkat) dari Madinah pada akhir bulan Dzulqa’dah tahun ke-10, beliau berihram haji qiran (yaitu memadukan antara haji dan ‘umrah secara bersamaan) dari Dzulhulaifah, dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyiapkan hewan sembelihannya. Beliau tiba di Makkah pada waktu Shubuh hari ke-4 bulan Dzulhijjah. Beliau terus mengucapkan talbiyah semenjak dari miqat Dzulhilaifah setelah beliau berihram, dengan mengucapkan kalimat talbiyah yang terkenal : Aku penuhi panggilan-Mu Ya Allah, Aku penuhi panggilan-Mu. Tidak ada sekutu bagi-Mu, aku penuhi panggilan-Mu. Sesungguhnya segala pujian dan kenikmatan adalah milik-Mu demikian juga kerajaan. Tidak ada sekutu bagi-Mu. Yaitu setelah beliau bertalbiyah dengan haji dan ‘umrah sekaligus. Dan di Dzulhulaifah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan pilihan kepada para shahabatnya dengan tiga jenis manasik haji, (yakni haji qiran, ifrad, atau tamattu’). Di antara mereka ada yang bertalbiyah untuk ‘umrah saja (yakni haji tamattu’), di antara mereka ada yang bertalbiyah untuk ‘umrah dan haji sekaligus (qiran). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengeraskan bacaan talbiyahnya, demikian juga para shahabatnya radhiyallahu ‘anhum. Beliau terus mengumandangkan talbiyyah hingga tiba di Baitullah Al-‘Atiq (yakni Ka’bah). Beliau menjelaskan kepada umat dzikir-dzikir dan do’a-do’a yang diucapkan dalam thawaf dan sa’i mereka, demikian juga ketika di ‘Arafah, Muzdalifah, dan ketika di Mina. Allah Jalla wa ‘Ala telah menjelaskan hal itu dalam Kitab-Nya yang agung ketika Allah Jalla wa ‘Ala berfirman : لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَن تَبْتَغُوا فَضْلًا مِّن رَّبِّكُمْ ۚ فَإِذَا أَفَضْتُم مِّنْ عَرَفَاتٍ فَاذْكُرُوا اللَّهَ عِندَ الْمَشْعَرِ الْحَرَامِ ۖ وَاذْكُرُوهُ كَمَا هَدَاكُمْ وَإِن كُنتُم مِّن قَبْلِهِ لَمِنَ الضَّالِّينَ ثُمَّ أَفِيضُوا مِنْ حَيْثُ أَفَاضَ النَّاسُ وَاسْتَغْفِرُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ فَإِذَا قَضَيْتُم مَّنَاسِكَكُمْ فَاذْكُرُوا اللَّهَ كَذِكْرِكُمْ آبَاءَكُمْ أَوْ أَشَدَّ ذِكْرًا ۗ فَمِنَ النَّاسِ مَن يَقُولُ رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا وَمَا لَهُ فِي الْآخِرَةِ مِنْ خَلَاقٍ وَمِنْهُم مَّن يَقُولُ رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ أُولَٰئِكَ لَهُمْ نَصِيبٌ مِّمَّا كَسَبُوا ۚ وَاللَّهُ سَرِيعُ الْحِسَابِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ فِي أَيَّامٍ مَّعْدُودَاتٍ ۚ فَمَن تَعَجَّلَ فِي يَوْمَيْنِ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ وَمَن تَأَخَّرَ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ ۚ لِمَنِ اتَّقَىٰ ۗ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّكُمْ إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ Tidak ada dosa bagi kalian untuk mencari karunia (rezki hasil perniagaan) dari Rabb kalian. Maka apabila kalian telah bertolak dari ‘Arafat, berdzikirlah kepada Allah di Masy’aril Haram (yakni Muzdalifah). Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah sebagaimana yang ditunjukkan-Nya kepada kaliam; dan sesungguhnya kalian sebelum itu benar-benar termasuk orang-orang yang sesat. Kemudian bertolaklah kalian dari tempat bertolaknya orang-orang banyak (’Arafah) [2] dan mohonlah ampun kepada Allah; aesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Apabila kalian telah menyelesaikan ibadah haji kalian, maka berdzikirlah dengan menyebut Allah, sebagaimana kalian menyebut-nyebut (membangga-banggakan) nenek moyangmu, atau (bahkan) berdzikirlah lebih banyak/lebih kuat dari itu. Maka di antara manusia ada orang yang berdoa: “Ya Rabb kami, berilah kami (kebaikan) di dunia”, dan tiadalah bagi mereka bagian (yang menyenangkan) di akhirat. Dan di antara mereka ada orang yang bendoa: “Ya Rabb kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan jagalah kami dari siksa neraka”. Mereka itulah orang-orang yang mendapat bagian dari yang mereka usahakan; dan Allah sangat cepat perhitungan-Nya. Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah dalam beberapa hari yang tertentu (yaitu pada hari-hari Tasyriq : 11,12,13 Dzulhijjah). Barangsiapa yang ingin cepat berangkat (dari Mina) sesudah dua hari, maka tiada dosa baginya. dan barangsiapa yang ingin menangguhkan (keberangkatannya dari dua hari itu), maka tidak ada dosa pula baginya, bagi orang yang bertaqwa. dan bertaqwalah kepada Allah, dan ketahuilah, bahwa kalian akan dikumpulkan kepada-Nya. (Al-Baqarah : 198-203) Dzikir termasuk manfaat-manfaat haji yang tersebut dalam firman Allah Ta’ala : Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan. Penyebutan dzikir setelah penyebutan “berbagai manfaat” merupakan penyebutan sesuatu yang khusus setelah penyebutan sesuatu yang umum. Diriwayatkan dari Nabi ‘alahish shalatu was salam : Hanyalah dijadikan thawaf di Ka’bah, sa’i antara Shafa dan Marwah, dan melempar jumrah adalah untuk menegakkan dzikrullah. (HR. At-Tirmidzi 902, Abu Dawud 1888, dan Ahmad VI/64) Nabi mensyari’atkan untuk umat manusia dzikrullah ketika menyembelih sebagaimana tersebut dalam Kitabullah, beliau juga mensyari’atkan untuk umat manusia dzikrullah ketika melempar jumrah. Seluruh praktek manasik adalah bentuk dzikrullah, baik dalam bentuk ucapan maupun perbuatan. Ibadah haji dengan segala praktek dan bacaan-bacaannya semuanya adalah dzikir kepada Allah, semuanya adalah ajakan kepada tauhid, istiqamah di atas agama-Nya, dan kokoh di atas jalan yang dibawa oleh Rasul-Nya Muhammad ‘alahish shalatu was salam. Maka tujuan terbesar dari ibadah haji adalah membimbing umat manusia agar bertauhid kepada Allah, dan ikhlash kepada-Nya, serta berittiba (mengikuti) Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam risalah yang beliau bawa berupa kebenaran dan hidayah dalam ibadah haji dan lainnya. Talbiyah ucapan pertama yang dikumandang oleh seorang yang berhaji dan ber’umrah, yaitu ucapan : Labbaik Allahumma labbaik. Labbaik la syarika laka labbaik (Aku penuhi panggilan-Mu ya Allah, aku penuhi panggilan-Mu. Aku penuhi panggilan-Mu tidak ada sekutu bagi-Mu, aku penuhi panggilan-Mu). (dengan kalimat tersebut) seorang yang berhaji/ber’umrah telah mengumumkan tauhidnya terhadap Allah, keikhlasannya karena Allah, dan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak ada sekutu bagi-Nya. Demikian juga dalam thawaf yang ia lakukan, adalah untuk dzikir kepada Allah, mengagungkan-Nya, dan beribadah hanya kepada-Nya dengan berthawaf. Kemudian sa’i, dia beribadah kepada-Nya dengan sa’i, hanya kepada-Nya tanpa selain-Nya. Demikian juga beribadah kepada Allah dengan mencukur rambut atau memendekkannya, demikian juga dengan menyembelih hewan qurban, demikian dengan bacaan-bacaan dzikir yang ia baca di ‘Arafah, di Muzdalifah, dan di Mina semuanya adalah dzikir kepada Allah, tauhid terhadap-Nya, ajakan kepada al-Haq, dan bimbingan bagi para hamba, bahwa wajib atas mereka untuk beribadah hanya Allah semata, bersatu dan saling menolong dalam mewujudkannya, dan wajib bagi mereka untuk saling berwasiat dengan hal tersebut, sedangkan mereka datang dari berbagai berbagai penjuru supaya mereka bisa menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka. Manfaat-manfaat tersebut sangat banyak, Allah sebutkan pada satu ayat secara global dan Allah rinci pada tempat-tempat lainnya. Di antaranya Thawaf. Itu merupakan ibadah yang besar dan di antara sebab terbesar untuk terhapusnya dosa-dosanya dan dihilangkannya kesalahan-kesalahan. Demikian juga Sa’i, dan rangkaian ibadah yang ada pada keduanya (thawaf dan sa’i) berupa dzikir dan do’a kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Demikian juga dzikir dan do’a yang ada di ‘Arafah dan Muzdalifah. Demikian juga pada menyembelih kurban terdapat dzikir, takbir, dan pengagungan terhadap Allah. Demikian juga takbir dan pengagungan terhadap Allah yang diucapkan ketika melempar jumrah. Dan semua amalan haji mengingatkan kepada Allah satu-satu-Nya dan mengajak kaum muslimin semuanya agar mereka menjadi jasad yang satu, bangunan yang satu dalam mengikuti kebenaran, teguh di atasnya, berdakwah kepadanya, dan ikhlash karena Allah dalam seluruh ucapan dan perbuatan. Mereka saling bertemu di bumi penuh barakah ini menginginkan taqarrub dan beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, meminta ampunan-Nya dan memohon agar dibebaskan dari api neraka. Tidak diragukan, bahwa hal ini di antara yang bisa menyatukan hati dan mengumpulkannya di atas ketaatan kepada Allah, ikhlash kepadanya, mengikuti syari’at-Nya, dan mengagungkan perintah dan larangan-Nya. Oleh karena itu Allah ‘Azza wa Jalla berfirman : Sesungguhnya rumah pertama yang dibangun untuk (tempat beribadah) manusia, ialah Baitullah yang ada di Bakkah (Makah) yang dibarakahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia. Allah Subhanahu wa Ta’ala memberitakan bahwa Ka’bah ini Mubarak (dibarakahi), yaitu dengan apa yang didapat oleh para peziarah dan para haji yang datang kepadanya berupa kebaikan yang sangat besar dari thawaf dan sa’i serta seluruh amalan haji dan ‘umrah yang Allah syari’atkan. Baitullah tersebut Mubarak, di sisinya dihapuskanlah kesalahan-kesalahan, dilipatgandakan kebaikan, dan diangkat derajat. Allah mengangkat derajat para peziarahnya yang ikhlash dan jujur, Allah ampuni dosa-dosa mereka serta Allah masukkan mereka ke Jannah sebagai bentuk keutamaan dari Allah dan kebaikan dari-Nya, apabila mereka ikhlash karena-Nya, istiqamah di atas perintah-Nya, meninggalkan perbuatan rafats dan fasiq. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam : Barangsiapa berhaji, tidak berbuat rafats dan fasiq, maka ia kembali seperti hari ia dilahirkan oleh ibunya. ­ar-rafats adalah melakukan jima’ (bersenggama) dengan istri dan segala hal yang bisa mengantarkan kepadanya baik ucapan maupun perbuatan, sebelum tahallul (selesai berihram/berhaji). Adapun perbuatan fasiq adalah segala bentuk kemaksiatan baik ucapan maupun perbuatan, wajib atas seorang yang berhaji untuk meninggalkan dan menjauhinya. Demikian juga jidal (berdebat/cekcok) wajib ditinggalkan kecuali dalam kebaikan. Sebagaimana firman Allah Jalla wa ‘Ala : الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَّعْلُومَاتٌ ۚ فَمَن فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوقَ وَلَا جِدَالَ فِي الْحَجِّ ۗ (Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi [3], barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji.(Al-Baqarah : 197) Ibadah haji semuanya adalah ajakan untuk mentaati Allah dan Rasul-Nya, ajakan untuk mengagungkan dan mengingat Allah, ajakan untuk meninggalkan kemaksiatan dan kefasikan, ajakan untuk meninggalkan jidal (bantah-bantahan/cekcok) yang menyebabkan kekerasan hati dan permusuhan serta perpecahan antara kaum muslimin. Adapun jidal (berdebat) dengan cara yang lebih baik maka itu diperintahkan dalam semua kondisi dan tempat, sebagaimana firman Allah Ta’ala : ادْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ ۖ وَجَادِلْهُم بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ Berdakwahlah ke jalan Rabbmu dengan hikmah, nasehat yang baik, dan berjidal dengan cara yang lebih baik. (An-Nahl : 128) Ini merupakan cara berdakwah di segala waktu dan tempat, baik di Ka’bah maupun selainnya. Berdakwah kepada saudara-saudaranya dengan hikmah, yaitu ilmu, (katakan) bahwa “Allah telah berfirman demikan, Rasulullah telah bersabda demikian.” Juga berdakwah dengan mau’izhah hasanah (nasehat yang baik), bagus dan lembut tidak adanya pada sikap kaku dan kezhaliman. Demikian juga berdebat dengan cara lebih baik jika diperlukan untuk menghilangkan syubhat dan menjelaskan kebenaran. Lakukan debat dengan cara yang lebih baik, dengan kata-kata dan cara yang bagus dan bermanfaat yang bisa menjawab syubhat dan membimbing kepada kebenaran, tanpa sikap kasar dan keras. Maka para jama’ah haji sangat butuh kepada dakwah dan arahan kepada kebaikan dan bantuan kepada kebenaran. Apabila mereka bertemu dengan segenap saudaranya dari berbagai penjuru dunia kemudian mereka saling mengingatkan tentang kewajiban Allah atas mereka maka itu merupakan sebab terbesar untuk menyatukan barisan mereka dan istiqamah di atas agama Allah, sekaligus sebab terbesar untuk mereka saling mengenal dan saling bekerja sama dalam kebaikan dan ketaqwaan. Jadi ibadah haji padanya terdapat banyak manfaat yang besar, kebaikan yang sangat banyak; padanya terdapat dakwah menuju jalan Allah, taklim (pengajaran ilmu), bimbingan, saling mengenal dan saling bekerja sama dalam kebaikan dan ketaqwaan, baik dengan ucapan maupun perbuatan, dengan maknawi maupun materi. Demikianlah disyari’atkan kepada segenap jama’ah haji dan ‘umrah agar mereka saling bekerjasama dalam kebaikan dan ketaqwaan, saling menasehati dan bersemangat dalam ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya, bersungguh-sungguh dalam mengerjakan amalan yang bisa mendekatkan diri kepada Allah, dan menjauhi segala yang Allah haramkan. Kewajiban terbesar yang Allah tetapkan adalah mentauhidkan-Nya dan memurnikan ibadah hanya untuk-Nya, di semua tempat dan semua waktu, termasuk ditempat agung nan penuh barakah ini. Sesungguhnya termasuk kewajiban terbesar adalah memurnikan peribadahan untuk Allah semata di semua tempat dan di semua waktu, maka di tempat ini (di Makkah) kewajiban tersebut lebih besar dan lebih wajib lagi. Maka wajib memurnikan (ibadah) hanya untuk Allah semata dalam ucapan maupun perbuatan, baik berupa thawaf, sa’i, do’a, dan yang lainnya. Demikian juga amalan-amalan lainnya, semuanya harus murni untuk Allah Jalla wa ‘Ala semata dan harus menjauhi segala kemaksiatan kepada Allah ‘Azza wa Jalla, menjauhi perbuatan menzhalimi dan mengganggu hamba baik dengan ucapan maupun penbuatan. Seorang mukmin itu sangat bersemangat untuk memberikan manfaat terhadap saudara-saudaranya, berbuat baik kepada mereka, dan mengarahkan mereka kepada kebaikan, serta menjelaskan hal-hal yang belum mereka ketahui dari perintah dan syari’at Allah, dengan waspada dari mengganggu mereka, menzhalimi mereka baik terkait darah/nyawa, harta, maupun kehormatan mereka. Seorang muslim adalah saudara bagi muslim lainnya, dia tidak menzhaliminya, tidak menghinakannya, dan tidak menyia-nyiakannya, sebaliknya ia mencintai untuk saudaranya segala kebaikan dan membenci kejelekan untuk saudaranya, di mana pun berada, terlebih lagi di Baitullah, di tanah haram, dan di negeri Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sesungguhnya Allah telah menjadikan tanah haram ini sebagai tempat yang aman, Allah jadikan aman dari segala hal yang ditakuti oleh manusia. Maka seorang muslim harus benar-benar perhatian, agar dirinya menjadi orang yang terpercaya terhadap saudaranya, menasehati, dan mengarahkannya. Tidak malah menipunya, atau mengkhianati dan mengganggunya, baik dengan ucapan maupun perbuatan. Allah telah menjadikan tanah haram ini sebagai tempat yang aman, sebagaimana firman-Nya : Ingatlah ketika Kami menjadikan Ka’bah ini sebagai tempat berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman. Allah Jalla wa ‘Ala juga berfirman : ۚ أَوَلَمْ نُمَكِّن لَّهُمْ حَرَمًا آمِنًا يُجْبَىٰ إِلَيْهِ ثَمَرَاتُ كُلِّ شَيْءٍ رِّزْقًا مِّن لَّدُنَّا وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَهُمْ لَا يَعْلَمُونَ Bukankah Kami tidak meneguhkan kedudukan mereka dalam Tanah Haram (tanah suci) yang aman, yang didatangkan ke tempat itu buah-buahan dari segala macam (tumbuh- tumbuhan) untuk menjadi rezki (bagimu) dari sisi Kami? (Al-Qashash : 57) Maka seorang mukmin harus benar-benar bersemangat untuk mewujudkan keamanan tersebut. Hendaknya dirinya berupaya serius untuk memberikan kebaikan kepada saudaranya, membimbing mereka kepada sesuatu yang bermanfaat, membantu mereka dalam urusan dunia maupun urusan agama, kepada segala yang membuat hatinya lapang, dan membantunya untuk menunaikan manasik. Sebagaimana ia juga berupaya serius untuk menjauhi dari berbagai maksiat yang Allah haramkan. Di antara kemaksiatan tersebut adalah mengganggu manusia yang lain. Sesungguhnya itu di antara perbuatan haram yang terbesar. Apabila gangguan tersebut dilakukan terhadap para jama’ah dan ‘umrah Baitullah Al-Haram, maka menjadi kezhaliman yang lebih besar lagi dosanya, lebih keras hukumannya, dan lebih parah akibatnya. Haji dan ‘Umrah merupakan dua ibadah besar, termasuk ibadah yang terbesar, yang terdapat di belakangnya pahala yang sangat besar, manfaat yang sangat banyak, hasil-hasil yang baik, untuk segenap kaum muslimin di segala penjuru dunia. Shalat lima waktu, para hamba di masing-masing negeri berkumpul padanya, saling mengenal, saling menasehati, dan saling bekerja sama dalam kebaikan dan ketaqwaan. Namun pada ibadah haji, berkumpul padanya seluruh kaum muslimin di alam ini dari segala tempat. Apabila pada ibadah shalat lima waktu terdapat kebaikan yang besar padanya karena berkumpulnya kaum muslimin padanya sehari lima kali, maka demikian pula pada ibadah haji kaum muslimin berkumpul setiap tahun, padanya kebaikan yang besar, bahkan dalam ibadah haji kebaikan tersebut lebih besar lagi, yaitu dari sisi adanya ajakan terhadap umat kepada kebaikan karena mereka datang dari segenap penjuru. Bisa jadi engkau tidak bertemu lagi dengan saudaramu yang engkau jumpai sekarang. Demikian juga kaum wanita, hendaknya mereka juga bersemangat untuk mencurahkan upayanya dalam membimbing saudara-saudaranya di jalan Allah kepada amalan yang telah Allah ajarkan. Maka seorang pria, hendaknya ia membimbing saudara-saudara maupun saudari-saudarinya di jalan Allah dari kalangan para jama’ah haji Baitullah Al-Haram dan para peziarah Masjid Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Demikian juga seorang wanita membimbing saudara-saudara maupan saudari-saudarinya di jalan Allah hal-hal yang ia ketahui terkait ibadah haji dan ‘umrah. Demikianlah semestinya ibadah haji, dan demikianlah semestinya ibadah ‘umrah. Pada keduanya terdapat kerja sama, saling berwasiat dengan al-haq, saling menasehati, dan bimbingan kepada kebaikan, mencurahkan kebaikan dan tidak mengganggu di mana para jama’ah haji dan ‘umrah tersebut berada, baik di dalam Masjidil Haram maupun di luarnya, baik ketika thawaf, sa’i, melempar jumrah, maupun lainnya. Masing-masing bersemangat untuk memberikan manfaat kepada saudaranya dan mencegah timbulnya gangguan di segenap penjuru negeri yang mulia tersebut dan di semua masya’iril haj. Mengharap pahala dari Allah, takut dari akibat jelek kezhaliman dan gangguan terhadap saudara-saudaranya sesama muslim. Ini semua masuk dalam firman Allah Ta’ala : إِنَّ أَوَّلَ بَيْتٍ وُضِعَ لِلنَّاسِ لَلَّذِي بِبَكَّةَ مُبَارَكًا وَهُدًى لِّلْعَالَمِينَ Sesungguhnya rumah (untuk ibadah) pertama yang dibangun bagi umat manusia adalah Ka’bah yang ada di Makkah, yang penuh barakah dan petunjuk bagi alam semesta. (Ali ‘Imran : 96) Ka’bah tersebut dinyatakan sebagai rumah yang penuh barakah dan petunjuk bagi alam semesta, karena kebaikan besar yang diperoleh bagi orang-orang yang datang kepadanya di rumah mulia tersebut, berupa thawaf, sa’i, talbiyah, dan dzikir-dzikir yang agung, yang denganya mereka mendapat bimbingan ke arah tauhid kepada Allah dan ketaatan kepada-Nya. Mereka juga bisa saling mengenal , saling bertemu, saling berwasiat, dan saling menasehati yang dengan itu mereka mendapat bimbingan kepada kebenaran. Oleh karena itu Allah nyatakan Ka’bah ini sebagai rumah yang mubarak (penuh barakah) dan petunjuk bagi alam semesta, karena padanya diperoleh berbagai kebaikan besar berupa talbiyah, dzikir-dzikir, ketaatan yang agung, mengenalkan dan membimbing hamba kepada Rabb-nya, tauhid kepada-Nya, menginggatkan mereka dengan kewajiban-kewajiban mereka terhadap-Nya dan terhadap Rasul-Nya, serta mengingatkan mereka terhadap kewajiban-kewajiban mereka terhadap saudara-saudaranya para jama’ah haji dan ‘umrah, berupa saling menasehati, saling bekerja sama, saling berwasiat dengan al-haq, membantu para fuqara’, membela orang yang terzhalimi, mencegah orang zhalim (dari kezhalimannya), dan membantu (untuk bisa melakukan) berbagai kebaikan. Demikianlah yang semestinya bagi para jama’ah haji dan ‘umrah Baitullah Al-Haram, hendaknya mereka menyiapkan diri masing-masing untuk kebaikan yang sangat besar ini. bersiap untuk memberikan kebaikan kepada saudara-saudaranya, bersemangat dalam mencurahkan kebaikan dan mencegah kejelekan/gangguan. Masing-masing bertanggung jawab atas beban yang Allah berikan kepadanya sebatas kemampuannya, sebaimana firman Allah فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُ Bertaqwalah kepada Allah sesuai kemampuan kalian. (At-Taghabun : 16) Saya memohon kepada Allah dengan Asma`ul Husna-Nya dan Sifat-sifat-Nya yang tinggi, agar memberikan taufiq segenap kaum muslimin kepada segala yang padanya terdapat keridhaan-Nya dan kebiakan hamba-hamba-Nya. Semoga Allah memberikan taufiq seluruh jama’ah haji dan ‘umrah kepada segala yang padanya terdapat kebaikan dan keselamatan untuk mereka, yang padanya bisa menyebabkan diterimanya ibadah haji dan ‘umrah mereka, serta kepada segala yang padanya terdapat kebaikan untuk agama dan dunia mereka. Sebagaimana pula, aku memohon kepada Allah agar mengembalikan para jama’ah haji ke negerinya masing-masing dalam keadaan selamat, mendapat taufiq, telah terbimbing, dan mengambil manfaat dari ibadah haji mereka yang itu menyebabkan mereka terselamatkan dari api neraka dan menyebabkan mereka masuk ke jannah serta menyebabkan mereka istiqamah di atas kebenaran di manapun mereka berada. Aku juga memohon kepada Allah agar memberikan taufiq pemerintah kita di negeri ini kepada semua kebaikan, dan segala yang bisa membantu para jama’ah haji menunaikan manasik haji mereka dalam bentuk yang Allah ridhai. Sungguh pemerintah negeri ini (Kerajaan Saudi Arabia) telah berbuat banyak berupa berbagai proyek dan program yang bisa membantu para jama’ah haji menunaikan manasik haji mereka dan memberikan kelancaran kepada mereka dengan memperluas bangunan masjid ini. Semoga Allah membalas Pemerintah negeri dengan kebaikan dan melipatgandakan pahalanya. Tidak diragukan, bahwa wajib atas para jama’ah untuk menghindari segala hal yang bisa menimbulkan gangguan dan kekacauan dengan segala bentuknya, seperti demonstrasi, orasi-orasi, provokasi-provokasi menyesatkan, maupun turun ke jalan-jalan yang menyempitkan para jama’ah haji dan mengganggu mereka, dan berbagai berbagai bentuk gangguan lainnya yang wajib dijauhi oleh para jama’ah haji. Telah lewat kita jelaskan di atas, bahwa wajib bagi jama’ah haji agar masing-masing bersemangat untuk memberikan manfaat kepada saudaranya dan memudahkan mereka menunaikan manasik hajinya. Tidak mengganggu mereka baik di jalan ataupun lainnya. Aku memohon pula kepada Allah agar memberikan taufik pemerintah dan membantu mereka mewujudkan segala hal yang bermanfaat bagi para jama’ah haji dan memudahkan penunaikan manasik haji mereka. Semoga Allah memberikan barakah pada jerih payah dan upaya keras mereka. Semoga Allah memberikan taufiq para penanggung jawab urusan haji kepada segala hal yang memudahkan urusan-urusan haji dan segala hal yang bisa membantu terlaksananya manasik haji sebaik-baiknya. Sebagaimana aku memohon kepada Allah agar memberikan taufik seluruh pemerintah negeri muslimin di setiap tempat, kepada segala hal yang padanya terdapat keridhaan-Nya. Semoga Allah memperbaika hati mereka dan amal-amal mereka, semoga Allah memperbaiki orang-orang/teman-teman dekat mereka, membantu mereka dalam mewujudkan penerapan hukum dengan syari’at Allah terhadap hamba-hamba-Nya. Semoga Allah melindung kita dan mereka dari memperturutkan hawa nafsu dan menjaga kita dari kesesatan-kesesatan fitnah. Sesungguh Allah Jalla wa ‘Ala Maha Pemurah dan Maha Pemberi. (dari muhadharah (ceramah) yang disampikan oleh Asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz pada Sabtu sore 28 Dzulqa’dah 1409 / 2 Juli 1989. Termasuk dalam Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah V/130-141) [1] Sebagaimana firman Allah : وَإِذْ بَوَّأْنَا لِإِبْرَاهِيمَ مَكَانَ الْبَيْتِ أَن لَّا تُشْرِكْ بِي شَيْئًا وَطَهِّرْ بَيْتِيَ لِلطَّائِفِينَ وَالْقَائِمِينَ وَالرُّكَّعِ السُّجُودِ وَأَذِّن فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالًا وَعَلَىٰ كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِن كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ لِّيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَّعْلُومَاتٍ Dan (ingatlah), ketika Kami memberikan tempat kepada Ibrahim di tempat Baitullah (dengan mengatakan): “Janganlah kalian menyekutukan sesuatu apapun dengan Aku dan sucikanlah rumahKu ini bagi orang-orang yang thawaf, dan orang-orang yang beribadah, dan orang-orang yang ruku’ dan sujud. Dan berserulah (wahai Ibrahim) kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh, supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan (Al-Hajj : 26-28) [2] Ada juga ‘ulama tafsir yang berpendapat maksudnya adalah dari Muzdalifah. [3] Yaitu bulan Syawwal, Dzulqa`dah dan Dzulhijjah Sumber http://www.assalafy.org/mahad/?p=385 dan http://www.salafy.or.id/ibadah/ Read More..

Keutamaan Sepuluh Hari Pertama Bulan Dzulhijjah

KEUTAMAAN SEPULUH HARI PERTAMA BULAN DZULHIJJAH Oleh Dr Abdullah bin Muhammad Ath-ThayyarImam al-Bukhari dalam shahiihnya meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda: مَا الْعَمَلُ فِي أَيَّامِ الْعَشْرِ أَفْضَلُ مِنَ الْعَمَلِ فِيْ هَذِهِ، قَالُوا: وَلاَ الْجِهَادُ؟ فَقَالَ: وَلاَ الْجِهَادُ إِلاَّ رَجُلٌ خَرَجَ يُخَاطِرُ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْ بِشَيْءٍ… “Tidak ada amalan yang lebih utama dari amalan di sepuluh hari pertama Dzulhijjah ini. Mereka bertanya, ‘Tidak juga jihad?’ Beliau menjawab, ‘Tidak juga jihad, kecuali seorang yang keluar menerjang bahaya dengan dirinya dan hartanya sehingga tidak kembali membawa sesuatu pun.’” [1] Dengan demikian, jelaslah bahwa sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah adalah hari-hari dunia terbaik secara mutlak. Hal itu karena ibadah induk berkumpul padanya dan tidak berkumpul pada selainnya. Padanya terdapat seluruh ibadah yang ada di hari lain, seperti shalat, puasa, shadaqah dan dzikir, namun hari-hari tersebut memiliki keistimewan yang tidak dimiliki hari-hari lain yaitu manasik haji dan syari’at berkur-ban pada hari ‘Id (hari raya) dan hari-hari Tasyriq. Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan, “Yang rajih bahwa sebab keistimewaan bulan Dzulhijjah karena ia menjadi tempat berkumpulnya ibadah-ibadah induk, yaitu shalat, puasa, shadaqah dan haji. Hal ini tidak ada di bulan lainnya. Berdasarkan hal ini apakah keutamaan tersebut khusus kepada orang yang berhaji atau kepada orang umum? Ada kemungkinan di dalamnya. [2] Dalam sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah terdapat amalan berikut ini: 1. Haji dan umrah. Keduanya termasuk amalan terbaik yang dapat mendekatkan seorang hamba kepada Rabb-nya. 2. Puasa sembilan hari pertama dan khususnya hari kesembilan yang termasuk amalan-amalan terbaik. Cukuplah dalam hal ini sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ وَالسَّنَةَ الَّتِي بَعْدَهُ “Puasa hari ‘Arafah yang mengharapkan pahala dari Allah dapat menghapus dosa-dosa satu tahun yang lalu dan satu tahun yang akan datang.” [3] 3. Takbir dan dzikir di hari-hari ini diijabahi (dikabulkan) berdasarkan firman Allah: وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ “Dan supaya mereka menyebut Nama Allah pada hari yang telah ditentukan” [Al Hajj/22: 28] 4. Disyari’atkan pada hari ini menyembelih kurban dari hari raya dan hari Tasyriq. Ini adalah sunnah Bapak kita, Ibrahim ketika Allah mengganti anaknya, Isma’il dengan hewan sembelihan yang besar dan juga Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyembelih dua kambing gemuk lagi bertanduk untuk diri dan umatnya. 5. Sebagaimana juga disyari’atkan pada hari raya kepada seorang muslim untuk bersemangat melaksanakan shalat, mendengarkan khutbah dan memanfaatkannya untuk mengenal hukum-hukum kurban dan yang berhubungan dengannya. 6. Disyari’atkan juga pada hari-hari ini dan hari-hari lainnya untuk memperbanyak amalan sunnah, berupa shalat, membaca al-Qur-an, shadaqah, memperbaharui taubat dan meninggalkan dosa dan kemaksiatan, baik yang kecil maupun yang besar. Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan, “Sepuluh hari pertama Dzulhijjah seluruhnya adalah kemuliaan dan keutamaan, amalan di dalamnya dilipatgandakan, dan disunnahkan agar bersungguh-sungguh dalam ibadah di hari-hari tersebut.” [4] MAKSUD DARI HARI-HARI YANG DITENTUKAN (AL-AYYAAM AL-MA’LUUMAAT) DAN HARI-HARI YANG BERBILANG (AL-AYAAM AL-MA’DUUDAAT) Allah berfirman: وَاذْكُرُوا اللَّهَ فِي أَيَّامٍ مَعْدُودَاتٍ ۚ فَمَنْ تَعَجَّلَ فِي يَوْمَيْنِ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ وَمَنْ تَأَخَّرَ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ ۚ لِمَنِ اتَّقَىٰ ۗ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّكُمْ إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ “Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Nama Allah dalam beberapa hari yang berbilang. Barangsiapa yang ingin cepat berangkat (dari Mina) sesudah dua hari, maka tidak ada dosa baginya. Dan barangsiapa yang ingin menangguhkan (keberangkatannya dari dua hari itu), maka tidak ada dosa pula baginya bagi orang yang bertakwa. Dan bertakwalah kepada Allah, dan ketahuilah bahwa kamu akan dikumpulkan kepada-Nya.” [al-Baqarah/2: 203] Dan Allah Ta’ala berfirman: لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ عَلَىٰ مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ ۖ فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ “Supaya mereka mempersaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut Nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rizki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka makanlah sebagian daripadanya dan (sebagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara lagi fakir.” [al-Hajj/22: 28] Para ulama berselisih pendapat dalam maksud dari firman Allah di atas tentang hari-hari yang berbilang dan yang ditentukan. Di antara pendapat mereka adalah: 1. Hari-hari yang ditentukan tersebut adalah hari kurban dengan perbedaan di antara mereka apakah itu tiga hari ataukah empat hari. 2. Hari-hari yang ditentukan tersebut adalah sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah dari awal bulan sampai hari raya. 3. Hari-hari berbilang adalah hari-hari Tasyriq. 4. Hari-hari yang ditentukan adalah sepuluh hari pertama Dzulhijjah dan hari-hari Tasyriq, berarti mulai awal bulan sampai akhir tanggal tiga belas. 5. Hari-hari yang ditentukan adalah sembilan hari pertama bulan Dzulhijjah dan hari-hari berbilang adalah hari-hari Tasyriq bersama hari ‘Id. Ada juga pendapat lemah yang mengatakan bahwa hari-hari yang ditentukan adalah sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah dan hari-hari berbilang adalah hari-hari penyembelihan. Ini menyelisihi ijma’. Yang benar bahwa hari-hari yang ditentukan tersebut adalah sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah dan hari-hari berbilang adalah hari-hari Tasyriq. Ibnul ‘Arabi rahimahullah mengatakan, “Ulama-ulama kami mengatakan bahwa hari-hari melempar jumrah adalah hari-hari berbilang (ma’duudaat) dan hari-hari penyembelihan adalah hari-hari yang telah ditentukan (ma’luumaat).” [5] Sedangkan Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan, “Ada yang mengatakan, hari-hari yang ditentukan adalah hari-hari penyembelihan dan ada yang mengatakan ia adalah sepuluh hari pertama Dzulhijjah.” [6] Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma mengatakan bahwa hari-hari yang berbilang adalah hari-hari Tasyriq, dan hari-hari yang ditentukan adalah sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah.” [7] Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fat-hul Baari [8] dan asy-Syaukani dalam Fat-hul Qadiir [9] telah memaparkan pernyataan para ulama dalam masalah ini dan semuanya hampir tidak keluar dari apa yang telah kami sampaikan di atas. Wallahu a’laam. PERBANDINGAN ANTARA SEPULUH HARI TERAKHIR RAMADHAN DENGAN SEPULUH HARI PERTAMA BULAN DZULHIJJAH Hendaklah seorang muslim mengetahui bahwa membandingkan antara perkara-perkara baik tidak bermaksud merendahkan dari yang lebih utama, bahkan hal ini seharusnya menjadi pendorong untuk melipatgandakan amalan pada hal yang diutamakan dan mengambil keutamaannya sekuat dan semampunya. Para ulama telah membahas masalah ini dan yang rajih menurut saya -wallaahu a’lam- bahwa sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah lebih utama dari sepuluh hari terakhir Ramadhan, dan sepuluh malam terakhir Ramadhan lebih utama dari sepuluh malam pertama bulan Dzulhijjah, itu karena keutamaan malam Ramadhan tersebut dilihat dari adanya malam Qadar dan ini untuk malamnya. Sedangkan sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah diutamakan hari-harinya dilihat dari adanya hari ‘Arafah, hari penyembelihan dan hari Tarwiyah (8 Dzulhijjah). Syaikhul Islam pernah ditanya tentang perbandingan antara dua waktu tersebut, beliau menjawab, “Sepuluh hari pertama Dzulhijjah lebih utama dari sepuluh hari terakhir Ramadhan, sedangkan malam sepuluh terakhir Ramadhan lebih utama dari malam sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah.” Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Apabila orang yang mulia lagi cendikia merenungkan jawaban ini, tentulah ia mendapatinya sebagai jawaban yang cukup dan memuaskan.” [10] PERBANDINGAN ANTARA DUA HARI RAYA Para ulama telah membahas seputar permasalahan ini, ada yang mengutamakan ‘Idul Adh-ha atas ‘Idul Fithri dan ada yang sebaliknya. Setelah memaparkan keutamaan dua hari raya dan keduanya termasuk hari paling utama dalam setahun, maka yang rajih adalah ‘Idul Adh-ha lebih utama dari ‘Idul Fithri, karena ibadah dalam ‘Idul Adh-ha adalah sembelihan kurban dengan shalat sedangkan dalam ‘Idul Fithri adalah shadaqah dengan shalat. Padahal jelas sembelihan kurban lebih utama dari shadaqah, karena padanya berkumpul dua ibadah yaitu ibadah badan (fisik) dan harta. Kurban adalah ibadah fisik dan harta, sedangkan shadaqah dan hadyah hanyalah ibadah harta saja. Ibnu Taimiyyah rahimahullah menjelaskan bahwa ‘Idul Adh-ha lebih utama dari ‘Idul Fithri, karena dua hal: 1. Ibadah di hari ‘Idul Adh-ha, yaitu kurban lebih utama dari ibadah di hari ‘Idul Fithri yaitu shadaqah. 2. Shadaqah di hari ‘Idul Fithri ikut kepada puasa, karena diwajibkan untuk membersihkan orang yang berpuasa dari kesia-siaan dan kejelekan dan memberi makan orang miskin serta disunnahkan dikeluarkan sebelum shalat. Sedangkan kurban disyari’atkan di hari-hari tersebut sebagai ibadah tersendiri, oleh karena itu disyari’atkan setelah shalat. Allah -Ta’ala- berfirman tentang yang pertama: قَدْ أَفْلَحَ مَنْ تَزَكَّى ٰوَذَكَرَ اسْمَ رَبِّهِ فَصَلَّىٰ “Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan beriman), dan dia ingat Nama Rabb-nya, lalu dia shalat.” [Al-A’laa: 14-15] Dan tentang yang kedua: فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ “Maka dirikanlah shalat karena Rabb-mu dan berkurbanlah.” [Al-Kautsar: 2] Kemudian Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan lagi, “Sehingga shalatnya orang-orang di negeri-negerinya sama kedudukannya dengan jama’ah haji yang melempar jumrah al-‘Aqabah dan sembelihan mereka di negeri-negerinya sama kedudukannya dengan sembelihan hadyu jama’ah haji.” [11] [Disalin dari kitab Ahkaamul Iidain wa Asyri Dzil Hijjah, Edisi Indonesia Lebaran Menurut Sunnah Yang Shahih, Penulis Dr Abdullah bin Muhammad bin Ahmad Ath-Thayyar, Penerjemah Kholid Syamhudi Lc, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir] Link Sumber : Al Manhaj _______ Footnote [1]. HR. Al-Bukhari lihat Fat-hul Baari (II/457). [2]. Fat-hul Baari (II/460). [3]. HR. Muslim, lihat Shahiih Muslim (II/818-819). [4]. Al-Mughni (IV/446). [5]. Ahkaamul Qur-aan (I/140), karya Ibnul ‘Arabi. [6]. Majmuu’ al-Fataawaa (XXIII/225). [7]. Tafsiir Ibnu Katsiir (I/244). [8]. Fat-hul Baari (II/458). [9]. Fat-hul Qadiir (I/205). [10]. Majmuu’ al-Fataawaa (XXV/287) dan Zaadul Ma’aad (I/57). [11]. Majmuu’ al-Fataawaa (XXIII/222). Read More..

Mutiara Hadits

Rasulullah bersabda (yang artinya), “Sesungguhnya Islam pertama kali muncul dalam keadaaan asing dan nanti akan kembali asing sebagaimana semula. Maka berbahagialah orang-orang yang asing (alghuroba’).” (hadits shahih riwayat Muslim no. 145)

“Berbahagialah orang-orang yang asing (alghuroba’). (Mereka adalah) orang-orang shalih yang berada di tengah orang-orang yang berperangai buruk. Dan orang yang memusuhinya lebih banyak daripada yang mengikuti mereka” (hadits shahih riwayat Ahmad) “Berbahagialah orang-orang yang asing (alghuroba’). Yaitu mereka yang mengadakan perbaikan (ishlah)ketika manusia rusak” (hadits shahih riwayat Abu Amr Ad Dani dan Al Ajurry) “Sesungguhnya barang siapa di antara kalian yang hidup sepeninggalku nanti maka ia akan melihat perselisihan yang banyak. Oleh karena itu wajib bagi kalian untuk berpegang teguh dengan sunnahku, dan sunnah Al Khulafa’ Ar Rasyidin yang terbimbing, berpeganglah erat-erat dengannya dan gigitlah ia dengan gigi-gigi geraham…” (Shahih, HR Abu Dawud, At Tirmidzi, Ad Darimi, Ibnu Majah dan lainnya dari sahabat Al ‘Irbadh bin Sariyah. Lihat Irwa’ul Ghalil, hadits no. 2455) “Terus menerus ada sekelompok kecil dari umatku yang senantiasa tampil di atas kebenaran. Tidak akan memudharatkan mereka orang-orang yang menghinakan mereka, sampai datang keputusan Allah dan mereka dalam keadaan seperti itu.” (Shahih, HR Al Bukhari dan Muslim, lafadz hadits ini adalah lafadz Muslim dari sahabat Tsauban, hadits no. 1920) “…. Umatku akan terpecah belah menjadi 73 golongan, semuanya masuk ke dalam neraka, kecuali satu golongan. Beliau ditanya: ‘Siapa dia wahai Rasulullah?’. Beliau menjawab: golongan yang aku dan para sahabatku mengikuti.” (Hasan, riwayat At Tirmidzi dalam Sunannya, Kitabul Iman, Bab Iftiraqu Hadzihil Ummah, dari sahabat Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash) Dari ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha, ia berkata, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang mengisi shaff di dalam shalat yang kosong, niscaya Allah akan mengangkat satu derajatnya dan membangun sebuah rumah di Surga untuknya.” (HR. Ath-Thabrani, II/91) Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ridha Allah tergantung kepada keridhaan orangtua dan murka Allah tergantung kepada kemurkaan orangtua.” (HR. Al-Bukhari dalam al-Adabul Mufrad, no. 2, Ibnu Hibbaan, no. 2026, at-Tirmidzi, no. 1899, dan al-Hakim, IV/151 – 152) Imam Ahmad rahimahullaahu ta’ala berkata, “Prinsip-prinsip aqidah disisi kami (Ahlus Sunnah) ialah berpegangteguh dengan pemahaman para Shahabat, mengikuti mereka dan menjauhi perbuatan bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat.” (Syarah Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jama’ah, I/176, no. 317) Dari ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bertakwalah kepada Allah dan cari (ambillah) yang baik dalam mencari rezeki (ambil yang halal dan tinggalkan yang haram).” (HR. Al-Hakim dalam Mustadraknya, I/5, no. 2136) Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah Ta’ala tidak menyukai orang (laki-laki) yang musbil (menjulurkan pakaiannya hingga di bawah mata kaki/isbal).” (HR. Ahmad, IV/246, V/63, 64, Ibnu Majah, II/1183, no. 3574, Abu Dawud, no. 4084, dan at-Tirmidzi, no. 2722) Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jauhkanlah diri kalian dari setiap perkara-perkara yang baru (di dalam agama), karena setiap hal yang baru di dalam agama adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. An-Nasa-i, III/188 – 189) Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa membaca ayat Kursi pada setiap selesai shalat wajib (fardhu’), maka tidak ada sesuatu pun yang dapat menghalanginya untuk masuk Surga selain kematian.” (HR. An-Nasa-i, no. 100, Ibnus Sunni, no. 124 dan ath-Thabrani, no. 7532) Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Do’a seseorang di antara kalian akan dikabulkan selama ia tidak tergesa-gesa, lalu ia berkata, ‘Saya telah berdo’a tapi tidak dikabulkan.’” (HR. Al-Bukhari, no. 6340 dan Muslim, no. 2735) Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila seorang manusia meninggal dunia maka terputus seluruh amalannya kecuali tiga hal : 1. Shadaqah jariyyah. 2. Ilmu (agama) yang bermanfaat yang di amalkan. 3. Dan anak yang shalih yang mendo’akannya.” (HR. Muslim, no. 1631) Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Wahai sekalian manusia, jauhilah dosa syirik, karena (perbuatan) syirik itu lebih samar daripada rayapan seekor semut di malam hari.” (HR. Ahmad, IV/403) Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Amalan shalih yang paling dicintai Allah adalah yang kontinyu (terus-menerus) dikerjakan walaupun sedikit.” (HR. Al-Bukhari, no. 6464 dan Muslim, no. 782) Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang mendatangi orang pintar (tukang ramal) atau dukun, lalu ia mempercayai apa yang diucapkannya, maka sungguh ia telah kafir dengan wahyu yang diturunkan kepada Muhammad.” (HR. Ahmad, II/408, 429, 476, dan al-Hakim, I/8) “Janganlah engkau menyekutukan Allah meskipun engkau dicacah/dibakar. Janganlah meninggalkan shalat wajib dgn sengaja, barangsiapa meninggalkannya, maka ia telah terlepas dari perlindungan Allah & janganlah meminum khamr, krena khamr adalah induk segala kejahatan.” (HR. Ibnu Majah no. 4034) Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa memakai jimat, berarti ia telah berbuat syirik.” (HR. Ahmad, IV/156). Allah Jalla wa ‘Ala berada di atas langit lagi Mahatinggi. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman : “Apakah kamu merasa aman terhadap Dzat (Allah) yang ada di langit, bahwa Dia akan menjungkirbalikkan bumi bersamamu, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu bergoncang.” (QS. Al-Mulk : 16) Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hitunglah (dzikir) dengan ruas-ruas jari karena sesungguhnya (ruas-ruas jari) itu akan ditanya dan akan dijadikan dapat berbicara (pada hari Kiamat).” (HR. Abu Dawud, no. 1345) Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang ingin berbekam, hendaklah ia berbekam pada tanggal 17, 19, dan 21 (bulan Hijriyyah), maka akan menyembuhkan setiap penyakit.” (HR. Abu Dawud, 3861, al-Hakim, IV/210, dan al-Baihaqi, IX/340) Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang datang kepada dukun (tukang ramal), lalu menanyakan kepadanya tentang sesuatu, maka tidak akan diterima shalatnya selama 40 (empat puluh) malam.” [HR. Muslim, no. 2230 (125)] Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya seseorang diangkat (di tinggikan) derajatnya di Surga.” Kemudian orang itu bertanya, “Wahai Rabbku, dari manakah aku mendapatkan semua ini?” Allah ‘Azza wa Jalla berfirman : “Ini disebabkan permohonan ampun (istighfar) dari anakmu (kepada Allah ‘Azza wa Jalla) untukmu.” (HR. Ahmad dalam Musnadnya, II/509, dan Ibnu Majah dalam Sunannya, II/294, 2954) Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya seseorang diangkat (di tinggikan) derajatnya di Surga.” Kemudian orang itu bertanya, “Wahai Rabbku, dari manakah aku mendapatkan semua ini?” Allah ‘Azza wa Jalla berfirman : “Ini disebabkan permohonan ampun (istighfar) dari anakmu (kepada Allah ‘Azza wa Jalla) untukmu.” (HR. Ahmad dalam Musnadnya, II/509, dan Ibnu Majah dalam Sunannya, II/294, 2954) Perbuatan bid’ah di dalam agama adalah sesat dan tertolak. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang mengada-adakan hal yang baru di dalam urusan (agama) kami yang bukan berasal darinya, maka perbuatan tersebut tertolak.” (HR. Bukhari, no. 2697, Muslim no. 1718) Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya sedekah itu memadamkan panasnya alam kubur bagi pelakunya. Dan sungguh, pada hari Kiamat, seorang mukmin akan bernaung di bawah naungan sedekahnya.” (HR. Ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul Kabiir, XVII/286, no. 788) Imam Abul Hasan al-Asy’ari rahimahullaahu ta’ala berkata, “Bahwasanya Allah Jalla wa ‘Ala berada di atas ‘Arsy-Nya sebagaimana firman-Nya : “Ar-Rahman, Yang bersemayam di atas ‘Arsy.’” (QS. Thahaa : 5) [Al-Ibanaah fii Ushuul Diyanah, hal. 17] Ummat Islam mempunyai dua hari raya yaitu, ‘Idhul Fithri dan ‘Idhul Adh-haa adapun perayaan selain keduanya adalah perayaan yang bukan berasal dari Islam. Valentien adalah perayaan ummat Nasrani dan bukan perayaan ummat Islam, karena itulah ummat Islam dilarang dan haram merayakannya. “Carilah waktu disaat terkabulnya do’a pada hari Jum’at, yaitu setelah shalat ‘Ashar hingga terbenamnya matahari.” (HR. At-Tirmidzi, no. 489) ‘Abdullah bin Amr radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarang shalat di kuburan.” (HR. Ibnu Hibban no. 2319) “Sesungguhnya di antara sebab-sebab turunnya ampunan Allah adalah (dengan) menyebarkan salam dan berbicara yang baik.” (HR. Ath-Thabrani, no. 469) Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku melihat ke dalam Surga, ternyata aku melihat mayoritas penghuninya adalah orang-orang fakir lagi miskin. Dan aku melihat ke dalam Neraka, ternyata aku melihat mayoritas penghuninya adalah kaum wanita.” (Muttafaqun ‘alaihi) “Orang yang paling berhak mendapatkan syafa’atku pada hari Kiamat adalah, yang paling banyak bershalawat kepadaku.” (HR. At-Tirmidzi, no. 484) Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kurma ‘Ajwah itu berasal dari Surga dan ia adalah penawar racun.” (HR. Ahmad, II/301) “Setiap do’a terhalang (untuk dikabulkan) hingga bershalawat kepada Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Ath-Thabrani, IV/448) Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak akan ditolak do’a antara adzan dan iqamah.” (HR. Ahmad, III/119, 155, 225) “Barangsiapa membanggakan dirinya dan bersikap sombong dalam berjalan, ia akan bertemu Allah dalam keadaan murka kepadanya.”(HR. Al-hakim, I/60) “Barangsiapa membaca surat al-Kahfi pada malam dan hari Jum’at akan diberikan cahaya baginya di antara dua Jum’at.” (HR. Al-Hakim, II/368) “Tidak ada yang dapat mencegah takdir kecuali do’a, dan tidak ada yang dapat memberi tambahan pada umur kecuali kebajikan.” (HR. Al-Hakim, I/493) Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallaahu ‘anhuma, ia berkata, “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melaknat wanita yang menyambung rambutnya dan yang diminta disambung, serta melaknat wanita yang mentato tubuhnya dan yang minta ditato.” (HR. Al-Bukhari, no. 5937, Muslim, no. 2124) Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah lebih berbahagia (bergembira) dengan taubat seorang hamba daripada (kegembiraan) seseorang yang menemukan kembali barangnya yang telah hilang.” (HR. Bukhari, XI/102, no. 6308 , Muslim, IV/2103, no. 2744 – 2745) “Barangsiapa membaca dua ayat dari akhir surat al-Baqarah pada malam hari, maka keduanya telah mencukupinya.” (HR. Al-Bukhari, V/107, no. 5051) Imam asy-Syafi’i rahimahullaahu ta’ala berkata, “Aku benci (perbuatan) menginjak kuburan, duduk atau bersandar padanya.” (Al-Umm, I/246) “Sesungguhnya ilmu diperoleh dgn sungguh-sungguh belajar, & sikap penyantun diperoleh dgn membiasakan diri untuk sabar.” (HR. Ibnul Jauzi, no. 93) “Jika seorang dari kalian berbuka puasa, hendaklah ia berbuka dengan kurma, karena itu suatu keberkahan.” (HR. Ahmad, IV/17) “Barangsiapa yang menjaga empat raka’at sebelum Zhuhur & empat raka’at setelahnya, maka Allah mengharamkannya dari Neraka.” (HR. Ahmad no. 26232) “Semua tempat di muka bumi ini boleh dijadikan tempat shalat, kecuali perkuburan dan kamar mandi.” (HR. Ahmad, III/83, 96, Abu Dawud, no. 492) “Meludah di dalam masjid adalah suatu kesalahan, dan kaffarahnya (penghapus dosanya) adalah dengan menimbunnya.” (HR. Al-Bukhari, no. 511) “Barangsiapa meninggalkan tiga kali shalat Jum’at tanpa udzur, maka Allah menetapkannya sebagai golongan munafiq.” (HR. Thabrani, I/170, no. 422) “Bersucilah dari air kencing, karena umumnya adzab kubur itu disebabkan (cipratan) air kencing.” (HR. Ad-Daruquthni, I/128, dan al-Hakim, I/183) “Ada dua perkara jahiliyah yang masih dilakukan oleh ummatku, yaitu : 1. Mencela keturunan. 2. Dan meratapi kematian.” (HR. Muslim, no. 67) Rasulullah bersabda, “Seluruh sumpah yang diucapkan tidak dengan Nama Allah, maka itu termasuk perbuatan syirik.” (HR. Al-Hakim, I/18) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Menuntut ilmu itu wajib atas setiap muslim.” (HR. Ibnu Majah no. 224) Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Setiap badan yang dagingnya tumbuh dari (sesuatu) yang haram, maka Neraka lebih layak bagi dirinya.” (HR. Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iiman, no. 5375, Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliyaa’, I/65, no. 67, dan Abu Ya’la dalam Musnad, no. 78, 79) Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh barangsiapa tidak meminta (memohon) kepada Allah, maka Allah marah kepadanya.” (HR. Al-Bukhari, no. 658, At-Tirmidzi, no. 3373, Ahmad, II/442, dan Ibnu Majah, no. 3827) Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang senang apabila Allah mengabulkan do’anya ketika dia mengalami kesulitan dan kesedihan hendaklah dia memperbanyak do’a di saat senang.” (HR. At-Tirmidzi, no. 3382, Abu Ya’la, V/454 no. 6365, 6366) Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila seorang muslim berwudhu, maka keluarlah dosa-dosanya dari pendengarannya, pengelihatannya, kedua tangannya, dan kedua kakinya. Apabila ia duduk untuk menanti shalat, ia duduk dalam keadaan diampuni dosa-dosanya.” (HR. Ahmad V/252) Rasulullah bersabda, “Orang yang mahir membaca Al-Qur’an akan bersama para Malaikat yang mulia dan baik, sedangkan orang yang membaca Al-Qur’an dengan terbata-bata (tidak lancar tapi tetap berkemauan keras untuk berusaha), maka baginya dua pahala.” (HR. Al-Bukhari no. 4937, Muslim no. 798) Dari Abu Barzah radhiyallaahu ‘anhu berkata, “Bahwasanya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam membenci tidur malam sebelum (shalat ‘Isya’) dan berbincang-bincang (yang tidak bermanfaat) setelahnya.” [HR. Al-Bukhari, no. 568, dan Muslim, no. 647 (235)] Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bacalah oleh kalian al-Qur’an karena ia (al-Qur’an) akan datang pada hari Kiamat kelak sebagai pemberi syafa’at bagi orang-orang yang (rajin) membacanya.” (HR. Muslim, no. 804) Rasulullah bersabda, “Barangsiapa memenuhi kebutuhan saudaranya, Allah akan memenuhi kebutuhannya. Barangsiapa melepaskan satu kesulitan dari seorang muslim (di dunia), maka Allah akan melepaskan darinya satu kesulitan dari kesulitan-kesulitan (pada) hari Kiamat.” (HR. Al-Bukhari, no. 2442) Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sahur adalah makanan yang penuh berkah. Oleh karena itu janganlah kalian meninggalkannya walaupun hanya meneguk seteguk air. Sesungguhnya Allah dan para Malaikat-Nya bershalawat kepada orang-orang yang makan sahur.” (HR. Ahmad, III/12) Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ada tiga golongan manusia yang tidak akan ditolak do’anya, yaitu: 1. Orang yang berpuasa ketika berbuka. 2. Pemimpin yang adil. 3. Dan do’anya orang yang dizhalimi.” (HR. At-Tirmidzi, no. 2528, Ibnu Majah, no. 1752, Ibnu Hibban, no. 2407) Dari Abu Qatadah al-Anshari radhiyallaahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya mengenai puasa pada hari ‘Asyura’ (10 Muharram).” Beliau menjawab, “Berpuasa pada hari ‘Asyura’, dapat menghapus dosa setahun yang lalu.” (HR. Muslim, no. 1162, 1976) Al-’Allamah Al-Muhaddits Asy-Syaikh Muhammad Nasruddin Al-Albani rahimahullaahu ta’ala berkata, “Tegakkanlah daulah Islam di hati kalian (dengan tauhid dan bertakwa kepada-Nya), niscaya akan terwujud daulah Islam di atas bumi kalian.” (Ma’alim Manhaj Salafi fi Taghyir, hal. 468) Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Puasa yang paling utama setelah (puasa) Ramadhan adalah (puasa) di bulan Allah yaitu (bulan) Muharram, dan shalat yang paling utama setelah shalat wajib adalah shalat (sunnah) yang dilakukan di malam hari.” (HR. Muslim, no. 1163) Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Shalat (sunnah) dua raka’at sebelum Shubuh lebih baik dari pada dunia dan seisinya.” (HR. Muslim, no. 725) Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa menahan amarahnya padahal dia mampu untuk melampiaskannya maka Allah akan memanggil dan membanggakannya pada hari Kiamat di hadapan seluruh manusia sampai kemudian Allah membiarkannya memilih bidadari.” (HR. Ahmad, III/440) Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Shalat yang paling utama (baik) setelah shalat wajib adalah shalat (sunnah) yang dilakukan di malam hari (shalat Tahajjud).” (HR. Muslim, no. 1163) “Menguap itu datangnya dari syaithan. Maka apabila salah seorang di antara kalian menguap, hendaklah ia menahan sekuatnya. Apabila tidak mampu maka hendaklah ia menutup mulut dengan tangan (kirinya) karena syaithan akan masuk bersamaan dengan waktu menguap itu.” (HR. Al-Bukhari, no. 3289) Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Celakalah bagi orang yang berbicara lalu berdusta untuk membuat orang lain tertawa. Celakalah dia, celakalah dia.” (HR. Abu Dawud, no. 4990, dan At-Tirmidzi, IV/557, no. 2315) Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab rahimahullaahu ta’ala berkata, “Islam adalah berserah diri kepada Allah dengan mentauhidkan-Nya, tunduk dan patuh kepada-Nya dengan ketaatan, dan berlepas diri dari perbuatan syirik dan para pelakunya.” (Syarah Tsalatsatil Ushul, hal. 68 – 69) Imam al-Ghazali rahimahullaahu ta’ala berkata, “Sesungguhnya mengusap-usap dan menciumi kuburan (untuk mengalap berkah dari kuburan tersebut) maka itu merupakan adat istiadat kaum Yahudi dan Nasrani (dan bukan berasal dari Islam).” (Ihya’ Ulumuddin, I/254) Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Wanita itu adalah aurat. Apabila ia keluar rumah, maka akan dibanggakan oleh syaithan.” (HR. At-Tirmidzi, no. 1173, Ibnu Khuzaimah, no. 1685 -1687, Ibnu Hibban, no. 5598 – 5599, Ath-Thabarani dalam Al-Kabiir, no. 10115) Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kekayaan itu bukanlah dengan banyaknya harta, tetapi kekayaan yang sebenarnya itu ialah kaya hati (yaitu mempunyai sifat qona’ah atau menerima apa yang telah diberikan Allah berupa rezeki).” (HR. Al-Bukhari, no. 6446 dan Muslim, no. 1051) Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Orang mukmin yang bergaul dengan manusia dan sabar terhadap kejahatan mereka lebih baik daripada orang mukmin yang tidak bergaul dengan manusia dan tidak sabar terhadap kejahatan mereka.” (HR. Bukhari, no. 388, At-Tirmidzi, no. 2507) Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kalau seandainya aku (boleh) memerintahkan seseorang untuk sujud kepada manusia maka akan aku perintahkan seorang wanita untuk sujud kepada suaminya (dikarenakan hak yang begitu besar).” (HR. At-Tirmidzi, no. 1159, Ibnu Majah, no. 1853) Dari Abu Hayyaz al-Asadi berkata, “Ali bin Abi Thalib berkata kepadaku, ‘Maukah aku mengutusmu di atas tugas yang Rasulullah mengutusku? ‘Yaitu janganlah engkau biarkan sebuah patungpun kecuali kau hancurkan dan tidaklah kuburan yang tinggi kecuali kamu ratakan.” (HR. Muslim, no. 969) Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya seorang Mukmin apabila berjumpa dengan Mukmin lainnya lalu ia mengucapkan salam dan saling berjabat tangan, maka berguguranlah dosa-dosa mereka sebagaimana daun yang berguguran dari pohonnya.” (HR. Ath-Thabrani, no. 245) Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seorang laki-laki tidak boleh melihat aurat laki-laki lain dan seorang wanita tidak boleh melihat aurat wanita lain.” (HR. Muslim, no. 512) Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya, berjalan di atas bara api atau pedang lebih aku sukai daripada berjalan di atas kubur seorang muslim.” (HR. Ibnu Majah, no. 1567) Dari ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallaahu ‘anhuma, ia berkata,”Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarang shalat di kuburan.” (HR. Shahih Ibnu Hibbaan, no 2319) Imam Ibnu Hajar al-’Asqalany rahimahullah mengatakan, “Kuburan bukanlah tempat untuk beribadah.” (Fat-hul Baari, I/528) Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang menempuh jalan dalam rangka menuntut ilmu (syar’i), maka Allah akan mudahkan dirinya jalan menuju Surga.” (HR. Muslim no. 2699, Ahmad II/252, 325, Abu Dawud no. 3641, 3643, at-Tirmidzi no. 2646, Ibnu Majah no. 223, 225) Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari Akhir hendaklah ia berkata yang baik atau diam.” (HR. Bukhari, no. 6018, 6138 dan Muslim, no. 47) Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sebaik-baik kalian adalah orang yang belajar dan mengajarkan Al-Qur’an.” (HR. Al-Bukhari, no. 5027, Abu Dawud, no. 1452, At-Tirmidzi, no. 2909, dan Ibnu Majah, no. 211) “Kalian tidak akan masuk Surga sampai kalian beriman. Dan tidaklah kalian beriman sampai kalian saling mencintai. Maukah aku tunjukkan kepada kalian satu amalan yang jika kalian melakukannya maka kalian akan saling mencintai?” “Sebarkanlah salam di antara kalian.” (HR. Muslim, I/74, no. 54) Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah makhluk Allah dari golongan jin dan manusia serta tidak ada sesuatupun yang mendengar suara lantunan adzan dari seorang muadzin melainkan akan menjadi saksi kebaikan bagi si muadzin pada hari Kiamat.” (HR. Bukhari, no. 609) Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Laksanakanlah sebagian shalat (sunnah) kalian di rumah kalian dan janganlah kalian menjadikannya kuburan.” (HR. Bukhari, I/528 – 529, no. 432) Dalam suatu riwayat disebutkan, “Bagian bumi seluruhnya adalah masjid (tempat untuk shalat), kecuali kuburan dan kamar mandi.” (HR. Ahmad, XVIII/312, no. 11788) Dalam riwayat lainnya,”Janganlah duduk di atas kuburan dan jangan shalat menghadapnya.” (HR. Muslim, II/668 no. 972) Imam Nawawi rahimahullaahu ta’ala mengatakan, “Hadits ini menegaskan terlarangnya shalat menghadap ke arah kuburan.” (Syarh Shahih Muslim, VII/42) Imam Ibnu Hajar al-’Asqalany rahimahullaahu ta’ala mengatakan, “Kuburan bukanlah tempat untuk beribadah.” (Fat-hul Baari, I/528) Mahfumnya dari hadits dan keterangan para ulama di atas dapat kita ketahui bahwa kuburan bukanlah tempat untuk shalat, berdzikir, berdo’a, thawaf dan membaca al-Qur’an sebab memang kuburan bukan tempat untuk beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda, “Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmati seseorang yang mengerjakan shalat (sunnah) empat raka’at sebelum ‘Ashar.” (HR. Abu Dawud, no. 1271 dan at-Tirmidzi, no. 430) Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang meninggal dalam keadaan berdo’a kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala maka dia akan masuk Neraka.” (HR. Al-Bukhari, no 4497) Dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu, ia berkata, “Kekasihku, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mewasiatkan tiga perkara kepadaku : 1. Puasa tiga hari pada tiap bulan (hijriyah). 2. Dua raka’at Dhuha’. 3. Dan shalat Witir sebelum tidur.” (HR. Bukhari, no. 1152 dan Muslim, no. 1159) Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala menghalangi taubat setiap pelaku kebid’ahan.” (HR. Al-Baihaqi, ath-Thabrani dan Ibnu Abi ‘Ashim dalam As-Sunnah, no. 37) Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada rezeki yang paling baik dan luas bagi seorang hamba selain rezeki berupa kesabaran.” (HR. Al-Hakim dalam al-Mustadrak, dan dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahiihul Jaami’, no. 5626) Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya jampi-jampi, tamimah (jimat-jimat), dan tiwalah (pellet, susuk, dan sejenisnya) termasuk syirik.” (HR. Abu Dawud, no. 3883, Ibnu Majah, no. 3530, dan Ahmad, I/381) Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika seorang mukmin berbuat dosa, maka akan terdapat bintik hitam dalam hatinya. Jika dia bertaubat, berhenti dan meminta ampun, maka akan bersih kembali hatinya.” (HR. At-Tirmidzi, no. 3334, Ibnu Majah, no. 4244, dan Ahmad, II/297) Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Puasa pada hari ‘Arofah (9 Dzulhijjah), akan menghapuskan dosa setahun yang lalu dan setahun yang akan datang.” (HR. Muslim, no. 1162, Ahmad, V/297, 308, 310 – 311, Abu Dawud, no. 2425 – 2426, an-Nasa-i, no. 2826, Ibnu Majah, no. 1730) Dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu, ia berkata, “Kekasihku, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mewasiatkan tiga perkara kepadaku : 1. Puasa tiga hari pada tiap bulan (hijriyah). 2. Dua raka’at Dhuha’. 3. Dan shalat Witir sebelum tidur.” (HR. Bukhari, no. 1152 dan Muslim, no. 1159) Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada (tidak sah) wudhu’ bagi orang yang tidak menyebut Nama Allah (bismillaah) padanya.” (HR. Ahmad, II/418, Abu Dawud, no. 101, at-Tirmidzi, no. 25, Ibnu Majah, no. 399, al-Hakim, I/146, al-Baihaqi, I/43 – 44) Dari Anas bin Malik radhiyallaahu ‘anhu berkata, “Kami diberi (batas) waktu oleh Rasulullah dalam mencukur kumis, memotong kuku, mencabut bulu ketiak, dan mencukur bulu kemaluan agar kami tidak membiarkannya lebih dari 40 malam.” (HR. Muslim, no. 258, Abu Dawud, no. 4200, An-Nasa-i, no. 14) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila seorang muslim berwudhu’, maka keluarlah dosa-dosanya dari pendengarannya, pengelihatannya, kedua tangannya, dan kedua kakinya. Apabila ia duduk untuk menanti shalat, ia duduk dalam keadaan diampuni dosa-dosanya.” (HR. Ahmad V/252) Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang membaca ayat Kursi ketika akan tidur, maka ia senantiasa dijaga (dilindungi) oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan tidak akan didekati oleh syaithan sampai terbit fajar Shubuh.” (HR. Bukhari, no. 2311/Fat-hul Baari, IV/487) Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang hafal sepuluh ayat pertama dari surat al-Kahfi, maka dia akan terjaga dari fitnah Dajjal.” (HR. Muslim, no. 809, Ahmad, VI/449) Dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melaknat laki-laki yang memakai pakaian wanita dan wanita yang memakai pakaian laki-laki.” (HR. Abu Dawud, no. 4098, Ibnu Majah, no. 1903, al-Hakim, IV/194 dan Ahmad, II/325) Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda, “Malu itu adalah salah satu cabang dari iman.” (HR. Muslim, no. 35) Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda, “Emas dan sutera dihalalkan untuk wanita dari ummatku, dan diharamkan atas laki-laki.” (HR. Ahmad, IV/392 – 393, 394, 407, at-Tirmidzi, no. 1720 dan an-Nasa-i, VIII/161)



Read More..