Jual Beli dengan Sistem Kredit

Jual beli dengan sistem kredit (cicilan), yang ada di masyarakat digolongkan menjadi dua jenis: Jenis pertama, kredit dengan bunga. Ini hukumnya haram dan tidak ada keraguan dalam hal keharamannya, karena jelas-jelas mengandung riba. Jenis kedua, kredit tanpa bunga. Para fuqaha mengistilahkan kredit jenis ini dengan Bai’ At Taqsiith. Sistem jual beli dengan Bai’ At Taqsiith ini telah dikaji sejumlah ulama, di antaranya: As-Syaikh Nashirudin Al Albani Dalam kitab As-Shahihah jilid 5, terbitan Maktabah Al Ma’arif Riyadh, hadits no. 2326 tentang “Jual Beli dengan Kredit”, beliau menyebutkan adanya tiga pendapat di kalangan para ulama. Yang rajih (kuat) adalah pendapat yang tidak memperbolehkan menjual dengan kredit apabila harganya berbeda dengan harga kontan (yaitu lebih mahal, red). Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits shahih dari Abi Hurairah ryang diriwayatkan oleh An Nasa’i dan At Tirmidzi, bahwa Rasulullah melarang transaksi jual beli (2 harga) dalam satu transaksi jual beli. As Syaikh Al Albani menjelaskan, maksud larangan dalam hadits tersebut adalah larangan adanya dua harga dalam satu transaksi jual beli, seperti perkataan seorang penjual kepada pembeli: Jika kamu membeli dengan kontan maka harganya sekian, dan apabila kredit maka harganya sekian (yakni lebih tinggi). Hal ini sebagaimana ditafsirkan oleh Simaak bin Harb dalam As Sunnah (karya Muhammad bin Nashr Al Marwazi), Ibnu Sirin dalam Mushonnaf Abdir Rozaq jilid 8 hal. 137 no. 14630, Thoowush dalam Mushonnaf Abdir Rozaq jilid 8 no. 14631, Ats Tsauri dalam Mushonnaf Abdir Rozaq jilid 8 no. 14632, Al Auza’i sebagaimana disebutkan oleh Al Khaththaabi dalam Ma’alim As Sunan jilid 5 hal. 99, An Nasa’i, Ibnu Hibban dalam Shahih Ibni Hibban jilid 7 hal. 225, dan Ibnul Atsir dalam Ghariibul Hadits. Demikian pula dalam hadits yang diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushonnaf bersabda:r, Al Hakim dan Al Baihaqi, dari Abi Hurairah, bahwasanya Rasulullah “Barangsiapa yang menjual dengan 2 harga dalam 1 transaksi jual beli, maka baginya harga yang lebih murah dari 2 harga tersebut, atau (jika tidak) riba.” Misalnya seseorang menjual dengan harga kontan Rp 100.000,00, dan kredit dengan harga Rp 120.000,00. Maka ia harus menjual dengan harga Rp 100.000,00. Jika tidak, maka ia telah melakukan riba. Atas dasar inilah, jual beli dengan sistem kredit (yakni ada perbedaan harga kontan dengan cicilan) dilarang, dikarenakan jenis ini adalah jenis jual beli dengan riba. As-Syaikh Muqbil bin Hadi Al Waadi’i Dalam kitabnya Ijaabatus Saailin hal. 632 pertanyaan no. 376, beliau menjelaskan bahwa hukum jual beli seperti tersebut di atas adalah dilarang, karena mengandung unsur riba. Dan beliau menasehatkan kepada setiap muslim untuk menghindari cara jual beli seperti ini. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits shahih dari Abi Hurairah yang diriwayatkan oleh An Nasa’i dan At Tirmidzi, bahwa melarang transaksi jual beli (2 harga) dalam saturRasulullah transaksi jual beli. Namun beliau menganggap lemahnya hadits Abu Hurairah sebagaimana yang diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushonnaf bersabda:r, Al Hakim dan Al Baihaqi, dari Abi Hurairah, bahwasanya Rasulullah “Barangsiapa yang menjual dengan 2 harga dalam 1 transaksi jual beli, maka baginya harga yang lebih murah dari 2 harga tersebut, atau (jika tidak) riba.” Hal ini sebagaimana disebutkan beliau dalam kitabnya Ahaadiitsu Mu’allah Dzoohiruha As Shahihah, hadits no.369. Dalam perkara jual beli kredit ini, kami nukilkan nasehat As-Syaikh Al Albani: “Ketahuilah wahai saudaraku muslimin, bahwa cara jual beli yang seperti ini yang telah banyak tersebar di kalangan pedagang di masa kita ini, yaitu jual beli At Taqsiith (kredit), dengan mengambil tambahan harga dibandingkan dengan harga kontan, adalah cara jual beli yang tidak disyari’atkan. Di samping mengandung unsur riba, cara seperti ini juga bertentangan dengan ruh Islam, di mana Islam didirikan atas pemberian kemudahan atas umat manusia, dan kasih sayang terhadap mereka serta meringankan beban yang diriwayatkan Al Imam Alrmereka, sebagaimana sabda Rasulullah Bukhari : “Allah merahmati seorang hamba yang suka memberi kemudahan ketika menjual dan ketika membeli…” Dan kalau seandainya salah satu dari mereka mau bertakwa kepada Allah, menjual dengan cara kredit dengan harga yang sama sebagaimana harga kontan, maka hal itu lebih menguntungkan baginya, juga dari sisi keuntungan materi. Karena dengan itu menyebabkan sukanya orang membeli darinya, dan diberkahinya oleh Allah pada rejekinya, sebagaimana firman Allah: … Demikianlah diberi pengajaran dengan itu orang yang beriman kepada Allah dan hari Akhir. Barang siapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa bertawakkal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluannya). Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki-Nya). Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu. (Ath Thalaq: 2-3) Demikian nasehat dari As-Syaikh Al Albani. Sebagai kesimpulan, kami nasehatkan kepada kaum Muslimin, hendaknya memilih cara kontan jika menghadapi sistem jual beli semacam ini. Wallahu a’lamu bisshawaab? Link Sumber : Asy-Syariah Online Read More..

Hukum Berdiri Untuk Menyambut

Pertanyaan: Seseorang masuk dalam keadaan saya di suatu majelis. Para hadirin kemudian berdiri, namun saya tidak berdiri. Haruskah saya berdiri? Apakah orang yang berdiri berdosa?Jawab: Anda tidak harus berdiri menyambut orang yang datang. Namun hal ini termasuk akhlak yang mulia. Barangsiapa yang berdiri untuk menjabat tangannya dan menuntunnya –terlebih lagi tuan rumah dan para pemuka– maka ini merupakan akhlak yang mulia. Sungguh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah berdiri menyambut Fathimah radhiyallahu ‘anha (putri beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, red), demikian juga Fathimah radhiyallahu ‘anha berdiri menyambut kedatangan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Para shahabat berdiri atas perintah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menyambut Sa’d bin Mu’adz radhiyallahu ‘anhu ketika dia datang untuk menghukumi Bani Quraizhah. Thalhah bin Ubaidillah radhiyallahu ‘anhu berdiri di hadapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika Ka’b bin Malik radhiyallahu ‘anhu datang pada peristiwa diterimanya taubat beliau oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Thalhah menjabat tangannya, mengucapkan selamat kepadanya kemudian duduk. Ini merupakan akhlak yang mulia, dan perkaranya lapang. Yang dingkari adalah berdiri untuk mengagungkan. Adapun berdiri untuk menyambut tamu yang datang dalam rangka memuliakannya, menjabat tangannya, atau memberi salam hormat, ini merupakan perkara yang disyariatkan. Adapun dia berdiri untuk mengagungkan sedangkan yang lain duduk, atau dia berdiri ketika ada yang masuk tanpa menyambut atau menjabat tangannya, ini tidak pantas. Yang lebih keras (pelarangannya) adalah berdiri untuk mengagungkannya dalam keadaan (yang diagungkan itu) duduk, bukan untuk menjaga tapi semata untuk mengagungkan. Berdiri ada tiga macam: Pertama: berdiri terhadap seseorang dalam keadaan orang itu duduk, seperti orang-orang ajam (non Arab) mengagungkan raja dan pembesar mereka. Hal ini tidak diperbolehkan, sebagaimana diterangkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan para shahabat untuk duduk ketika beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengimami shalat sambil duduk. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan mereka untuk duduk dan shalat bersama beliau sambil duduk. Ketika mereka berdiri, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan: “Hampir-hampir kalian mengagungkan aku sebagaimana orang-orang ajam mengagungkan pembesar mereka.” Kedua: berdiri untuk kedatangan atau kepergian seseorang, tanpa menyambut atau menjabat tangannya, namun semata-mata untuk mengagungkannya. Hal ini minimalnya makruh. Dahulu para shahabat radhiyallahu ‘anhum tidak berdiri untuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau masuk kepada mereka, ketika mereka mengetahui ketidaksukaan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap hal itu. Ketiga: berdiri untuk orang yang datang untuk menjabat tangannya atau menuntunnya untuk menempatkannya pada tempat tertentu, atau mendudukkannya pada tempatnya, atau yang serupa dengan itu. Hal ini tidak mengapa, bahkan termasuk Sunnah (Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, red) sebagaimana telah lalu. (Dimuat dalam majalah Al-Arabiyyah dalam kolom Is`alu Ahla Adz-Dzikr, dari Fatawa wa Maqalat Ibn Baz, jilid 6) Link Sumber : Asy-Syariah Online Read More..

Hukum Bertepuk Tangan

Pertanyaan: Apa hukum bertepuk tangan bagi laki-laki pada momen tertentu dan pertemuan-pertemuan? Jawab: Bertepuk tangan dalam pertemuan-pertemuan merupakan perbuatan jahiliah. Pendapat yang paling ringan menyatakan hukumnya makruh. Dan yang lebih nyata dari dalil-dalil yang ada adalah bahwa hal itu haram, karena kaum muslimin dilarang menyerupai orang-orang kafir. Sungguh Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman menyebutkan sifat orang kafir penduduk Makkah: “Shalat mereka di sekitar Baitullah itu, tidak lain hanyalah siulan dan tepukan tangan.” (Al-Anfal: 35) Dan yang sunnah bagi seorang mukmin ketika melihat atau mendengar sesuatu yang mengagumkan atau yang dia ingkari adalah mengucapkan Subhanallah (Maha Suci Allah) atau Allahu Akbar (Allah Maha Besar), sebagaimana hal ini shahih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam banyak hadits. Dan disyariatkan tepuk tangan khusus bagi wanita ketika mereka mengingatkan sesuatu dalam shalat, atau ketika mereka shalat bersama laki-laki dan imamnya lupa. Ketika itu disyariatkan bagi wanita untuk mengingatkan dengan tepukan tangan. Adapun laki-laki mengingatkan imam dengan tasbih (ucapan Subhanallah) sebagaimana hal ini shahih dari Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dari sini diketahui bahwa tepuk tangan bagi lelaki adalah perbuatan menyerupai orang kafir dan wanita. Keduanya merupakan hal yang dilarang bagi kaum lelaki. Allah Subhanahu wa Ta’ala sajalah yang memberi taufiq. (Disebarkan dalam Fatawa beliau pada kolom Is`alu Ahla Adz-Dzikr yang beliau keluarkan dalam majalah bulanan Al-Arabiyyah, diambil dari Fatawa wa Maqalat Ibn Baz, jilid 6) Link Sumber : Asy-Syariah Online Read More..

Menyebarkan Salam

Satu kebiasaan yang ringan namun bisa jadi jarang diterapkan di tengah keluarga kita adalah menyebarkan salam. Padahal banyak buah kebaikan yang bisa dipetik dari ucapan yang mengandung muatan doa ini.

Salah satu hal yang penting dalam kehidupan masyarakat muslim adalah menyebarkan salam. Karena dengannya akan tumbuh rasa saling cinta di antara mereka, biarpun tidak saling mengenal.

Betapa banyak kita temui anjuran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada kita untuk menyebarkan salam. Sebagaimana disampaikan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:

“Hak seorang muslim atas muslim yang lain ada enam.” Beliau pun ditanya, “Apa saja, ya Rasulullah?” Jawab beliau, “Jika engkau bertemu dengannya, ucapkan salam kepadanya. Jika dia memanggilmu, penuhi panggilannya. Jika dia meminta nasihat kepadamu, berikan nasihat kepadanya. Jika dia bersin lalu memuji Allah, doakanlah dia1. Jika dia sakit, jenguklah dia; dan jika dia meninggal, iringkanlah jenazahnya.” (HR. Al-Bukhari no. 1240 dan Muslim no. 2162)

Dinukilkan pula oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Kalian tidak akan masuk surga sampai kalian beriman, dan tidak akan sempurna iman kalian hingga kalian saling mencintai. Maukah aku tunjukkan kalian pada sesuatu yang jika kalian lakukan kalian akan saling mencintai? Sebarkanlah salam di antara kalian.” (HR. Muslim no. 54.
Sumber Link URL Blog Faizal dan AsySyariah Online
Read More..