Asy Syariah Volume VII Edisi 78 Tahun 2011 Shahabat Nabi Dihujat

Salah satu cara “halus” yang digunakan oleh musuh-musuh Islam demi memadamkan cahaya Allah adalah merusak citra para sahabat Rasulullah. Dikatakan “halus” karena banyak dari kalangan muslim yang terpengaruh ikut-ikutan larut dalam “settingan” ini. Sebutlah Sayyid Quthub (tokoh Ikhwanul Muslimin) yang menyudutkan Utsman bin Affan, Mu’awiyah bin Abi Sufyan, dan Amr bin Ash; bahkan mencela Nabiyullah Musa. Demikian juga Abul A’la al-Maududi yang mencitrakan sosok Mu’awiyah dengan sangat buruk. Sementara itu, dari luar Islam, Syiah Rafidhah selain mengafirkan hampir seluruh sahabat adalah kelompok yang paling getol mencaci maki Mu’awiyah. Dengan menyusupkan berita dusta dan hadits-hadits palsu, Shahabat Mu’awiyah digambarkan oleh para pencela sahabat sebagai pribadi yang penuh khianat, licik, ambisius, dsb.Padahal, kalangan Islam telah bersepakat bahwa Mu’awiyah bin Abi Sufyan adalah seorang sahabat. Oleh karena itu, jika ada ayat atau hadits yang mengungkapkan tentang kemuliaan sahabat secara umum, beliau termasuk di dalamnya. Secara khusus, hadits-hadits yang sahih juga menyebutkan keutamaan-keutamaan Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Di antaranya, beliau adalah salah satu sahabat yang dipercaya menjadi penulis wahyu, beliau dijamin masuk jannah, seorang yang faqih, dsb. Patut digarisbawahi di sini, mencela sahabat sendiri bukanlah perkara remeh. Ini sudah masuk ranah akidah. Sahabat Rasulullah adalah perantara kita dengan Rasulullah. Merekalah pembawa kabar-kabar dari Rasulullah. Semua ilmu agama, baik bersumber dari al-Qur’an maupun hadits, sampai kepada kita melalui perantaraan mereka. Tak heran jika musuh-musuh Islam dan yang terpengaruh oleh mereka, mencela para sahabat ini dengan cerita-cerita dusta, hadits-hadits lemah dan palsu, bahkan yang tidak ada asalnya sama sekali, demi menjadikan umat Islam ragu terhadap para sahabat Rasulullah. Ujung-ujungnya, mereka meragukan al-Qur’an atau hadits yang sampai kepada mereka walaupun hadits-hadits tersebut sahih, terutama jika diriwayatkan oleh sahabat yang mereka cela. Alhasil, menjadi penting bagi kita untuk terus menyuarakan pembelaan terhadap para sahabat yang niscaya penistaan terhadap mereka tak akan berhenti sampai kapan pun. Lucunya, ada kalangan Islam yang meradang ketika pelecehan terhadap sahabat dilakukan oleh orang liberal semacam Faraj Fouda atau Thaha Husain, tetapi ketika yang melakukannya adalah Sayyid Quthub yang mereka idolakan, mereka tutup mata dan membela idolanya mati-matian. Ketika pengagum Faraj Fouda menggelari idolanya dengan Syahid al-Kalimah atau Syahid al-Fikr, demikian juga pengagum Sayyid Quthub menggelari idolanya dengan asy-Syahid, gelar yang tentunya teramat tidak pantas disandang para pencela sahabat Rasulullah. Seorang muslim semestinya menahan lisannya dari mencela sahabat Rasulullah. Bagaimana mungkin seorang muslim sampai hati memberikan gambaran yang sangat tidak beradab tentang sahabat Rasulullah dan mempertajam citra buruk mereka, padahal Allah telah memuji mereka dalam firman-Nya? Apa keuntungan yang kita cari dengan mengumbar fitnah dan caci maki kepada sahabat Nabi? Atau jangan-jangan, para penghujat merasa lebih mulia dari para sahabat, generasi yang Allah ridha kepada mereka? Na’udzubillah.
Read More..

Asy Syariah Volume VII Edisi 77 Tahun 2011 Ulama Hadits Dinista

Mendefinisikan ulama memang sangat subjektif. Tanpa merujuk dalil, standar kapasitas keilmuan seperti memahami ilmu hadits, mengerti kaidah bahasa Arab, atau yang terpenting apakah ulama tersebut berada di atas akidah yang benar umumnya menjadi perkara belakangan. Yang muncul adalah ulama versi masing-masing. Yang di luar kelompoknya, dinistakan dengan membabi buta. Saat ini, asal seide, sepemahaman, atau hanya karena separtai, demikian mudahnya gelar ulama atau ustadz disematkan. Kesesatan yang diajarkan, akidah menyimpang yang digemakan, atau kebid’ahan yang diserukan, diabaikan begitu saja. Yang lebih miris, dalil (ayat al-Qur’an atau hadits sahih) justru ditolak. Demikianlah jika fanatisme telah kokoh bertakhta di hati orang-orang yang taklid. Lebih memilukan, ada “ulama” instan karena sering muncul di televisi, laris bak artis. Jangankan memahami ilmu hadits dan sanad-sanadnya, bahasa Arab saja nol besar. Lantas bagaimana mereka bisa memahami agama ini dengan benar? Alhasil, muncullah ustadz-ustadz “instan” yang tak hanya miskin ilmu, tetapi gegabah dalam berfatwa.Padahal apabila berkaca pada ulama-ulama salaf yang keilmuannya tak diragukan, mereka sangat berhati-hati dalam berfatwa. Sementara itu, apabila kita melihat fakta sekarang, demikian mudah fatwa itu dilontarkan. Ustadz selebritas, tokoh masyarakat yang hanya baca satu dua buku terjemahan, hingga kalangan awam yang bisa dikatakan jauh dari memahami apa itu Islam dengan entengnya berfatwa. Kadang tanpa disertai dalil atau menggunakan dalil namun tidak pada tempatnya, berfatwa dengan logika, bahkan tak jarang emosional. Sebagai seorang muslim, kita memang dituntut bersikap proporsional. Di satu sisi kita tidak boleh menistakan ulama, namun di sisi lain kita dilarang berlebih-lebihan dalam memuliakannya. Mereka tidaklah maksum layaknya rasul. Kesalahan sebagai manusia mesti mengiringi langkah mereka. Kekeliruan dalam ijtihad bisa saja lahir dari fatwa mereka. Oleh karena itu, sangat mungkin ada dari kita ketika posisi i’tidal tangannya bersedekap karena mengikuti asy-Syaikh Ibnu Baz. Namun, dalam menggerak-gerakkan telunjuk ketika tasyahud lebih sependapat dengan asy-Syaikh al-Albani. Namun, sekali lagi, itu semua tidak lantas menjadi cacat ulama, karena perbedaan yang terjadi memang bukan dalam hal-hal prinsip dalam Islam, bukan perkara akidah yang perlu disikapi secara tersendiri. Jangan sampai kita bersikap seperti kalangan pergerakan Islam yang tutup mata dengan penyimpangan-penyimpangan “ulama” mereka, bahkan mencari pembenaran bagi “ulama-ulama” mereka. Alih-alih kritis terhadap fatwa mereka, kesesatan akidah “ulama-ulama” mereka justru dianggap angin lalu. Orang-orang yang hendak menyatukan Islam dan kekafiran (Syiah Rafidhah) diulamakan dan disebut bapak persaudaraan; yang mencela sahabat Rasulullah n dipuja-puja—bahkan digelari asy-syahid—; tokoh yang lisannya mengafirkan para sahabat g serta menyerukan permusuhan terhadap Ahlus Sunnah, justru dielu-elukan sebagai bapak revolusi Islam, orang yang menyerukan liberalisasi Islam justru disebut cendekiawan muslim, dan sebagainya. Umat pun dibuat bingung. Umat justru menjauh dari ulama-ulama Rabbani; ulama-ulama yang benar-benar berjuang menegakkan syariat-Nya dan sunnah Nabi-Nya, ulama-ulama yang lebih mencintai hadits daripada politik praktis, serta ulama yang lantang menyuarakan kebenaran bahkan rela pasang badan melawan kesesatan. Alhasil, ulama dan definisi ulama menjadi kian kabur.
Read More..